Rabu, 20 November 2013

Melihat Banjir Jakarta


Melihat Banjir Jakarta
Dicke Nazzary Akbar  Penerima Beasiswa Doktor
Sustainable Water Management DAAD di Jerman
KOMPAS,  20 November 2013



MUSIM hujan sudah datang. Berita tentang banjir Jakarta bermunculan kembali di surat kabar. Pemerintah pun masih terus berusaha menyelesaikan masalah ini, masalah yang ratusan tahun belum selesai sampai sekarang.

Sayangnya, bila kita melihat Program Unggulan Jakarta 2013, kita dapat pelajari bahwa solusi pemerintah belum sepenuhnya dapat menjawab tantangan masa depan. Masih terdapat program pengembangan Kanal Banjir Timur, normalisasi sungai, dan saluran drainase. Boleh dibilang program itu banyak berkonsentrasi pada pekerjaan saluran.

Dalam beberapa teori baru, pokok permasalahan pengelolaan air limpasan bukan lagi pada salurannya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa mungkin saluran ini adalah masalah yang sebenarnya. Pada hemat saya, kita perlu segera mengubah cara pandang kita terhadap permasalahan hujan dan air limpasan agar mendapat solusi yang berkelanjutan.

Bagi saya, rencana awal Kota Singapura tahun 1963 karya Otto Koenigsberger yang disebut Ring Concept Plan merupakan salah satu contoh rencana kota yang baik dalam merespons fenomena siklus air. Rancangan itu berhasil memberi landasan kuat untuk tata air Kota Singapura. Ini dapat dilihat dari rencana kotanya saat ini yang tak banyak berbeda dari rencana awal itu meski sudah direvisi berulang kali. Lalu, apa yang perlu kita maknai?

Inti rencana awal ini adalah mengatur tata guna lahan dan sistem transportasi Kota Singapura: akan dikembangkan kota-kota satelit dengan kepadatan tinggi, yang dihubungkan dengan sistem transportasi massal. Kemudian kembangan ini akan mengelilingi suatu daerah hijau alami, yang merupakan daerah tangkapan dan penampungan air hujan tepat di tengah pulau.

Singapura adalah pulau kecil yang tak mempunyai sumber air, baik itu air permukaan maupun akuifer alami. Itu sebabnya, sejak awal tak ada pilihan lain selain memanfaatkan air hujan sebagai sumber air.

Pada perkembangannya Singapura terus melihat air hujan sebagai sumber air. Hingga pada tahun 2011 Singapura berhasil menangkap air hujan dari 2/3 luas permukaannya. Bahkan, dalam rencana optimisnya, pada 2060 PUB Singapura akan terus meningkatkan luas ini sampai 90 persen dari luas permukaannya. 
Hal ini tentu akan membantu Singapura menekan pengeluaran biaya impor air dari Malaysia, desalinasi air laut, dan program NEWater, salah satu teknologi pengolahan air limbah termutakhir di dunia sekarang ini.

Menggunakan perspektif Singapura, kita  perlu memahami kembali bahwa sebenarnya air hujan adalah satu-satunya sumber air berkelanjutan yang disediakan alam. Tidak ada sumber lain karena pada hakikatnya, air permukaan dan air tanah pun berasal dari air hujan.

Jakarta pun harus mulai menyadari bahwa saat ini masalah krisis air bersih sudah segenting masalah banjir. Paradigma lama kita yang mengharuskan membuang air limpasan menuju laut—melalui kanal atau saluran kota secepat mungkin—harus dipertanyakan kembali.

Desentralisasi

Ketika Ahmed Aboutaleb, Wali Kota Rotterdam, berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu, ia dengan bangga mengajak Jokowi belajar dari solusi banjir kotanya sekarang. Rotterdam baru saja menyelesaikan Waterplan-2 untuk kotanya.

Bagi Rotterdam, kota yang berada di bawah permukaan air laut, banjir adalah bencana yang makan biaya besar. Belakangan ini kekhawatiran Rotterdam kian besar ketika menghadapi ancaman banjir yang meningkat akibat perubahan iklim (curah hujan tahunannya mulai bertambah secara tak menentu). Yang menarik, Rotterdam dalam rencana ini mengubah cara pandangnya terhadap air limpasan: pada mulanya selama ratusan tahun dilihat sebagai ancaman; menjadi sebuah daya tarik kota. Lahirlah terobosan baru dalam rencana ini: Watersquare.

Pada konsep ini, setiap ruang publik kota akan diberi fungsi tambahan sebagai ruang penampungan air limpasan sementara dari daerah sekitarnya. Ketika kering, ruang ini berfungsi sebagai plaza atau taman kota. Ketika hujan turun, ruang tersebut tak banyak digunakan dan beralih fungsi menjadi kolam air limpasan yang atraktif. Berbeda intensitas curah hujan, berbeda pula ruang air yang terbentuk.

Selain meningkatkan kualitas ruang publik, perubahan perspektif ini juga menciptakan solusi desentralisasi pengelolaan air limpasan kota. Solusi ini akan lebih mudah dibandingkan dengan normalisasi sungai yang selalu berkendala pembebasan lahan (Kompas, 22/10) atau pembangunan waduk banjir baru.

Keterlibatan warga

Berbeda lagi dengan Portland. Kota ini melihat masalah air limpasan tak akan mungkin diselesaikan hanya dengan usaha pemerintah. Keterlibatan warga sangat berperan besar. Sejak tahun 1993 Portland mengajak warganya terlibat langsung menyelesaikan masalah ini melalui program Disconnect Downspout. 

Pada awal program ini, warga akan diberi insentif bila bersedia memutuskan saluran talang rumah mereka dengan saluran kota, atau mengelola air limpasan di rumah mereka. Aplikasinya diserahkan langsung kepada warga. Meski demikian, pemerintah kota tak lepas tangan. Ia terus memberikan pendidikan kepada warga dengan seminar publik gratis, memasukkan topik ini ke dalam kurikulum sekolah, dan membiayai penuh proyek-proyek yang dinilai inovatif.

Hasilnya, warga berlomba- lomba menjadi inovatif. Muncullah sejumlah instalasi air limpasan yang menarik di kawasan permukiman. Program ini sudah berhasil mengurangi beban air limpasan ke saluran air kotanya sebesar 4,9 juta m3 per tahun.

Dari sini kita bisa merasakan semangat gotong royong warga mengatasi masalah kotanya. Sebuah kondisi yang lahir dari perspektif kebutuhan pemerintah merangkul warganya. Sebaiknya pemerintah Kota Jakarta berani mengubah program partisipatif menjadi program unggulan: tak hanya pembangunan infrastruktur yang dikerjakan pemerintah.

Tentu sangat tak bijak bila kita hanya mereplika solusi kota lain. Tiap kota memiliki karakter. Yang harus segera kita lakukan adalah mengubah cara pandang kita melihat banjir dengan perspektif baru yang selaras dengan tantangan zaman. Semangat baru Jokowi-Ahok sudah membawa banyak perubahan, sekarang tinggal bagaimana kita menyempurnakannya untuk Jakarta yang berkelanjutan. Semoga solusi-solusi inovatif untuk masalah Jakarta akan terus lahir. Selamat menikmati musim hujan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar