|
PADA galibnya, kalangan pengusaha, terutama yang
bergabung Apindo, merenspons negatif gelombang demo buruh dalam beberapa hari
terakhir ini. Ada yang menganggap tuntutan buruh soal kenaikan upah minum
regional (UMR) tidak masuk akal. Bagi perusahaan, kenaikan UMR hingga di atas
Rp 3,7 juta (di Jakarta) itu akan menjadikan perusahaan layaknya besar pasak
daripada tiang. Akan membikin perusahaan ambruk.
Ada
yang menganggap demo buruh tidak murni lagi karena sudah ditunggangi
kepentingan politik. Misalnya, politik untuk menggoyahkan pemerintahan SBY.
Para penggerak demo itu juga dirumorkan dibayar negara asing agar investor
takut berinvestasi di Indonesia. Entahlah, semua serbagaduh.
Seperti sebuah paduan suara, kalangan pengusaha bersuara lantang. Bahwa
jika gelombang demo buruh terus-menerus terjadi yang mengakibatkan perusahan
setengah lumpuh atau bahkan lumpuh total, tingkat UMR mencekik pengusaha,
kalangan pengusaha mengancam akan hengkang atau merelokasi usahanya ke negara
lain.
Sikap kalangan pengusaha itu -tidak terlalu gegabah kalau dikatakan-
cermin bahwa mereka masih memegang paradigma kuno. Paradigma itu adalah
bagaimana mendapat profit sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Buruh
dikategorikan sebagai alat produksi yang biayanya harus ditekan
sekecil-kecilnya.
Paradigma itulah yang dipakai perusahaan Korea Selatan (Korsel),
khususnya para chaebol atau semacam konglomerat, pada era
sekitar 1980-an. Para chaebol mewarisi paradigma itu dari penguasaha
kapitalis ortodoks Barat. Buruh melakukan perlawanan terhadap represi
perusahaan. Tetapi, perlawanan nyaris selalu gagal karena para chaebol mendapat dukungan dari penguasa.
Bahkan, chaebol dengan penguasa itu membentuk kolusi
strategis dan melahirkan kelas baru yang disebut ''pengusaha''.
Perlawanan tanpa kenal lelah para buruh membuahkan hasil pada pertengahan
1990-an bersamaan dengan angin demokrasi yang bertiup keras. Koluasi
penguasa-pengusaha melemah. Terutama dimulai oleh Presiden Kim Young-sam yang
cenderung proburuh.
Pada saat yang relatif bersamaan berembus keras di Barat, khususnya
Amerika Serikat, terjadi perubahan paradigma dari kapitalisme ortodoks kepada
kapitalisme etis. Salah satunya adalah bergesernya eksistensi buruh sebagai
alat produksi kepada sebagai mitra kerja perusahaan. Penempatan buruh dalam
martabat kemanusiaan.
Perusahaan-perusahaan Barat mulai mendengar seruan-seruan moral.
Misalnya, seruan dari Paus Yohanes XXIII dalam Pacem in Terris. Intinya, ada
hak pekerja untuk memperoleh upah kerja yang ditentukan menurut kriteria
keadilan. Adalah wajib bagi perusahaan untuk memberikan upah yang memadai agar
pekerja dan keluarga bisa hidup sesuai dengan standar hidup martabat manusia.
Perusahaan Barat juga banyak yang menengok ke Jepang. Mereka kagum
kukuhnya perusahaan Jepang sehingga mampu menjadi penyangga ekomoni negara.
Terlihat 35 tahun setelah kalah pada Perang Dunia II, Jepang menjadi negara
kedua di dunia dalam pengembangan ekonomi. GNP pada 1970-an hingga 1980-an
tumbuh sekitar 200 persen. Angka yang fantastis.
Salah satu kesimpulan, kuatnya perusahaan Jepang terjadi karena
menempatkan buruh sebagai mitra. Memanusiawikan buruh. Bahkan, perusahaan besar
seperti Honda menyertakan buruh dalam kepemilikan saham (secara koperasi) dalam
jumlah cukup besar.
Karena itu, memasuki 1990-an semakin banyak pengusaha yang menganut corporate mystic (mistikus korporat atau sufi
perusahaan). Mereka -tulis konsultan bisnis Gay Hendrics dan Kate Ludeman
(1996)- berbisnis dengan etika.
Kena Uppercut
Para chaebol benar-benar tersentak ketika krisis
moneter melanda Asia pada 1997. Banyak perusahaan Korsel yang limbung layaknya
petinju yang knock down setelah kena uppercut telak. Sementara itu, perusahaan
''musuh bebuyutannya'', Jepang, tetap segar bugar.
Para chaebol mengambil momentum itu untuk semakin
cepat melakukan transformasi dari paradigma kapitalisme ortodoks kepada bisnis
dengan etika. Mereka meninggalkan cara pandang bisnis adalah bisnis, etika dan
prinsip harus mengalah demi profit.
Mereka menemukan bahwa perkawinan berbisnis dan berbuat baik dapat
meningkatkan profit, mempercerah prospek bisnis. Corporate mystic tumbuh subur. Pergolakan buruh
semakin sepi. Dan tentunya kita mafhum, Korsel menjadi newly industrializing economy yang sangat kukuh.
Sama dengan Korsel, pada 1997 Indonesia juga dilanda krisis moneter.
Banyak perusahaan, terutama yang besar dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) limbung, bahkan sampai sakaratul
maut. Mereka kehilangan penyangga utama, yaitu penguasa karena Presiden
Soeharto tumbang.
Bedanya, kalau pebisnis Korsel segera melakukan transformasi, termasuk
paradigma atau ideologi, pebisnis Indonesia tetap memeluk erat paradigma lama.
Implikasinya, buruh di Indonesia tidak henti bergolak laksana ombak
lautan. Pebisnis kurang memiliki daya saing. Cengeng, gampang mengeluh.
Sedikit-sedikit mengancam hengkang, meminta proteksi penguasa. Walhasil,
keinginan Indonesia untuk menjadi newly
industrializing economy seperti jauh panggang dari api.
Menjadi tangeh lamun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar