Kecuali di kalangan fatalis, umumnya orang
percaya sebagian pendorong kemajuan dalam hidup adalah keberanian menantang
risiko. Para pionir, mereka yang menjadi pelopor, di bidang apa pun, adalah
orang-orang yang berani mengerjakan sesuatu yang belum pernah
dilakukan--dengan risiko bervariasi dari sekadar keliru hingga kehilangan
nyawa. Tidak selalu berarti para pemberani itu menempuh penjelajahan ke
wilayah-wilayah baru, di luar batas-batas yang ada--puncak gunung, bagian
paling sepi dari samudra, belahan bumi paling jauh dari peradaban. Wujudnya
bisa macam-macam.
Kata "pionir" mungkin mengingatkan
kita pada para pendatang dari Eropa yang membuka wilayah barat Amerika
bagian utara. Kisah Daniel Boone sulit diabaikan. Mantan perwira milisi
pada masa Perang Revolusi ini dikenal sebagai penjelajah yang pada 1775,
setelah mematahkan perlawanan suku-suku Indian, mendirikan permukiman
pertama di wilayah yang kini disebut Kentucky. Mengikuti rute yang
dilaluinya, lebih dari 200 ribu pendatang dari Eropa lalu bermigrasi ke
Kentucky/Virginia untuk mengubah nasib.
Sebagai pionir, orang-orang seperti Boone
itu memberi contoh. Dengan kata lain, mengambil risiko sebenarnya bukan
pilihan sukarela setiap orang. Atau, jika pengikut jejak Boone tetap bisa
dianggap memilih tahap berisiko dalam hidupnya, urgensi dan dimensinya
barangkali sudah jauh berbeda.
Bisa juga dipahami begini: pilihan untuk
hijrah ke daerah baru itu, dan menghadapi apa pun risikonya, sebenarnya
telah menjadi tindakan kolektif, berlaku sebagai "norma". Dan
itulah yang lalu mengubah secara signifikan masa depan mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengambil risiko
bukanlah norma, yang setiap orang akan menjalaninya. Tapi bukan tak bisa
sama sekali menjadi pegangan. Apa yang berlaku dalam jazz, misalnya.
Musikus aliran musik yang lahir di Amerika ini senantiasa memainkan not
yang sama dengan cara berbeda. Ini tak selalu mudah. "Setiap not yang
kami mainkan adalah sebuah risiko," kata Steve Lacy, saksofonis yang
pernah bermain dengan nama-nama besar, seperti Thelonius Monk, Charles
Mingus, dan Duke Ellington.
Bagaimana bisa? Salah satu aspek penting
jazz adalah improvisasi. Secara teknis, improvisasi berarti menciptakan
komposisi secara spontan dan "memetik" melodi langsung dari
pikiran. Hanya musikus berkaliber di atas rata-rata yang sanggup
melakukannya.
Dalam praktek, mereka yang sudah makan asam
garam pun bisa terpeleset: eksekusi improvisasi yang lemah, keluar dari
konteks, juga salah not. Tapi semuanya tak penting; semua itu menunjukkan
aneka risiko yang sudah ditanggung dan, karenanya, tak jadi soal. Salah
bukan bencana. "Salah itu benar," kata Thelonius Monk, pianis
jazz yang gemar mengakomodasi harmoni yang tergolong "goyah" dan
"miring". Harus diakui, hal-hal itulah yang ikut menempa jazz.
Dengan begitulah jazz dikukuhkan sebagai musik yang terus-menerus
berkembang.
Jika berani menghadapi risiko bisa menjadi
norma di lingkup kecil seperti jazz, mestinya tak mustahil berlaku di area
kehidupan lainnya. Katakanlah dalam memilih pemimpin. Misalnya, jika figur
yang dianggap "aman" terbukti tak menghasilkan perbaikan atau
kemajuan apa-apa, kenapa tak mencoba memilih seseorang yang bisa jadi bukan
siapa-siapa tapi peluang keberhasilannya jauh lebih terbuka?
Sekurang-kurangnya di situ ada harapan.
Kalaupun pilihan itu gagal, masih ada
kesempatan lain untuk menguji peluang serupa--dengan menantang risiko yang
sama atau yang lebih baru. Itulah yang menguatkan hidup dan menjadikannya
sanggup setiap saat memperbaiki diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar