Anang
Hermansyah dan Pemilu
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 Mei 2014
Semua
orang kenal Anang Hermansyah. Saya juga. Tetapi tidak secara pribadi,
melainkan sebagai selebritas yang sering muncul di infotainment, sebagai musisi dan penyanyi.
Juga
sebagai mantan suami Krisdayanti dan sekarang suami Ashanty. Akhir-akhir ini
setiap akhir pekan saya menonton dia di tayangan kontes Indonesian Idol, di
sebuah stasiun televisi, sebagai anggota dewan juri. Tetapi saya tidak
menduga bahwa mantan anak asuh Doel Sumbang dan jebolan Gang Potlot (grup
Slank) ini jadi politisi, malah terpilih jadi anggota DPR daerah pemilihan
Jember (Jawa Timur). Anang memang anak Jember asli. Lahir di Jember dan
sekolah sampai SMA di Jember, sebelum dia hijrah ke Bandung dan ke Jakarta,
untuk kemudian menjadi selebritas.
Tetapi
jiwa Anang memang jiwa Jember, karena itu dia menikah dengan Ashanty di
Jember, bikin konser di Jember, Lebaran juga ke Jember, kumpul sama
teman-teman di Jember, menyantuni anak yatim di Jember, dan naik becak ke
pasar di Jember. Tidak heran kalau setiap orang Jember akrab (minimal merasa
akrab) dengan Anang. Itulah sebabnya dia terpilih di Dapil Jember. Perolehan
suaranya bahkan lebih banyak dari perolehan partainya, PAN.
Fenomena
Anang Hermansyah ini sebetulnya bukan barang baru. Fenomena ini sudah kita
lihat pada kasus Jokowi ketika terpilih menjadi wali kota Solo dan gubernur
DKI, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau yang paling mutakhir Wali Kota
Bogor Bima Arya Sugiharto dan masih banyak yang lain. Bahkan juga ketika SBY
terpilih sebagai presiden pada 2004 dan 2009. Fenomena yang dimaksud adalah
bahwa masyarakat makin lama makin memilih orang (yang mereka rasa kenal)
ketimbang parpol.
Di zaman
Orde Baru, rakyat hanya memilih parpol (yang pada waktu itu hanya tiga),
bukan orang, maka dengan gampangnya parpol yang berkuasa merekayasa pemilu
dengan berbagai strategi dan taktik (termasuk politik uang) agar menang dalam
pemilu. Karena itu timbullah kesan bahwa untuk memenangi pemilu orang harus
punya parpol sehingga pada Pemilu 1999 orang berlomba-lomba bikin parpol dan lahirlah
48 parpol sebagai peserta Pemilu 1999. Jumlah ini berkurang menjadi
separuhnya pada Pemilu 2004, yaitu tinggal 24 parpol, tetapi membengkak lagi
pada Pemilu 2009 menjadi 38 (+ 6 partai lokal Aceh), dan menyurut lagi
menjadi hanya 12 parpol (+ 3 partai lokal Aceh) pada Pemilu 1014 ini.
Tetapi
nyatanya sejak reformasi masyarakat makin lama makin memilih orang, bukan
parpol. Pada 2004 kemenangan SBY adalah karena rakyat bersimpati kepada SBY
yang tampak berwibawa, anggun, ganteng (kata ibu-ibu), namun justru (konon)
dizalimi dalam pemerintahan sebelumnya. Maka Partai Demokrat yang pada waktu
itu masih baru dan tidak ada apa-apanya, langsung terangkat dan mendapat
perolehan suara sebesar 7,45%.
Kalau
digunakan istilah sekarang, gejala ini bisa disebut ”Efek SBY”: karena suka
kepada SBY, maka orang memilih Partai Demokrat. Kira-kira samalah dengan
”Efek Rhoma Irama” yang berhasil mendongkrak suara PKB di Pemilu 2014. Di
sisi lain, Jokowi yang elektabilitasnya tertinggi, sama sekali tidak bisa
menghasilkan ”Efek Jokowi” buat PDIP. Sama juga dengan Anang Hermansyah dan
Bima Arya tidak bisa mengangkat perolehan suara PAN di daerah pemilihan
masing-masing.
Sebaliknya,
Partai Nasdem yang baru muncul untuk pertama kalinya pada Pemilu 2014 ini
langsung bisa mencapai 6.7%, walaupun partai ini tidak punya sosok capres
yang bisa digadang-gadang. Ketua Partai Nasdem Surya Paloh hanya bermodalkan
program-program yang dengan sangat rajin dan konsisten disosialisasikannya ke
mana-mana di seluruh Indonesia. Artinya, sekarang ini masyarakat sudah bisa
membedakan antara parpol dan orang.
Antara
parpol yang omdo (omong doang) dan
parpol yang punya program. Antara orang yang bisa diandalkan karena
reputasinya sudah jelas baik atau relatif masih bersih, belum terlibat KKNG
(korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi) dan orang yang dipanggil atau
di tahan KPK, atau bahkan hanya terindikasi akan dipanggil KPK. Intinya, di
mata masyarakat sekarang, tidak ada hubungan yang signifikan antara parpol
dan orang. Anang Hermansyah adalah orang yang dikenal baik di dapilnya, jadi
dia terpilih, terlepas dari PAN, parpolnya.
Demikian
juga artis-artis lain yang berhasil memenangkan kursi DPR seperti Jamal
Mirdad, Ikang Fauzy, Desy Ratnasari dan lainnya, serta atlet seperti Yayuk Basuki.
Bahkan mantan Bupati Garut Aceng Fikri (yang pernah terlibat skandal
pernikahan) juga lolos karena memang masih banyak suporternya.
Memang
mereka yang terpilih karena ketenarannya ini masih harus membuktikan
kemampuannya selama menjadi anggota DPR, karena pekerjaan sebagai anggota DPR
sama sekali tidak mudah. Tetapi kalau mereka berhasil membuktikan dirinya
sebagai politikus andal, tentu mereka akan terpilih lagi seperti Dede Yusuf
(dari Wagub Jabar, geser ke DPR), dan Rieke Dyah Pitaloka.
Sayangnya
elite partai politik sendiri masih banyak yang belum memahami tentang
perubahan cara berpikir rakyat yang merupakan fenomena baru ini. Kalau kalah,
mereka salahkan kecurangan yang terjadi. Kalau perlu bikin keresahan atau
kerusuhan agar pemilu diulang. Sementara itu, yang menangasyik bermain dengan
parpolnya terus. Maka terjadilah tawar-menawar antarparpol, ada yang
bermodalkan tokoh, ada yang bermodalkan perolehan suara hasil pemilu.
Tetapi secara akal sehat, semuanya pasti tidak akan mencapai sasaran,
persis seperti ketika sebuah parpol menargetkan pemenangan pilkada di
Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dengan menempatkan artis Jupe sebagai calon
Wakil Bupati. Ujung-ujungnya semua kecewa, termasuk Jupe sendiri yang sudah
bersusah payah berbusana muslim dan menghafalkan data demografi dan demografi
kabupaten yang dijanjikan akan jadi daerah yang dipimpinnya itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar