MESKI pernah ikut dibahas,
pemekaran Luwu Tengah dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, akhirnya tidak
masuk dalam daftar 65 calon daerah otonom baru usulan DPR baru-baru ini.
Reaksi keras muncul dari barisan
”pejuang” pemekaran. Mereka menuding ada elite lokal tak serius bahkan
memanipulasi aspirasi yang diperjuangkan masyarakat Walenrang-Lamasi
(Walmas) sejak 2005 itu. Konteks persaingan keras dalam pilkada yang
digelar belum lama berselang dilihat sebagai latar kasus yang kini
mengambil bentuk ulangannya dalam kontestasi politik pemekaran. Kerusuhan
pun pecah, hingga memakan korban nyawa, disertai aksi blokir jalan yang
melumpuhkan jalur Trans-Sulawesi beberapa saat.
Pemekaran daerah, seperti halnya
pilkada, merupakan dua sisi dari keping retak desentralisasi. Keduanya
mewakili gambaran kerja desentralisasi yang sejauh ini lebih jadi palagan
para elite berlaga ketimbang struktur kesempatan baru bagi rakyat
buat mengelola daerahnya secara otonom. Elite seolah punya versi otonominya
atau sewenangnya menafsirkan dan mendesakkan kepentingannya. Rakyat pun
nyaris konstan menjadi bidak dan tumbal yang tak jarang berujung
pengorbanan nyawa dalam setiap konflik yang disulut para pemimpin mereka.
Koreksi mendasar
Sebagai sistem, tentu
desentralisasi tak boleh ditarik pulang, termasuk melalui jalan
resentralisasi parsial yang sedang dicoba pemerintah dalam momentum revisi
UU Pemerintahan Daerah saat ini. Di beberapa daerah, meski baru sedikit
jumlahnya, di setidaknya 50 daerah (sekitar 10 persen dari total 505
kabupaten/kota yang ada), tuah desentralisasi sudah terlihat jelas dalam
kebijakan lokal inovatif yang menghasilkan perbaikan nyata layanan publik
dan kehidupan ekonomi. Lebih dari itu, masih banyaknya masalah otonomi hari
ini justru lebih disebabkan tidak serius dan tamaknya para elite politik
dan birokrasi sebagai pemangku otoritas.
Jadi, bukan sistem yang mesti
dikoreksi dan bukan pula tingkat ke(tak)cerdasan rakyat kebanyakan yang
disalahkan. Koreksi atas otonomi bermasalah mestinya terutama adalah
koreksi atas perilaku, komitmen, dan kemampuan elite itu sendiri. Sebagai
sebuah produk kebijakan negara dan melibatkan kontestasi politik, para
elite memegang determinasi perubahan atau sebaliknya sebagai biang petaka.
Dalam pembacaan demikian, segala langkah perbaikan dan penataan ke depan
mesti melingkupi dan bertitik tolak dari sejumlah hal berikut.
Pertama, otoritas yang menumpuk
dan berpusat di segelintir elite, khususnya kepala daerah, telah membuat
otonomi menjadi laga rebutan para power-and-rent seekers. Kalau
seseorang kalah dalam pilkada, dia lalu menggerakkan pendukungnya dan
melobi elite Jakarta untuk pemekaran daerah. Langkah lain, dia akan terus
mengganggu kandidat terpilih, tidak selalu untuk menjatuhkan, tetapi
sebagai upaya tawar-menawar kekuasaan dan alokasi rente ekonomi.
Daerah
menjadi riuh dengan segala kegiatan politik dan manuver kekuasaan yang tak
punya kaitan apa pun dengan urusan kemaslahatan publik.
Agar otonomi tidak lalu merosot
jadi otonomi elite atau otonomi bupati/wali kota yang justru menciptakan
mikrosentralisasi baru di daerah, distribusi kekuasaan (skema devolusi)
harus lebih terbuka secara horizontal (reposisi DPRD) dan vertikal
(reformasi lini fungsional dalam birokrasi dan lini kewilayahan berupa
desentralisasi kecamatan). Hemat saya, kian menyebar pusat-pusat kekuasaan
yang ada di aras lokal, arena kontestasi dan wilayah edar elite politik
menjadi terdiversifikasi. Hal itu juga secara politik mendorong
keseimbangan kekuasaan dan secara manajerial menjadi mekanisme pembagian
kerja yang niscaya dalam sektor publik yang kini amat kompleks.
Kedua, otonomi elite menjadi
lebih terkendali jika ruang deliberasi publik diperkuat. Sesungguhnya,
esensi otonomi kita adalah menjadikan rakyat berdaya sebagai warga otonom,
bukan malah desentralisasi pemerintahan yang sekadar menggeser sentralisasi
Jakarta (makrosentralisasi) ke pusat-pusat kekuasaan baru di daerah, atau
macet sebagai agenda instrumentalis semata.
Selama ini, rakyat bukannya tak
terlibat, melainkan umumnya bergerak atas dasar mobilisasi dan tak
terinstitusionalkan. Prasyarat keberdayaan rakyat bukan semata perihal
kecerdasan, melainkan tersedianya kelembagaan otonom mewadahi proses
deliberatif.
Ketiga, akhirnya, determinasi
elite dan ketergantungan rakyat adalah tanda gagalnya pembangunan itu
sendiri. Tipologi konflik di tingkat lokal menunjukkan sebaran dan intensitas
yang tinggi umumnya terjadi di daerah yang secara ekonomi berprofil buruk.
Politik menjadi keras dan rakyat cenderung irasional jika lapangan kerja
minim, akses kesejahteraan tertutup, ketakadilan sosioekonomi akut. Bahkan
rente merajalela tumbuh subur di daerah kumuh dan berpemerintahan tertutup.
Kerangka dasar penataan jelas
terkait strategi pembangunan. Otonomi menuntut pergeseran model pembangunan
yang didominasi negara/pemda (state-centric development) versi rezim
otokrasi-sentralistik ke kesempatan luas bagi masyarakat (swasta).
Kapasitas fiskal pemda sesungguhnya lemah untuk jadi sumber pertumbuhan,
bahkan jika inefisiensi dan korupsi berhasil mereka tekan.
Maka,
tantangannya adalah bagaimana membangun daerah berbasis investasi produktif
dan inklusif, dengan pemda memberi stimulasi ekonomi ataupun fasilitasi
pelayanan usaha yang menjamin iklim investasi dan daya saing yang kuat.
Termasuk dalam strategi besar
ini adalah perubahan kerja sektor publik. Dalam kasus pemekaran,
sebagaimana ditulis Jaweng (”Pemekaran dan Cacat Bawaan”, Kompas, 24
Juni 2013), gencarnya tuntutan di sejumlah wilayah jelas tak lepas dari
ikhtiar merebut negara itu sendiri: persisnya distribusi barang publik yang
diproduksi negara. Terasa sekali negara nyaris absen dalam kehidupan nyata
mereka, baik instrumen fiskal maupun pelayanan publiknya. Kalaupun hadir di
tingkat lokal, aksentuasinya melalui distribusi barang publik (rumah sakit,
jalan berkelas, dan lain-lain) selalu hadir mengikuti logika hierarki
pemerintahan.
Di sini, level ketersediaan
pelayanan publik tidak bertujuan menjawab kebutuhan/permintaan layanan dari
warga, tetapi sekadar menyesuaikan dengan penjenjangan level kewilayahan
atau status sebagai ibu kota. Jadi, memperjuangkan pemekaran dan merebut
ibu kota adalah perjuangan menghadirkan negara dan akses atas distribusi
sumber daya/barang publik yang dialirkan dalam logika birokratis tadi.
Rasionalitas kebijakan dan politik pelayanan publik ini wajib dikoreksi.
Catatan akhir
Jelas, tafsir ulang otonomi agar
bebas dari hegemoni pemaknaan dan desakan kepentingan para elite tak bisa
hanya dengan membatasi ruang gerak mereka, apalagi sekadar imbauan moral.
Jalan resentralisasi yang sering kali menjadi solusi panik pemerintah juga
sama sekali tak menolong kehadiran perubahan. Suatu dekonstruksi mesti
diupayakan, melalui koreksi mendasar atas politik desentralisasi dan
pembangunan itu sendiri.
Revisi UU Pemda berada pada
konteks tantangan demikian. Perdebatan legislasi di DPR tidak boleh sebatas
isu-isu artifisial. Para penyusunnya juga harus bebas dari sindrom rabun
jauh yang membuat mereka lekas pendek akal. Konflik lokal, entah dalam
pilkada atau pemekaran, ataupun segala masalah serius otonomi lainnya harus
menjadi pelajaran untuk lebih serius menata otonomi, tidak justru membonsai
dan menariknya kembali yang malah kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar