|
HARI
ini kita memperingati Hari Tata Ruang. Sebuah peringatan tentu dilandasi
iktikad merefleksikan kinerja penataan ruang, sebagai tempat hidup kita semua.
Tata
ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. Adapun penataan ruang adalah proses
perencanaan dan pemanfaatan, sekaligus pengendalian pemanfaatannya. Penataan
ruang bertujuan mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan,
keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Menata
ruang juga dimaksudkan melindungi fungsi ruang untuk pelestarian lingkungan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan ruang
berasaskan bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya dan berhasil guna,
serta selaras, serasi, dan seimbang.
Apakah
ruang yang selama ini ditata sudah mengacu kaidah-kaidah itu? Dalam praktik,
penyusunan tata ruang lebih mengedepankan aspek fisik dan lebih mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan penyusunan tata ruang nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota harus mendasarkan daya dukung lingkungan dan daya tampung
lingkungan.
Daya
dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup mendukung peri kehidupan
manusia dan makhluk hidup lain, serta keseimbangan di antara keduanya. Adapun
daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Sejauh
ini peraturan pelaksanaan tentang daya dukung lingkungan baru mencakup lahan
dan air. Daya dukung lahan memperhitungkan kekuatan geologis dalam mendukung
beban bangunan. Kelebihan beban bangunan menyebabkan tanah ambles, sebagaimana
fenomena di Semarang bagian utara, yang memicu rob.
Daya
dukung air menghitung cadangan air untuk memenuhi kebutuhan air. Adapun daya
tampung lingkungan menghitung kemampuan lingkungan untuk menerima limbah yang
dibuang oleh kegiatan pada ruang yang dialokasikan. Konsekuensinya, daya
tampung lingkungan akan membatasi kuota limbah yang dibuang dari masing-masing
kegiatan yang ada di ruang tertentu. Ketentuan ini diperkuat oleh UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sejauh
ini rencana tata ruang tidak dilengkapi dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 memberi kelonggaran sampai 31
Desember 2010 kepada pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) untuk
menyesuaikan dengan ketentuan dari UU itu. Regulasi itu berarti menginjak tahun
ketiga batas kelonggaran.
Seiring
dengan hal itu, banyak rencana tata ruang telah disahkan. Pertanyaannya, apakah
semua rencana tata ruang tersebut dilengkapi daya dukung dan daya tampung
lingkungan? Kemerebakan protes terhadap rencana tata ruang, misalnya terkait
RTRW Jawa Tengah dan DKI Jakarta serta beberapa kabupaten/kota, mengindikasikan
masih banyak rencana tata ruang belum memenuhi kaidah lingkungan.
Tidak
berlebihan kalau kita menyebut banyak rencana tata ruang sudah cacat sejak
lahir atau memiliki cacat bawaan. Rencana tata ruang demikian bisa dipastikan
lebih banyak mengakomodasi kepentingan investor.
Ciri Inkonsisten
Ciri
kedua dari rencana tata ruang adalah begitu mudah berubah dan menuruti
keinginan pasar atau pemilik modal. Kita bisa menyaksikan dari kemasifan alih
fungsi lahan. Lahan perkebunan, pertanian, dan hutan berubah menjadi perumahan
atau industri.
Ruang
terbuka hijau (RTH) dan taman kota beralih fungsi menjadi mal. Gedung-gedung
bersejarah ditumbangkan dan digantikan ruko. Seorang warga Tasikmalaya Jabar,
sebagaimana diberitakan media nasional pada Juni 2010, menumpahkan kekesalannya
atas fenomena alih fungsi lahan dengan memasang spanduk bertuliskan, ”Dijual Segera Kota Tasikmalaya”.
Fenomena
kota kecil Tasikmalaya yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa, sesungguhnya mewakili
perkembangan kotakota lain, terlebih kota sekelas Jakarta, Bandung, Surabaya,
Semarang, Medan, dan Makassar. Mari kota simak sindiran terhadap perkembangan
penataan ruang di Tanah Air.
Di
Jambi konon dulu ada kata bijak ’’sepucuk
jambi sembilan lurah’’, artinya pada tiap petak yang ada pohon jambi, di
bawahnya terdapat lurah (sungai kecil) mengalirkan air. Sekarang pepatah itu
berganti menjadi ’’sepucuk jambi sembilan
ruko’’.
Bali
dikenal sebagai Pulau Seribu Pura, sekarang bertambah julukan ’’Bali Pulau Seribu Ruko’’. Sajak nakal
Remy Silado pun menyentil tata ruang dengan kata ’’banyak ruang banyak AC, banyak uang banyak acc’’. Semua sindiran
itu mengilustrasikan betapa perkembangan kota sangat disetir oleh pemilik modal
(market driven).
Alih
fungsi lahan secara masif berimplikasi pada perubahan iklim mikro, banjir, dan
tanah longsor. Anehnya, pada banyak kota perubahan yang disetir oleh pasar (tak
sesuai dengan rencana tata ruang) tersebut malah dibenarkan oleh pemkab/pemkot
dengan merevisi rencana tata ruang, disesuaikan dengan perubahan itu.
Undang-Undang
tentang Penataan Ruang sebenarnya menetapkan bahwa baik bagi pemberi izin
maupun penerima (juga yang mengajukan) izin pada ruang yang tak sesuai dengan
peruntukan bisa dikenai sanksi pidana. Ironisnya, dengan sanksi demikian pun
pelanggaran tentang rencana tata ruang terus terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar