Kematian
Politik (Adiluhung) Indonesia 2014
Musa
Maliki ; Dosen FISIP UPN "Veteran" Jakarta
|
OKEZONENEWS,
05 Mei 2014
Menjelang
Pemilu 2014 untuk memilih wakil rakyat, penulis telah menulis tentang masa
depan Indonesia sangat ditentukan oleh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia
yang mencoblos dan mengurus proses pemilu 2014. Mau sistem kenegaraan seperti
apapun dan pemimpin macam apapun, rakyat yang menentukan dan akan kembali ke
rakyat.
Sekarang
hasil semakin jernih dan tampak bagi kita semua. Hampir semua informasi
(sebagian besar berita) membukakan mata kita lebar-lebar bahwa Pemilu 2014
justru lebih buruk daripada Pemilu 2009. Buruknya pemilu kali ini diketahui
dengan berbagai macam cara ragam politik uang yang semakin tegas, jelas, dan
‘jujur’. Konsep tegas terlihat dari tidak adanya keraguan bagi rakyat dan
para calon legislatif untuk bertransaksi. Konsep jelas terlihat dari
rata-rata orang mengakui, menerima kenyataan tersebut. Konsep ‘jujur’
terlihat dari proses transaksi itu penuh keterbukaan, saling menerima, dan
tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam transaksi tersebut.
Politisi
jujur dalam pemahaman tidak mau membayar rakyat ditinggalkan, bye-bye. Rakyat sebagian besar,
kalangan manapun butuh uang. Kalangan menengah ke bawah paling cuma
Rp30.000-50.000 per orang. Kalangan menengah ada sendiri harganya, mungkin
sekira Rp1 jutaan ke atas. Demikian pula kalangan elit dan orang-orang yang
mempunyai otoritas terhadap surat suara, bisa ratusan juta.
Jika
dikatakan bodoh, rakyat kita tidak bodoh-bodoh amat, sebab mereka melek
politik. Mereka suka pertarungan politik, kontestasi politik, dan drama
politik (Baudrillard, 1993: 6).
Politik Indonesia bagi rakyat semacam teater hiburan hidup susah mereka. Jika
mereka dibayar untuk melihat teater yang membuat mereka senang, bukannya
untung double? Artinya mereka
pintar secara ekonomis. Wong tidak dibayar juga menikmati politik apalagi
dibayar. Bila perlu pemilu itu 1 tahun sekali, biar perekonomian Indonesia
berjalan lebih cepat.
Jika
dikatakan pintar, rakyat pastinya tidak akan memilih legislatif yang akan
menyengsarakan diri mereka selama 5 tahun ke depan. Tentunya, rakyat mikir
panjang bahwa para calon parlemen itu mau tidak mau harus balik modal
sebanyak mungkin dengan berbagai macam cara, sekalipun mengambil uang
pembangunan masjid atau Alquran. Agama dan spiritualitas yang dianggap sakral
(suci) pun menjadi komoditas demi hasrat-hasrat kekuasaan dalam diri manusia
Indonesia.
Ada yang
bilang, negeri ini akan baik jika orang-orang baik angkat bicara, tidak
berdiam diri. Dalam Pemilu 2014 terbukti bahwa orang-orang yang dianggap
baik, wakil-wakil rakyat yang dianggap baik dan angkat bicara dengan tidak
berdiam diri justru tersingkir agar diam dan terbungkam. Kini, orang-orang
yang dianggap jahat berkuasa di parlemen. Lalu apa yang kita bisa lakukan?
Semakin banyak orang-orang yang dianggap jahat berkuasa di parlemen, maka
semakin besar pula orang yang dianggap baik tersingkir dan terbungkam, baik
secara eksistensial maupun secara fisik.
Kematian
politik adiluhung adalah proses lepasnya konsep dan pemahaman politik dari
dirinya. Politik sudah menjadi aktivitas ekonomi, seks, dll (Baudrillard, 1993: 8). Kondisi ini
menciptakan konstruksi baik dan jahat hanyalah anggapan saja. Nilai-nilai
kebaikan dan kejahatan menjadi satu dalam dunia yang selalu berubah,
tumbangtindih, dan bertabrakan. Yang baik belum tentu baik dan yang jahat
belum tentu jahat. Misalnya, memberi uang itu bisa jadi baik, karena membantu
rakyat yang sangat membutuhkan. Jika rakyat sudah dapat cari uang sendiri
dengan mudah dan tahu diri, maka dia akan cari uang sendiri.
Sebaliknya,
jika kita cuma ngomong saja, cerita konsep dan teori kemiskinan, pembangunan,
program dan rencana tanpa memberi uang bagi rakyat Indonesia hal itu bisa
jadi buruk. Idealism politik adalah absurd alias tidak masuk akal, tidak
konkrit, dan membutuhkan loyalitas yang luar biasa. Mana ada jaman sekarang
di Indonesia memberi janji tanpa ‘uang muka’ sedikit pun atau jaminan apapun?
Semua aktivitas politik harus nyata sama halnya transaksi di pasar atau bank
(Baudrillard, 1993: 41). Inilah
fenomena kematian politik adiluhung.
Contoh
lain, bagi rakyat memilih Presiden dan wakil presiden harus tidak terlalu
tua, walaupun yang tua berjiwa muda dan idealis. Sebaliknya, yang muda dan
lumayan matang pun belum tentu dewasa dan bijak seperti perawakan fisiknya
dan mentalitas psikologinya. Singkat kata, rakyat mungkin bisa mikir, tapi
tidak maksimal atau males untuk memikirkannya, karena lebih senang menikmati
tontonan politiknya. Kehidupan yang dangkal, tidak filosofis, dan
berubah-ubah yang terus direproduksi adalah indikasi juga akan kematian
politik adiluhung.
Bagi
rakyat yang sudah susah, mereka akan repot jika belajar sejarah tentang figur
pemimpin masa depan dengan belajar masa lalu. Mereka juga repot jika harus
mempelajari secara mendalam track record orang-orang di parlemen. Siapapun
penjahatnya atau pahlawannya, dalam drama politik Indonesia yang terpenting
adalah citra dan gayanya (Baudrillard,
1993: 6). Kemenangan bisa siapa saja yang terpenting penampilan harus
meyakinkan dan menyenangkan penontonnya. Konsep kemenangan tidak ada dalam
kesadaran rakyat Indonesia, sebab hidup mereka tidak berubah sejak mereka
lahir. Jadi tidak penting siapa pemenangnya.
Pada
akhirnya, politik adiluhung hanyalah model simulasi belaka alias angan-angan
saja (Baudrillard, 2000: 65). Toh,
bagi para pengumbar politik adiluhung pun mereka justru melakukan politik
ajimumpung dengan menampilkan bujukan-bujukan impresif dan rayuan aksi-aksi
adiluhung di realitas (media cetak & visual). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar