Jokowi-JK
Menggowes Indonesia
Umbu
TW Pariangu ; Dosen Fisipol, Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Mei 2014
SENIN (19 Mei 2014), pasangan
bakal calon presiden wakil presiden, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK),
resmi mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu presiden dan wakil presiden
2014. Kedua pasangan ini mendaftarkan diri ke KPU dengan meng-gowes sepeda
diikuti dan dikawal para elite politik koalisi, ratusan simpatisan, serta
puluhan wartawan. Keduanya menyatakan siap untuk memperjuangkan amanat rakyat
yang lebih besar dan semakin berat (Metrotvnews,19/5).
Deklarasi Jokowi-JK sebagai
capres dan cawapres memang sudah diprediksi banyak kalangan dengan mencermati
intensifnya komunikasi yang dirajut dua figur ini jauh sebelum pemilu
legislatif. Prototipe duet politik ini oleh sejumlah pengamat politik dinilai
memiliki keunggulan tidak saja dari aspek potensi elektoral yang bakal
dipanen kelak. Namun juga keunggulan determinasi karakter dan komitmen
kerakyatan yang sama-sama berangkat dari visi kerja politik populis
berdasarkan bukti nyata dan bermuara pada penyejahteraan publik.
Jokowi membuktikan komitmen dan
kerja populisnya selama menakhodai pemerintahan di Solo ataupun di DKI
Jakarta. Kedekatan dengan rakyat dan simbol perjuangan wong cilik tidak saja
dimanifestasikan dengan pendekatan personalitasnya, tetapi juga melalui
kebijakankebijakan yang membela hak-hak masyarakat marginal. Ketegasannya
dalam mendesain sistem birokrasi yang ramping, profesional, dan terikat pada
kultur komitmen dan pembuktian kinerja yang melampaui standar (beyond of expectation) membuat
kepemimpinan Jokowi selalu bisa diterima oleh berbagai elemen dan
kepentingan.
Mengawinkan Jokowi dengan JK
bukanlah kehendak politis belaka. Sosok kelahiran Watampone, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan, yang sarat pengalaman di bisnis dan pemerintahan ini selalu
tampil energik dan apa adanya. Kerendahan hatinya tidak saja tecermin dalam
bahasa dan sikap tubuhnya di segala situasi, tetapi juga mewarnai `kerja
advonturir' kemanusiaannya terutama ketika menjalankan panggilannya sebagai
Ketua Palang Merah Indonesia hingga saat ini. Komitmen kemanusiaan dan
predikat `guru' (tempat bertanya) bagi semua kalangan ini pula yang membuat
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, pada Mei 2011 lalu pernah
menyebut JK sebagai tokoh yang mempunyai karakter berbeda dengan mantan
pemimpin Indonesia lainnya.
Bagaimana peluang Jokowi-JK?
Dari segi probabilitas kerja mesin
koalisi ataupun dukungan politik di parlemen, dua poros Prabowo-Hatta Rajasa
mengungguli poros Jokowi. Koalisi PDIP-NasDem-PKB-Hanura menghasilkan 39,97%
perolehan suara dan 207 dukungan kursi di parlemen, sedangkan koalisi
Gerindra-Golkar-PAN-PKS-PPP menghasilkan 47,47% suara dan 292 dukungan kursi
di parlemen.
Namun, koalisi yang dimotori
PDIP secara soliditas lebih menonjol karena dukungan koalisi ini pada figur
Jokowi-JK lebih merata dan satu suara. Salah satu keuntungan koalisi ini
ialah hadirnya visi dan gagasan kolektif mewujudkan perubahan tanpa syarat
(koalisi tanpa syarat) yang membuat titik temu dari segala tikungan elemen
kepentingan dalam unsur koalisi lebih mudah diperoleh dan disinergiskan untuk
meraih kursi RI 1 dan 2.
Adapun koalisi yang dimotori
Gerindra masih terbentur pada friksi soal pencalonan Hatta yang kurang
diterima oleh mitra koalisi: PPP ataupun PKS. Alasannya, Hatta bukanlah kader
NU dan kurang memiliki gereget elektabilitas untuk menggaet dukungan. Friksi
ini jika tetap tak berujung bisa menyebabkan diferensiasi dukungan politik di
arus bawah yang memengaruhi target pencapaian basis dukungan terhadap
pemenangan Prabowo-Hatta pada 9 Juli.
Lalu, apakah dengan modal
koalisi besar meniscayakan kemenangan mulus di pilpres? Jawabannya tak
sesederhana mengalkulasi peluang di atas kertas. Mesin politik dalam koalisi
memang ikut menentukan kemenangan kompetisi, tetapi bukan segala-galanya. Di
banyak kompetisi politik, kesepakatan politik yang terbangun di tingkat
elitis (misalnya, koalisi pencalonan kepala daerah) tidak merepresentasi
kecenderungan sikap politik di arus bawah yang preferensinya politiknya lebih
dinamis dan cepat berubah.
Figuritas akar rumput
Publik akan lebih melihat figur
ketimbang partai dalam menjatuhkan pilihan karena pilihan lebih bersifat
pasti dan bisa dikontrol daripada kelompok partai yang sulit dikawal proses,
mekanisme, serta akuntabilitas kinerjanya. Rendahnya apresiasi publik
terhadap partai-partai yang diidentikkan korupsi, pelanggaran moral,
kemanusiaan dan lain sebagainya menjadi bukti bahwa rakyat sudah memiliki
kematangan sikap dan pendirian politik untuk mengarahkan kerja politik ke
nilai dan pilihan politik yang lebih rasional dan kaya serat optik perubahan.
Hanya kombinasi figur yang
memiliki rekam jejak prestasilah yang berpeluang menyerap dukungan politik
maksimal. Dari segi ini, prominensia figuratif kepemimpinan masih tetap
dipegang JokowiJK. Survei Indonesia
Indicator (I2) menyatakan, kandidat pasangan Jokowi-JK menduduki
peringkat teratas dalam pemberitaan media dalam jaringan kurun waktu 10-17
April 2014. Artinya dua sosok ini dianggap media sebagai kombinasi pemimpin
paling tepat.
Survei Indikator Politik (20-26
April 2014) misalnya menempatkan A Jokowi sebagai pemimpin paling jujur,
amanah, dapat dipercaya (84%), disusul Prabowo Subianto (68%), Aburizal
Bakrie (Ical) (48%). Dari aspek bersih dari korupsi, Jokowi juga unggul
dengan 73%, sementara Prabowo (60%), dan Ical (38%). Dalam aspek kemampuan
memimpin pemerintahan, Jokowi tetap unggul walau tipis (81%) di atas Prabowo
(80%) dan Ical (57%). Dari aspek empati atau perhatian terhadap rakyat
lagi-lagi dominasi dan keunggulan Jokowi (91%) sulit digeser oleh Prabowo
(71%) dan Ical (52%). Kepemimpinan Prabowo hanya unggul dalam aspek
ketegasan, yakni 86%, mengalahkan Jokowi (74%) dan Ical (55%) serta unggul
dalam hal pengalaman internasional, yakni 73%, disusul Ical (61%) dan Jokowi
(57%).
Namun, dua aspek terakhir ini
pun masih bisa diperdebatkan dalam konteks turbulensi kepemimpinan nasional.
Misalnya, apakah preferensi ketegasan yang dilekatkan kepada figur Prabowo
benar-benar kompatibel dengan karakter kebutuhan corak kepemimpinan yang
dibutuhkan bangsa. Secara empiris Indonesia dengan sejumlah dinamika
persoalannya tidak saja membutuhkan visualisasi diri dan politik tubuh
kepemimpinan yang impresif, lantang, dan lihai membakar emosi publik melalui
pesan-pesan heroik, tetapi lebih dari itu juga membutuhkan bukti empiris
ketegasan melalui kemampuan mendorong dan mengeksekusi kebijakan disertai keberanian
menanggung berbagai implikasinya.
Jika dibandingkan dengan
Prabowo-Hatta, Jokowi-JK memiliki energi yang potensial untuk menyelaraskan
kekuatan prinsip kebijakannya dengan keandalan komunikasi politik yang
dua-duanya dikenal piawai menggunakan bahasa akar rumput. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar