Antisipasi
Kecurangan Rekapitulasi Suara
Suyatno ; Analis Politik Pemerintahan
pada FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 30 April 2014
BAYANGAN pelanggaran masif mewarnai
molornya proses rekapitulasi suara Pileg 2014 sungguh mengkhawatirkan.
Antisipasi terhadap kecurangan rekapitulasi hasil pileg mendesak untuk
dilakukan kini dan mendatang. Muncul sinyalemen adanya kecurangan berbentuk
politik uang dan manipulasi suara akan merusak suara rakyat sebagai suara
yang murni dari rakyat.
Di berbagai daerah muncul
ketidaksesuaian jumlah suara. Seperti di Banten DPKTb berjumlah 10.239 orang,
sedangkan pengguna hak pilih mencapai 11.003 orang. Di Lampung perbedaan
hingga 881.376 suara dengan DPT DPD dan DPR. Upaya terobosan KPU berupa
tayangan form C1, dokumen rekapitulasi hasil pileg berjalan lambat. Di laman
KPU mencatat data baru mencapai 59,56% atau 325.090 tempat pemungutan suara
(TPS) dari 545.803 TPS (Media Indonesia, 29/4). Karena itu, sejumlah hal
patut menjadi catat an, terutama bagi penyelenggara pemilu di negeri ini.
Persoalan sebenarnya terletak pada tuntutan akan pengamatan, persiapan, dan
pelaksanaan yang komprehensif terkait dengan segala seluk-beluk pemilu.
Posisi kecurangan
Potensi kecurangan manipulasi
suara hasil pemilu legislatif menimbulkan pendapat dan pemahaman yang beragam
dalam masyarakat. Ada yang berpandangan politik memang runyam. Siapa pun yang
menang dalam pemilu di negara ini pasti akan direcoki. Para elite hanya
cenderung berorientasi kepada kekuasaan sehingga bila gagal meraih kekuasaan,
apa pun akan dilakukan, termasuk manipulasi suara hasil pemilu.
Bisa jadi, kelompok ini kemudian
tidak tertarik pada dunia politik karena peran serta mereka dalam pemilu dan
aspirasi mereka cenderung hanya dipermainkan elite politik. Mereka sudah
merasa memberikan suara dalam pemilu. Bagi mereka, itu sudah cukup, sudah
selesai. Kalau itu menjadi persoalan, tentu yang akan mempersoalkan ialah
mereka yang merasa dirugikan karena kekuasaan mereka terancam. Namun, ada
lagi yang berpendapat bahwa tidak ada asap kalau tidak ada api dalam kasus
ini. Jika tidak ada indikasi kecurangan atau pelanggaran atau kekeliruan atau
apalah namanya, kecil kemungkinan muncul kekarut-marutan seperti ini. Sebuah
proses rekapitulasi tentu tidak akan dilakukan secara serampangan.
Kelompok itu menganggap sudah
lama kecurangan dalam pemilu sebenarnya berlangsung. Itu masih diteruskan
meskipun katanya kita sudah masuk era reformasi, era cara-cara demokrasi,
transparansi, dan akuntabilitas menjadi pilihan utama. Jalan yang
bertentangan dengan itu semua harus segera ditinggalkan.
Penyebabnya hasil rekapitulasi
mungkin memang memperlihatkan indikasi ketidaksesuaian hasil penghitungan
yang dilakukan tim calon atau partai bersama para saksi dengan hasil akhir
penghitungan suara oleh KPU. Itu yang akan dikawal secara legal. Penyebab
lain jarak perolehan antarkontestan relatif dekat. Bahkan bila sinyalemen suara
yang dimanipulasi atau diubah, seorang calon bahkan berubah menjadi menduduki
posisi jadi.
Solusi dan demokrasi
Penyebab terjadinya kekisruhan hasil
pemilu itu ialah ketidaksamaan antara jumlah suara yang diperoleh serta
dicatat pada ting kat paling bawah TPS dan yang diperoleh di tingkat atasnya
hingga pusat. Kondisi itu sebenarnya bisa diatasi dengan memotong rentang
penyampaian perolehan suara. Panjangnya tingkatan yang harus dilalui untuk
menyampaikan hasil suara ke tingkat nasional membuka peluang terjadinya
manipulasi suara itu.
Kecil kemungkinan terjadinya manipulasi
di tingkat TPS. Setidaknya bila ada selisih dan kecurangan, segera dapat
dideteksi dan dita ngani. Di samping itu, pada tingkat itu biasanya saksi
dari peserta pemilu masih relatif lengkap. Yang men jadi saksi kebanyakan juga
orang yang menjadi `pendukung setia' dari salah satu peserta pemilu. Ada
perasaan tidak rela bila yang didu kungnya dikerjai pihak lain.
Di samping itu pelaksana di ting
kat itu kebanyakan rakyat kecil yang memiliki tingkat dedikasi dan kejujuran
yang tinggi. Mereka akan bekerja sungguh-sungguh. Kecil kemungkinan mereka
melakukan rekayasa terhadap hasil pemilu. Kalau kita ke desa-desa, akan
menjumpai jiwa kegotongroyongan untuk memperlancar pelaksanaan pemilu sangat
kental.
Kenyataan itu Kenyataan itu patut
menjadi pertimbangan pada pelaksanaan pemilu yang akan datang, untuk
memperpendek rentang pelaporan hasil per olehan suara. Misalnya dengan meningkatkan
teknologi komunikasi dari TPS atau tingkat PPS (desa) langsung dilaporkan ke
tingkat nasional oleh petugas yang dianggap mampu di saksikan seluruh saksi
dari peserta pemilu.
Cara itu ditempuh melalui berita
acara pembacaan hasil rekapitulasi suara melalui telepon atau alat komunikasi
sejenis (video conference).
Demikian pula di KPU pusat harus ada saksi dari seluruh peserta pemilu dalam
menerima laporan dari TPS disiarkan secara terbuka. Laporan yang melalui
tingkatan PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi digunakan sebagai back-up dan laporan tertulis serta
sebagai cross check. Namun, patokan
utamanya ialah laporan dari tingkat TPS atau PPS.
Bagi demokrasi, problematik
rekapitulasi hasil pemilu itu bisa memberi preseden baik dari sisi
penyelenggaraan pemilu yang baik. Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil sebagai prasyarat demokrasi di Indonesia.
Penyelenggaraannya
membutuhkan kecermatan agar terhindar dari pelanggaran-pelanggaran. Akan
tetapi, tanpa niat baik, justru preseden buruk yang akan muncul.
Orientasi pada kekuasaan dan
kepentingan sesaat dan sempit dengan memanipulasi hasil pemilu akan merusak
demokrasi secara luas. Negara dituntut untuk terbuka dalam memutuskan
kebijakan demi kehidupan bersama serta mampu mencegah terjadinya
ketidakjelasan dalam proses demokrasi. Dituntut bisa mendengarkan aspirasi
dari segenap masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar