|
Paras Islam di Sampang, yang direpresentasikan dengan
pertentangan kelompok Sunni dan Syiah, memiliki dimensi pembelajaran penting
tentang tata kelola konflik. Sebab, tak selamanya karakteristik konflik selalu
bermuara pada kekerasan, sepanjang diselesaikan dengan cara kreatif. Konflik
akan meningkatkan kualitas kohesi internal kelompok yang dalam jangka panjang
menguatkan keseimbangan kekuatan antarkelompok.
Lewis Coser (1956) meniscayakan konflik karena, dalam teori
sosial, tidak dikenal hukum kekekalan harmoni. Gesekan ideologi dan pemahaman
adalah bentuk dinamika berpikir yang lazim dalam sejarah peradaban manusia.
Justru peniadaan konflik yang memiliki fungsi positif akan menimbulkan
kehampaan dinamika proses dan struktur dalam masyarakat.
Potret konflik dan pengusiran warga Syiah dari tanah
kelahirannya di Sampang melukiskan kegagalan ulama dan pemerintah dalam
mempersepsikan konflik sebagai dinamika yang memiliki fungsi sosial. Sejauh ini
pemerintah kurang berperan dalam mewujudkan perdamaian, serta memulihkan hak
korban yang selama ini harus terusir dari kampung halamannya. Jauh dari
anggapan bahwa konflik pasti bersifat disfungsional, konflik pada batas
tertentu adalah anasir pembentuk dan katarsis keberlangsungan kehidupan
kelompok.
Persoalannya, pemerintah dan ulama setempat kurang memahami
seluk-beluk pertikaian, sehingga segala persoalan harus diselesaikan melalui
kompromi ideologi/pemahaman agama. Hal ini dapat dibaca melalui respons atas
deklarasi butir perdamaian yang disepakati kelompok Sunni dan Syiah. Kendatipun
inisiasi penandatanganan "piagam Sampang" ini muncul dari kesadaran
kelompok yang bertikai, pemerintah setempat tidak segera tanggap dengan mengeluarkan
kebijakan politik yang mendukung perdamaian dan membantu para pengungsi kembali
pulang ke lingkungan mereka semula di Sampang, Madura. Padahal kepemimpinan
politik yang mengayomi kaum minoritas dibutuhkan untuk mengatasi persoalan
intoleransi.
Alih-alih tokoh agama berada di garda depan mengawal
lahirnya piagam perdamaian itu, mereka justru ragu terhadap efektivitas
penandatanganan piagam perdamaian dan berdalih perdamaian semacam itu tidak
mengubah apa pun. Bagi ulama Madura, rekonsiliasi harus tetap pada rekonsiliasi
akidah dari ajaran Syiah ke ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Seharusnya mereka
memiliki sikap batin yang mendalam tentang penderitaan umat yang tertindas.
Dalam banyak hadis, Tuhan lebih condong kepada orang yang menjadi penolong dan
memihak kelompok tertindas. Para nabi dan rasul adalah mereka yang tumbuh dari
kaum tertindas. Mereka mendapatkan gelar pemilik keluhuran (ulul 'azmi), karena
berhasil membebaskan masyarakat dari ketertindasan.
Perlu ditegaskan bahwa ada kekeliruan tentang cara beragama
dan bertanah air. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, dalam konteks
pengalaman di Indonesia, menjaga tanah air lebih diutamakan daripada menjaga
agama. Menjaga agama tanpa tanah air sama halnya dengan berjuang di atas angin.
Peradaban manusia di dunia tetap memiliki akar historis yang kuat hingga
sekarang karena punya tanah air. Begitu pula banyak suku atau kelompok yang
kini mulai lenyap dari ingatan sejarah, karena tidak memiliki pijakan tanah
air. Ketika tanah air sebagai kedaulatan telah dijaga dan dipelihara, di
sanalah agama diperjuangkan. Singkat kata, keutamaan menjaga tanah air sebagai
pijakan memperjuangkan agama sama derajatnya dengan menjaga agama itu sendiri.
Mengusir warga Syiah dari tanah kelahirannya dengan dalih
menegakkan agama melukiskan narasi sejarah yang hampa tentang kualitas
keberagamaan kelompok yang masih di awang-awang. Mereka tidak mengerti arti
tanah air dan tak sadar bahwa negeri ini dibangun dari keringat beragam suku,
agama, dan kebudayaan. Seharusnya para pengusir itu malu dan menginsafi betapa
perbuatannya mungkar, karena mengklaim dirinya sebagai penguasa tunggal
kepemilikan tanah air.
Inilah tantangan ulama ke depan agar bentuk perilaku
keagamaan diselaraskan dengan kualitas rasional pemikiran dan penghayatannya.
Selama ajaran suci tidak dihayati sebagai konsep yang memberi arah pada
pembentukan perilaku, betapapun luhurnya ajaran agama, perilaku umat tidak akan
mencerminkan ajaran agamanya.
Peran Islam
Kendati lokus pertikaian Sunni-Syiah terjadi di Sampang,
sedikit-banyak hal itu mempengaruhi citra Islam di Indonesia. Padahal Islam
sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat memiliki kewajiban moral
menjaga Indonesia dari ancaman perpecahan.
Islam adalah agama yang menyerukan cinta kasih sekaligus
mengutuk kebencian; mengunggulkan semangat persatuan ketimbang provokasi
perpecahan; menyerukan perdamaian daripada pertikaian. Namun tak jarang
dijumpai di atas mimbar, juru dakwah lebih gemar menyerukan syiar permusuhan
terhadap kelompok yang dianggap sebagai liyan. Mereka menyitir ayat Al-Quran,
kemudian ditafsirkan secara serampangan dan dijadikan legitimasi normatif untuk
mengkafirkan dan memberangus kelompok dan agama lain yang berbeda. Sikap
tersebut memupuk-suburkan prasangka teologis.
Padahal sifat-sifat kasih (ar-Rahman) dan penyayang
(ar-Rahim) Tuhan menjiwai setiap surat dalam Al-Quran. Bahkan, di awal surat,
Allah memulainya dengan suatu penegasan diri: Dengan Asma Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Karena itu, barang siapa yang mengepalkan tangan
mengumandangkan takbir mengatasnamakan Tuhan sembari melakukan perusakan,
anarki, dan pembunuhan terhadap sesama, sesungguhnya ia telah menegasikan sifat
dan keagungan Tuhan.
Sejatinya banyak sekali ayat yang bisa dijadikan rujukan
dalam memaknai hakikat kebinekaan dalam konteks kebangsaan serta keberagamaan.
Hal ini dapat ditilik dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia diciptakan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal.
Ayat tersebut menegaskan bahwa kepelbagaian adalah
konstitusi Tuhan yang menuntut kepatuhan manusia untuk tidak merasa paling
benar, superior, dan suci atas yang lain. Sebab, tiap suku tentu memiliki
adat-istiadat berbeda-beda yang harus dijunjung tinggi dan dihargai
martabatnya. Tiap agama juga memiliki ritus dan keunikan yang diekspresikan
dalam pengalaman keagamaan.
Karena itu, kepemelukan agama di masa mendatang tampaknya
perlu diselaraskan dengan nilai-nilai karakteristik budaya Indonesia. Dengan
demikian, orang semakin menyadari bahwa tugas merawat Indonesia sama derajatnya
dengan tugas ketaatan beragama. Sebaliknya, memprovokasi lahirnya perpecahan
bangsa sama halnya dengan menghancurkan nilai universal agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar