Kamis, 08 Mei 2014

Kejahatan Seks? Kebiri Saja!

Kejahatan Seks? Kebiri Saja!

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN SINDO,  08 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sekarang ini hukuman potong tangan bagi pencuri terkesan kejam, terkesan kurang manusiawi. Tapi, pada masa dulu pencurian termasuk kejahatan yang eks-traganas.

Dengan analogi itu saya termasuk yang setuju atau mengusulkan: pada penjahat seks diberi tambahan hukuman dikebiri saja. Bukan karena kebencian, bukan sekadar marah, melainkan untuk memutus akar tindak kekerasan seksual.

Pemaksaan Seks

Kemarahan publik terasakan sebagai teriakan dan pekikan atas kasus yang menimpa anak-anak di sekolah Jakarta International School (JIS), dan kemudian disusul sosok Emon dengan korban lebih 100 anak di Sukabumi, Jawa Barat, serta rangkaian berita perkosaan atau penyekapan oleh, bahkan, sesama remaja. Kemurkaan publik terutama karena yang terjadi sebenarnya adalah pemaksaan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan, pameran kekuatan, dan kekuasaan pada korban yang tak mungkin melawan, yang tak berdaya.

Apalah artinya teriakan anak-anak usia lima tahun dalam cengkeraman orang dewasa yang sedang nafsu berahi? Seekor anjing jantan pun akan menyeberangi sungai saat banjir kalau sedang datang berahi. Menjadi liar, buas, tanpa nalar. Untuk memutus mata rantai balas dendam atau traumatis korban, penambahan hukuman dengan mengebiri, mungkin bisa dipertim-bangkan. Kebiri dalam arti penghilangan dorongan seksual, yang memutus keinginan melakukan persetubuhan.

Ini memang masalah seks, dan istilah yang dibicarakan menyangkut istilah seks—diperhalus sekalipun. Korban di JIS, atau Sukabumi, jelas anak-anak yang disodomi, dimonon, bahasa preman, disetubuhi anusnya. Dalam keadaan normal, anus tidak diciptakan untuk disetubuhi karenanya menimbulkan kesakitan yang luar biasa. Apalagi dalam pemaksaan. Dalam dunia para kriminal pun, kejahatan seksual dianggap kejahatan yang paling brutal.

Di penjara seorang dengan tuduhan kejahatan kelamin, atau ”belah duren”, mengalami nasib buruk. Ia ganti diperkosa, yang artinya di-sodomi, secara beramai-ramai, atau juga dipaksa melakukan onani dengan minyak gosok panas atau daun yang menimbulkan gatal. Terus menerus, sampai hanya mengeluarkan angin. Para kriminal yang toleran pada kasus pembunuhan sekalipun memusuhi kasus perkosaan.

Pemutusan Dendam

Perlu penelitian mendalam, namun umumnya mereka yang melakukan kekerasan seksual dengan menyodomi selalu mengaku pernah mengalami— mereka disodomi sebelumnya. Apa yang dilakukan sekarang didorong balas dendam—atas penderitaan yang dialami. Pengakuan Robot Gedek yang menggemparkan atau juga Emon kurang lebih sama. Pertanyaan jauhnya: lalu bagaimana dengan 100 anak atau lebih korban yang disodomi?

Kalau separuh atau sepertiganya melakukan balas dendam, bagaimana lima atau sepuluh tahun berikutnya? Perkembangannya sama dengan model ”marketing” dengan level mengajak teman. Pada titik perkembangan ini, susah menghentikan. Terus menyebar, melebar, dan susah ditakar di mana berhentinya.

Sehingga, kalau misalnya saja ada tambahan hukuman terhadap pelaku—yang terbukti— bakal dikebiri, hasilnya mungkin sekali berbeda. Karena korban kekerasan seksual, korban sodomi, tidak dibayangi bakal balas dendam karena takut dikebiri. Ancaman yang nyata, konkret, jelas, mudah dimengerti bagi dunia kriminal. Pemutusan mata rantai akan efektif dan ini bukan semata karena balik melampiaskan dendam. Rasa geram pasti ada, namun bukan itu yang harus terekspresikan.

Karena inti utamanya penghentian lingkaran balas dendam. Dalam hal tertentu, mereka yang dikebiri juga tak kehilangan kemampuan lain— selain nafsu seksual dan ketidakmampuan melampiaskan. Kisah mereka yang dikebiri pada zaman kerajaan, yang menjadi penjaga para gundik raja, menunjukkan mereka masih bisa berguna— untuk diri sendiri atau orang lain.

Makna Pengorbanan

Saya pernah menyuarakan dan menuliskan bahwa kejahatan seksual harusnya termasuk tindak kriminal luar biasa—sebagaimana korupsi, teror, dan narkoba. Karena dalam hal ini korban selalu orang yang lemah—anak-anak terutama, perempuan juga— dibandingkan penjahat yang sebenarnya harus melindungi. Dengan kata lain, saya ingin menegaskan bahwa kejahatan seksual itu terjadi karena ada kekerasan dari yang merasa lebih kuat! Yang memaksakan kehendaknya! Yang memerkosa.

Lebih dari itu korban akan menderita untuk jangka waktu yang lama. Diperlukan perhatian besar untuk memberi perhatian, membesarkan hati, untuk—dalam bahasa rintihan anak yang menjadi korban—”apakah mama masih mau mencintaiku?” Lebih dari itu semua adalah realitas empiris ini menjadi lebih miris lagi kalau kita mau membuka mata.

Kejadian ini bukan hanya pada sekolah elite, bukan hanya pada komunitas tertentu, sekolah tertentu—di mana lebih banyak murid lelaki misalnya, melainkan juga di jalanan. Jalanan adalah rumah bagi anak-anak, sekaligus tempat pembantaian. Anak-anak tanpa pelindung dibiarkan hidup bersama predator seks yang ganas. Yang terluput dari perhatian. Yang masih berlangsung hingga sekarang ini.

Kalau kemarahan kita pada kekerasan dan kejahatan seksual dimunculkan dengan tambahan hukuman, sebenarnya pada saat itu kita membuka kemungkinan untuk melindungi anak-anak jalanan yang selama ini berada dalam maut, kita bisa menjadi penyelamat.

Hanya itu kesempatan dan kemungkinan yang bisa dilakukan, dan dengan demikian korban-korban kesakitan panjang mempunyai makna besar sebagai generasi terakhir yang mengalami itu. Anak-anak yang menjadi korban ini adalah pengingat nasib ribuan anak-anak lainnya. Dan pengorbanannya tidak menjadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar