Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak tokoh inventor (penemu teknologi baru) yang dikenal di tingkat dunia
seperti Michael Faraday (1791-1867), penemu dinamo. Lalu, Thomas Alfa
Edison (1847-1931) inventor lampu pijar. Banyak tentunya yang mendengar
nama Albert Einstein (1879-1955), penemu teori relativitas bidang fisika.
Kehidupan mereka cukup mapan karena mendapat
royalti (imbalan bagi hasil) dari kegiatan inovasi yang dilaksanakan
industri pengguna paten. Jauh berbeda dengan kehidupan inventor Indonesia,
khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) karena tidak dapat
menikmati hak royalti, kendati dijamin undang-undang.
Penemu PNS, walaupun bukan pemilik paten,
undang-undang menjamin sebagai pemegang hak moral (moral rights) dan
ekonomi (economic rights). Hak ekonomi tersebut cukup jelas dinyatakan
dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Di situ disebutkan inventor berhak mendapat
imbalan layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari
temuan tersebut. Ketentuan tersebut tentunya berlaku secara umum untuk
semua inventor, baik yang bekerja untuk lembaga pemerintah maupun swasta.
Hak tersebut bukan sekadar tuntutan meraih
kesejahteraan sepadan. Lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengukur keadilan
bagi mereka yang telah bekerja keras, berkontribusi pada perekonomian
negara. Manakala penghargaan itu sulit diraih, tidak mengherankan jika
banyak inventor hengkang ke mancanegara mencari penghargaan. Bahkan, tidak
sedikit anak-anak genius Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan dan
berprestasi di luar negeri enggan pulang.
Seorang peneliti Indonesia yang bekerja di
Malaysia mengatakan sebuah high project pengembangan pesawat nirawak,
separuh penelitinya berasal dari Indonesia. Sementara itu, kabar terbaru
diperoleh pada awal 2013 bahwa Perdana Menteri Malaysia mencanangkan
kebijakan untuk menjadikan jiran ini sebagai pusat pengembangan industri
bioteknologi.
Kebijakan itu diikuti dengan upaya
mempertahankan tenaga ahli yang sudah tinggal di Malaysia. Mereka juga akan
meminang tenaga ahli dari berbagai negara. Bisa jadi, strategi Malaysia ini
memiliki daya tarik kuat bagi para ahli biotek Indonesia.
Jepang 50 Persen
Meski begitu, tidak dapat diyakini para
inventor yang bekerja di luar negeri memperoleh royalti karena bukan warga
negara setempat. Ada kecenderungan royalti dikuasai sepenuhnya pemberi
kerja. Kompensasinya, mereka digaji jauh lebih tinggi dibanding penghasilan
gaji di Indonesia.
Di Jepang, warga setempat yang menjadi
penemu dan bekerja di Riken akan menerima royalti sebesar 50 persen dari
nilai penjualan. Royalti di Jepang tidak sama. Karena inventor yang bekerja
di Tokyo Institute of Technology memperoleh royalti 30 persen.
Situasinya tentu sangat berbeda dengan di
Indonesia. Lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri masih harus berjuang
mendapat kelonggaran mengelola royalti dari kegiatan lisensi teknologi.
Penerimaan royalti dari pengguna HKI tidak menghadapi kendala, karena
umumnya sesuai dengan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997.
Namun, ketika lembaga litbang dan perguruan
tinggi negeri selaku pemegang HKI harus mengeluarkan sebagian penerimaan
royalti yang menjadi hak inventor, kewajiban itu tidak mudah dilaksanakan.
Sebab pada dasarnya, dana yang diterima dari pengguna HKI bukan kekayaan
pemegang HKI, tapi milik negara yang wajib disetor langsung ke kas negara.
Jika demikian, dipastikan tidak satu pun
inventor PNS dapat menikmati royalti secara legal jika dikaitkan dengan
ketentuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kendati undang-undang paten
menjamin hak royalti inventor, namun untuk PNS akan berkaitan dengan
keuangan negara. Jadi, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat hukum yang
sinkron dengan sistem keuangan negara, yang saat ini sedang dicoba untuk
disesuaikan.
Tapi, terobosan tersebut belum sampai
kemungkinan mengubah atau merevisi Undang-Undang PNBP. Bagaimanapun, sumber
royalti harus mengalir dari undang-undang tersebut.
Undang-Undang PNBP secara tegas mengatur
kewajiban lembaga pemerintah untuk segera menyetorkan seluruh PNBP ke kas
negara. Bahwa ada pengaturan mengenai izin penggunaan kembali atas PNBP
tersebut untuk tahun berikutnya, memang benar, tapi bukan untuk royalti
inventor.
Dalam konteks pengeluaran royalti dari PNBP
untuk inventor yang sulit saat mencari dasar hukumnya. Undang-Undang PNBP
tidak memberi mandat penerapan sistem royalti inventor. Jika demikian,
selagi Undang-Undang PNBP mau direvisi, perlu menyisipkan pasal tentang
royalti inventor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar