Kejahatan
di Tahun Politik
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI,
Presidium
Nasional KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 05 Mei 2014
BEBERAPA
kejahatan besar di sektor keuangan negara justru terjadi di tahun politik,
dan melibatkan oknum pejabat tinggi negara. Apakah dana hasil kejahatan itu
dimanfaatkan membiayai aktivitas politik untuk meraih jabatan tinggi?
Inilah
tantangan bagi penegak hukum untuk menelusuri penggunaan dana hasil kejahatan
itu. Semasa menjabat direktur jenderal (dirjen) Pajak, Hadi Poernomo
diperkirakan mulai memproses keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia
(BCA) pada periode awal 2004, kendati BCA mengajukan dokumen keberatan itu
sejak Juli 2003. Berdasarkan telaah Direktorat PPh Ditjen Pajak, keberatan
BCA tak patut dikabulkan.
Di
tengah persiapan pemilihan umum tahun itu, tepatnya Maret 2004, Direktorat
PPh merekomendasikan kepada Hadi Poernomo untuk menolak keberatan pajak BCA.
Hadi tak sependapat dengan bawahannya. Di tengah hiruk-pikuk pemilihan
presiden saat itu, Hadi ingin agar rekomendasi itu diubah. Melalui nota dinas
18 Juli 2004, Hadi memerintahkan direktur PPh mengubah kesimpulannya agar
keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA diterima seluruhnya.
Segalanya
berjalan mulus hingga Hadi mengakhiri masa jabatannya sebagai Dirjen Pajak
pada 2006. Dan sejak Oktober 2009, dia terpilih menjabat ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Sayang, hanya dalam hitungan jam setelah dia pamit dari
BPK untuk jalani masa pensiun, Hadi langsung ditetapkan sebagai tersangka,
karena kebijakannya mengabulkan keberatan pajak BCA ternyata merugikan
negara.
Terkuaknya
kasus Hadi Poernomo-BCA tentu saja mengingatkan orang pada lambannya
penanganan kasus besar lain yang masih berkait dengan kejahatan pajak, antara
lain kasus manipulasi restitusi pajak oleh Wilmar Grup. Kasus ini nyata,
karena diungkap oleh pegawai pajak sendiri. Skandal ini terungkap berkat
laporan Kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua M Isnaeni. PT Wilmar Nabati
Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA), menurut Isnaeni, diduga
memanipulasi penghitungan restitusi pajak.
Laporannya
tak pernah ditindaklanjuti atasannya di Ditjen Pajak. Setelah delapan bulan
menunggu sia-sia, Isnaeni pun mengadu ke Komisi III DPR. Rupanya, Isnaeni
mengendus dugaan tindak pidana. Ada indikasi direksi WNI-MNA merekayasa
laporan transaksi jual beli demi mendapat restitusi. Pada November 2009,
Isnaeni pun mengajukan Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan (penyelidikan) atas
dugaan tindak pidana oleh WNI-MNA.
Namun,
usul ini tak digubris Darmin dan M Tjiptardjo yang saat itu menjabat Direktur
Intelijen dan Penyidikan Pajak. Pada September 2010, Darmin Nasution dilantik
menjadi gubernur Bank Indonesia, sedangkan jabatan dirjen Pajak dipercayakan
kepada M Tjiptardjo. Hingga Desember 2013, penanganan kasus ini tak pernah
jelas.
Sempat
ditangani Kejaksaan Agung, tetapi kemudian dikembalikan ke Ditjen Pajak
dengan alasan tak cukup bukti. Aneh bukan, sebuah kasus yang diungkap oleh
kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua, tetapi disikapi dengan sangat
minimalis.
Telusuri penggunaan
Dalam
konteks ini, tidak lengkap jika mega skandal Bank Century tidak dikedepankan
sebagai contoh kasus lainnya. Benih kasus ini tumbuh di tengah persiapan
menuju tahun Pemilu 2009. Sebagaimana disimak dari persidangan terdakwa Budi
Mulya, para saksi mengemukakan bahwa Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
untuk Bank Century adalah keputusan yang terlalu dipaksakan.
Pertama,
karena bank ini tak memenuhi syarat. Kedua, karena nilai agunannya tak
mencukupi. Proses memaksakan persetujuan dan pencairan FPJP itu dimulai sejak
Oktober–November 2008. Rapat Dewan Gubernur BI saat itu menjadi kurang
kondusif karena beda pendapat yang cukup tajam. Namun, pada akhirnya, semua
peserta rapat tunduk pada kehendak gubernur BI saat itu, Boediono.
Beberapa
tindakan ilegal pun dilegalkan. Dari FPJP Rp683 miliar, kemudian diberikan
lagi melalui mekanisme bailout yang membengkak dari komitmen awal Rp632 miliar
menjadi Rp2,7 triliun per 24 November 2008. Entah ada kaitannya atau tidak,
mendekati waktu pendaftaran pasangan calon presiden calon wakil presiden
(capres/cawapres), Boediono pun meraih kandidat cawapres.
Bailout
kemudian terus menggelembung jadi Rp6,7 triliun seusai Pilpres 2009. Dan
menjelang Pemilu 2014, Bank Century yang kini bernama Bank Mutiara pada
Desember 2013 digelontori lagi Rp1,2 triliun dengan alasan untuk mengamankan
CAR. BPK pada pertengahan April 2014 kemudian mengumumkan penggelontoran dana
tambahan bailout tersebut ditemukan banyak keganjilan dan penyimpangan.
Selang
dua hari kemudian, Ketua BPK itu menjadi tersangka kasus Pajak BCA bertepatan
dengan ulang tahun sekaligus berakhirnya masa tugas yang bersangkutan sebagai
ketua BPK. Mengingat bahwa nilai uang dari rangkaian kejahatan itu demikian
besarnya, wajar jika muncul pertanyaan untuk apa saja uang triliunan rupiah
itu digunakan? Sebagian kecil pasti dimanfaatkan untuk memperkaya diri atau
kelompok.
Mungkinkah
bagian terbesar dari hasil kejahatan itu digunakan untuk membiayai kegiatan
politik? Setelah sekian lama publik hanya bisa berspekulasi, Anas Urbaningrum
akhirnya membuka tabir. Seusai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) belum lama ini, Anas mengungkap indikasi tentang kemungkinan
penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kegiatan politik tahun
2009.
Anas
menunjuk hasil audit akuntan independen tentang penerimaan dan pengeluaran
dana kampanye sebuah partai politik untuk pemilihan presiden 2009. Anas
curiga ada aliran dana Bank Century yang digunakan untuk kampanye Pilpres
2009. Pasalnya, ada donatur individu atau korporasi yang identitasnya
dipalsukan. Identitas donatur terdaftar, namun mereka tidak menyumbang dana
kampanye.
Apa yang
dikemukakan Anas langsung mengonfirmasi temuan lapangan oleh Panitia Khusus
(Pansus) DPR untuk kasus Bank Century tentang kejanggalan profil nasabah
penerima dana bailout. Faktor kejanggalan profil nasabah dan donatur partai
ini mengindikasikan adanya operasi lain yang menunggangi keputusan KSSK
menyetujui bailout untuk Bank Century.
Mengapresiasi
keberanian institusi penegak hukum mengungkap kejahatan-kejahatan besar
menjadi sebuah keharusan. Dengan apresiasi itu, penegak hukum diharapkan
lebih berani dan konsisten memerangi korupsi. Namun mengungkap dan membawa
para penjahat itu ke pengadilan saja, terasa kurang cukup. Masyarakat ingin
tahu, mengapa kasus-kasus kejahatan besar sering terjadi menjelang atau pada
tahun pemilu?
Uang
hasil kejahatan itu digunakan untuk apa saja? Inilah tantangan yang pada
saatnya nanti perlu dijawab para penegak hukum. Institusi penegak hukum
sebenarnya sedang dibuat malu oleh kasus Bank Century. Untuk model kejahatan
seperti skandal Bank Century dan penggelapan pajak bernilai ratusan miliar
atau triliunan rupiah, mengungkap dan memenjarakan para pelakunya saja
dirasakan belum tuntas. Sekali lagi, publik ingin tahu uang hasil kejahatan
itu digunakan untuk apa saja?
Mudah-mudahan,
pada saatnya nanti, saat momentum peralihan kekuasaan, penegak hukum mau
berinisiatif menelusurinya, dan menyeret pelaku kejahatan tersebut ke meja
hijau. Tak peduli setinggi apa pun jabatannya pada masa pemerintahan ini yang
akan berakhir 20 Oktober 2014 mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar