|
“Ada secercah
cahaya di tengah keprihatinan, yakni kemungkinan Bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional”
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
Tanah Air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
ITULAH teks Sumpah Pemuda yang dibacakan dalam Kongres
Pemuda I yang dipimpin Mr Soegondo Djojopoespito di Waltervreden, sekarang
Jakarta. Tepatnya di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat pada 28 Oktober 1928,
di gedung yang kini bernama Museum Sumpah Pemuda, dekat tempat tinggal penulis.
Hingga 85 tahun kemudian, Sumpah Pemuda masih kita peringati, terutama oleh
pemuda yang penulis posisikan sebagai pilar kelima dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, setelah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Namun sesering memperingati Sumpah Pemuda, sesering itu
pula kita mendapati kenyataan bahwa semangat dan elan kejuangan para pemuda
pada 1928 tidak diwarisi oleh para pemuda saat ini. Fenomenanya, banyak pemuda
terlibat penyalahgunaan narkoba dan korupsi.
Data di Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut angka
prevalensi 2,2% dari jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 4 juta orang,
menyalahgunakan atau mengosumsi narkoba. Dari jumlah itu, 22% atau sekitar 880
ribu berstatus pelajar/mahasiswa atau tergolong pemuda. Pemuda yang terlibat
korupsi pun tak sedikit. Sebut misalnya Gayus Tambunan, Angelina Sondakh, M
Nazaruddin, Andi A Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum.
Soal bahasa juga memprihatinkan. Saat ini berkembang pesat
bahasa alay setelah sebelumnya ada bahasa prokem dan bahasa gaul. Tentu hal itu
mengancam keberadaan Bahasa Indonesia. Namun di tengah keprihatinan tersebut
ada secercah cahaya, yakni kemungkinan Bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional, sejajar dengan Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab,
Bahasa Jerman dan sebagainya.
Ketika membuka Kongres X Bahasa Indonesia di Jakarta, pada
Senin, 28 Oktober 2013, Mendikbud M Nuh mengatakan, Bahasa Indonesia berpotensi
menjadi bahasa internasional. Bahasa dengan jumlah penutur terbesar keempat di
dunia ini diprediksi bertambah jumlah penuturnya.
Menurut Nuh, studi Global McKinsey Institute memprediksi
Indonesia bakal masuk dalam jajaran 7 besar ekonomi dunia pada 2030. Karena
itu, perbaikan ekonomi ini harus didukung peran sosial dan budaya, terutama
bahasa. Bahasa Indonesia wajib membaur dengan bahasa asing lainnya.
Nuh menantang kesanggupan peserta kongres untuk menjadikan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Tantangan itu disambut gemuruh
teriakan peserta yang menyatakan sanggup. Bisakah Bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional? Melihat jumlah penuturnya yang terbesar keempat di antara
penutur bahasa internasional lainnya di dunia, penulis yakin bisa.
Sikap Mental
Apalagi sejak zaman Sriwijaya, Bahasa Indonesia sudah
menjadi lingua franca di antara saudagar atau pedagang, yang berasal dari
berbagai negara. Karena itu, Sumpah Pemuda yang baru saja kita peringati hendaknya
dijadikan momentum untuk lebih menginternasionalisasikan Bahasa Indonesia.
Bahasa nasional kita harus go
international.
Namun, sebelum benar-benar menjadi bahasa internasional
perlu memperbaiki sikap mental bangsa ini, terutama dalam kaitan dengan berbahasa
Indonesia. Bagaimana bisa menjadi bahasa internasional bila kita tidak bangga
ketika menggunakannya? Contohnya kemerebakan penggunaan bahasa alay, bahasa
prokem, dan bahasa gaul itu. Bahkan banyak di antara kita lebih bangga
menggunakan bahasa asing, atau minimal mencampuradukkannya dengan Bahasa
Indonesia bila bertutur.
Bandingkan dengan bangsa Prancis, Jerman, Jepang, atau
China yang meskipun menguasai Bahasa Inggris, mereka lebih bangga bertutur
menggunakan bahasa ibu. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa. Dalam konteks ini
kita patut mencontoh Pak Harto. Semasa menjadi presiden, baik ketika di dalam
maupun luar negeri, ia selalu berpidato dalm Bahasa Indonesia.
Di sisi lain, kita tidak boleh mengesampingkan bahasa
daerah yang telah membentuk karakter sebagai bangsa, terutama berkait semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Data dari Summer Linguistic, Indonesia memiliki 746
bahasa daerah. Adapun Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Badan
Bahasa Kemdikbud Yeyen Maryani mengatakan, jumlah bahasa daerah di Indonesia
lebih banyak dari data yang disajikan Summer
Linguistic. Contohnya Papua yang memiliki 400 bahasa daerah.
Dari jumlah itu, beberapa sudah punah, seperti di NTT,
Maluku, dan Papua. Punah dimaksud adalah jumlah penutur bahasa mengalami
penurunan atau sudah tak ada lagi. Penyebab kepunahan itu di antaranya bencana
alam, perang, dan perkawinan campuran.
Kemdikbud pun menggalakkan upaya pelestarian bahasa daerah,
di antaranya melalui pendataan jumlah bahasa daerah, pemetaan bahasa, dan
membuat peta bahasa. Termasuk perlindungan dengan menginventarisasi kosa kata
bahasa daerah, serta memasukkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum
pendidikan melalui pembelajaran muatan lokal. Upaya-upaya tersebut tentu harus
kita dukung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar