Hukum
untuk Kebahagiaan
Sudjito ;
Guru
Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 08 Mei 2014
|
Seorang
mahasiswa bertanya, apa ukuran keberhasilan sebuah negara hukum, khususnya
Indonesia?
Pertanyaan
muncul ketika dalam diskusi terkuak bahwa realitas empiris menunjukkan secara
kuantitatif perundang-undangan senantiasa bertambah seiring dengan realisasi
program legislasi nasional (prolegnas) maupun program legislasi daerah
(prolegda), pada sisi lain secara kualitatif ditengarai banyak
perundang-undangan semakin amburadul. Realitas itu terasa melukai hati
rakyat, karena sedemikian banyak tenaga, waktu dan anggaran dihabiskan
sebagai pemborosan.
Saya,
selaku dosen, wajib menjawab pertanyaan berkualitas tinggi itu. Untuk tidak
mengecewakan, namun juga tidak mendominasi pemikiran, perlu diberikan jawaban
secara arif, bijak, mendasar, dan terbuka. Mahasiswa dipersilakan berbeda
pemikiran, bahkan bertolak belakang pun sangat dimungkinkan. Kalaupun ada
ramburambu, hanyalah terkait dengan konteks pembicaraan, yakni mengenai
negara hukum Indonesia.
Artinya,
keunikan Indonesia tidak boleh dikesampingkan, dan oleh karenanya kalau
kemudian Indonesia berbeda dengan negara lain, hendaknya dipahami dalam
bingkai keunikan itu. Saya katakan, ukuran keberhasilan negara hukum
Indonesia adalah kebahagiaan bangsa. Kapan bangsa ini bahagia? Ketika mampu
meraih tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Di sana
dinyatakan, ”Kemudian daripada itu,
untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.”
Secara
implisit pokok pikiran tersebut menyiratkan pesan moral dan amanat bahwa bagi
siapa pun pembuat hukum maupun kebijakan (decision
makers) agar dalam proses pembuatannya senantiasa berkiblat ke arah
tercapainya tujuan negara. Keseluruhan perundangundangan wajib memperhatikan
dan merengkuh dimensi kebangsaan, keutuhan seluruh wilayah tanah air,
kesejahteraan umum, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berkontribusi
pada dunia internasional demi terjuwudnya ketertiban, terjaganya kemerdekaan,
perdamaian, dan keadilan sosial.
Dengan
demikian, mestinya bangunan kehidupan bernegara hukum yang secara fisik-organis
beraneka ragam, perlu dipandang sebagai sistem komposit, yaitu terdiri atas
komponen jiwa-raga, lahir-batin, material-spiritual, sosial-ekologi,
nasional-internasional yang saling berkaitan dan bergantungan (Deutsch, 1977, Sudjito, 2014).
Karenanya, dimensi keutuhan menjadi amat sentral dan penting diperhatikan.
”Keutuhan” menjadi kata kunci bagi terwujudnya kebahagiaan.
David
Bohm, dalam Health and The Implicate
Order, memberi pencerahan bahwa kata health (kesembuhan, kesehatan)
berasal dari kata whole (lubang
bulat atau keutuhan). Seseorang akan merasakan sembuh, sehat, dan bahagia
bila berada dan bermakna dalam kehidupan yang utuh. Kehidupan utuh itu
meliputi diri-pribadi, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk lingkungan,
sebagai bangsa, sebagai warga dunia, bahkan sebagai khalifatullah di muka
bumi.
Rumusan
tujuan negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 telah mencakup
keutuhan kehidupan tersebut. Agar tujuan negara dapat dicapai dengan mudah,
para founding fathers telah memberi
bekal bagi generasi penerus berupa: (1) Pancasila sebagai philosophische grondslag, dan (2)
Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm
(pokok-pokok kaidah negara yang fundamental).
Keduanya,
mempunyai hakikat dan kedudukan tetap, kuat dan tidak berubah, melekat pada
kelangsungan hidup bagi negara, dan dalam hierarki tertib hukum Indonesia
berada pada kedudukan tertinggi dan menjadi sumber hukum bagi pasal-pasal di
dalam UUD maupun peraturan perundangan lain di bawahnya.
Karenanya,
agar bangsa ini bahagia, mestinya, substansi pasal- pasal dari UUD, ketetapan
MPR, undang-undang dan berbagai macam peraturan perundangan lain, dibuat
dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Persoalannya, apakah para legislator
kita paham, amanah, dan profesional dalam menjabarkan Pancasila dan mengawal
pencapaian tujuan negara ke dalam peraturan perundang-undangan?
Dalam
pengamatan saya (Kompas, 10 Januari
2009), sejak awal kita memasuki era reformasi banyak produk
perundang-undangan yang cacat ideologis. Padahal, dari awal reformasi, salah
satu yang dideklarasikan adalah menciptakan produk hukum yang berdasarkan
nilainilai luhur bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila.
Kenyataannya, produk hukum kita tak lagi bersumber pada Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, namun sudah tercerabut dari akarakarnya dan
lebih mengarah ke ideologi asing.
Hampir
semua produk perundangan lebih bersifat individualis dan kapitalis karena
diproduksi oleh lembaga legislatif yang dihuni oleh anggota-anggota DPR yang
tidak berkualitas. UU Kehutanan, misalnya, tak satu pun pasal yang memihak
rakyat. Begitu pula UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, bahkan UU Parpol
yang mengatur partai politik pun tak selaras dengan ideologi bangsa.
Kondisi
semacam itu terjadi karena penyusunan perundang-undangan seringkali ditangani
oleh orang yang tidak kompeten. Alhasil, banyak undang-undang tidak bisa
menyelesaikan masalah, tetapi malah menimbulkan problem baru. Dengan kata
lain, hukum dan negara hukum Indonesia belum berhasil membahagiakan
bangsanya. Bernegara hukum hakikatnya perjuangan mewujudkan kebahagiaan bagi
bangsa.
Di dalam
perjuangan itu mestinya diiringi kejujuran, semangat rela berkorban demi
bangsa, ada proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas
intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial,
keberkahan profesional, dan perubahan sosial menuju bangsa yang bahagia.
Melalui perjuangan bangsa ini bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban
yang bersendikan nilai-nilai Pancasila.
Setelah
pemilihan umum, kita berharap, siapa pun yang terpilih sebagai anggota
legislatif, bahkan presiden dan wakil presiden, dapat memfungsikan diri sebagai
pembuka pintu kebahagiaan bagi bangsa.
Sungguh
mulia bagi mereka yang tercipta sebagai pembuka pintu kebahagiaan, dan
sebaliknya, sungguh celaka bagi mereka yang tercipta sebagai pembuka pintu
kejahatan. Akankah harapan ini terkabul ataukah sirna ditelan embusan angin
lalu? Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar