Ilusi
Koalisi Partai Islam
Anhar Putra Iswanto ; Mahasiswa
Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
|
OKEZONENEWS,
29 April 2014
Setelah
pemilu legislatif usai, perbincangan di ruang publik politik tanah air riuh
dengan perihal koalisi. Masing-masing partai politik sedang mengatur taktik,
strategi demi mendapat “berkah” pada pemilu presiden mendatang.
Setidak-tidaknya “siap kalah, tapi tidak siap rugi”.
Dalam sistem
presidensialisme yang masih meraba-raba, melihat hasil sementara perolehan
suara masing-masing partai politik 2014, sudah menjadi keharusan bagi partai
politik untuk melakukan koalisi agar memuluskan pencalonan presiden. Yang
menarik justru datang dari partai (berbasis massa) Islam yang mencoba
melakukan koalisi membentuk “poros tengah baru”. Mengingat jika diakumulasi
perolehan suara partai Islam mencapai 30 persen. Benarkah ini akan terjadi?
Runtuhnya Politik Aliran
Meneropong
kekuatan partai politik dalam setiap pemilu di Indonesia, Herbert Feith dalam
bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(1978) memberikan penjelasan tentang tipologi parpol di Indonesia berdasarkan
ideologinya. Pada pemilu 1955 Feith membagi tipologi ini menjadi: aliran kiri
dianut Partai Komunis Indonesia (PKI), agak ke tengah
(sosialisme-nasionalsime) dianut partai Murba, aliran kanan (sosial demokrat)
dianut oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI), kanan yang agak ketengah (nasionalisme
kerakyatan) dianut oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), agak ke kanan
dianut oleh partai Islam modern (Masyumi, Persis), dan tradisional dianut oleh Partai NU
(setelah pecah dengan Masyumi).
Meskipun
terjadi reformasi politik di Indonesia, baik masa Orde Baru dan masa
Reformasi, tipologi partai politik (mines komunisme-sosialisme) masih berlaku
sampai saat ini. Pertama, reformasi politik dengan memodifkasi model parliamentary treshold belum berdampak
signifikan untuk mendukung model presidensialisme yang kokoh. Setidaknya
upaya untuk menyempitkan partai politik dalam pemilu harus terus dilakukan.
Kedua, dari partai politik peserta pemilu 2014 dapat dikelompokkan;
nasionalis kerakyatan dianut oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
dan Gerindra. Aliran nasionalis
demokrat (borjuis) dianut oleh Partai Demokrat, Nasdem, Golkar, dan Hanura.
Sementara aliran Islam modernis diwakili PAN, PBB, PKS dan separuh PPP. Dan Islam tradisonal dianut
oleh PKB dan sebagian PPP. Sementara suara kecil kelompok nasionalis kanan
dianut oleh PKPI, namun gagal mendapatkan kursi parlemen.
Dari
model tipologi ini, setidaknya kontetasi partai politik Indonesia masih
memperhitungkan kekuatan ideologi yang mereka anut. Sebagian teorisasi
politik, terutama akademisi Indonesia menyatakan bahwa partai politik
kehilangan identitas ideologinya. Ini terlihat dari model partai medeoker
yang tergantung pada figur tertentu. Tidak ada partai yang masih
memperjuangkan ideologi sebagai garis perjuangannya. Setidaknya ini terlihat
dari model politik catch all yang dilakukan oleh masing-masing partai.
Mengukur Kekuatan Partai Islam
Dari
hasil sementara pileg yang lalu, partai Islam (PAN+PKS+PPP+PKB+PBB), jika
diakomulasi perolehan suaranya mencapai 30 persen. Artinya, partai gabungan
ini dapat mencalonkan presiden tanpa berkoalisi dengan partai nasionalis
kerakyatan atau dengan aliran nasionalis borjuis. Logika ini mendorong para
tokoh partai Islam untuk menggagas terjadinya poros tengah jilid II.
Mungkinkah ini terjadi? Tidak!
Koalisi
partai Islam adalah sesuatu yang ilusi dan mimpi kosong. Setidaknya terdapat beberapa argumen untuk
menyebut kolisi partai Islam sebagai ilusi.
Pertama,
sejak pemilu 1965 dan dibubarkannya Masyumi oleh Soekarno 1964, partai Islam
mengalami dilema untuk menyebut diri mereka sebagai partai Islam yang
memperjuangkan ide-ide Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yag muncul dari kebijakan diskriminatif Orde Baru
juga tidak memiliki prestasi yang cukup baik sepanjang sejarah Orde Baru.
Artinya sejak Masyumi bubar, maka bubarlah parpol yang secara konsisten
memperjuangkan Islam dalam gerakan politiknya.
Kedua,
setelah reformasi 1998, parpol Islam berubah menjadi partai yang akomodatif
terhadap pemerintah dan sangat oportunis. Parpol Islam menjadi “gila”
kekuasaan dalam pemerintahan. Sepanjang sejarahnya, partai Islam tidak ada
yang berani mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah. Pemimpin partai
Islam lebih suka mengambil jalan koalisi untuk mendapatkan kursi pemerintahan
daripada menjadi koalisi yang dalam jangka pendek tidak menguntungkan. Ini
membuktikan sangat sulit membenarkan partai Islam berada dijalur track
ideologi yang dianutnya, apalagi mau berkoalisi.
Ketiga,
perubahan perilaku politik pemilih di Indonesia membuat partai politik,
termasuk partai Islam, bergerak menuju “ruang tengah” di mana kelompok
pemilih yang tidak lagi terikat ideologi berada. Kecilnya identifikasi party ID juga menjadi sebab partai
politik memperebutkan suara pada kotak yang sama.
Keempat,
dari analisis komunikasi politik yang dilakukan oleh parpol Islam adalah
bukan untuk membangun kekuatan mencalonkan satu presiden, melainkan
masing-masing partai Islam sedang bergerilia membangun kekuatan untuk
mendapatkan posisi sebagai wakil presiden dari tiga partai politik sebagai
induk koalisi (PDIP, Golkar,
Gerindra). Misanyalnya manufer politik yang dilakukan PKB adalah mencari
kekuatan politik untuk mengusung ketua umumnya Muhaimin Iskandar sebagai
calon wakil presiden (cawapres) dari pasangan manapun yang bersedia
meminangnya. Begitu pula yang dilakukan PPP, PAN, dan PKS. Maka sangat sulit
untuk membayangkan terjadi koalisi partai Islam pada pilpres nanti.
Kelima,
hal yang harus dicatat, bahwa psikologi politik pemilih pada musim pileg
tidak selalu relevan pada saat pemilihan presiden. Misalnya, orang yang
memilih Golkar pada pemilu legislatif, belum tentu akan memilih Abu Rizal
Bakrie (ARB) pada pemilihan presiden. Variabel ketokohan politik dan figur
menjadi faktor yang sangat menentukan.
Presiden Pacasilais
Salahuddin
Wahid menyebutkan tidak ada partai Islam atau yang berbasisi
Islam secara sungguh-sungguh mengetengahkan konsep ekonomi Islam yang sesuai
dengan konsep ekonomi konstitusi negara Indonesia (Kompas, 14/04/14). Jika partai Islam secara sungguh-sungguh
memperjuangkan ideologi politik Islam, maka agenda untuk memperjuangkan
keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran sudah sesuai dengan pemikiran
ideologi bangsa: Pancasila.
Dalam
hemat saya, bukan saatnya lagi untuk mencari pemimpin yang apakah dia Islam
atau bukan. Apakah dia sosok yang religius atau tidak. Pemimpin yang kita
cari saat ini adalah pemimpin yang berjiwa Pancasila, pemimpin yang berani
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang merugikan negara,
pemimpin yang mengamalkan UUD 1945 terutama pasal 33 yang menegaskan bumi,
air, dan kekayaan alam lainnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat, dan bukan untuk kesejahteraan asing.
Pada era 80-an, ketika gelombang pemikiran pembaharuan
Islam berkembang di Indonesia Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengungkapkan frase
yang kontroversial “Islam Yes, Partai
Islam No”. Cak Nur melihat bahwa
perjuangan partai Islam yang eksklusif tidak akan dapat menjawab persoalan
bangsa yang semakin kompleks. Maka saat ini yang harus dilakukan adalah
memilih pemimpin yang berani mengembalikan Indonesia pada ideologi bangsanya,
Pancasila. Islam Yes, Partai Islam No.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar