Zakat adalah
Kemenangan
M Mas’ud Said ; Guru Besar UMM dan
Ketua Lazis Sabilillah, Malang
JAWA
POS, 13 Agustus 2012
HARI-hari ini, sebelum Ramadan berakhir, kaum muslimin yang berpunya mulai
menghitung berapa zakat yang wajib dikeluarkan. Dikeluarkan artinya menyisihkan
milik orang lain, yakni kaum mustahik, yang tercampur dalam harta kita.
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat merupakan hal yang tak terpisahkan dari sempurnanya Islam. Di seantero kota dan desa, di masjid-masjid dan musala, terlihat spanduk dan papan pengumuman seruan membayar zakat. Bando-bando jalan dan spanduk besar berseru layaknya penceramah, ustad, dan kiai yang berdakwah dan menyeru bahwa ketika orang membayar zakat berarti dia menuju kemenangan.
Mungkin, secara umum orang mengartikan kemenangan itu seperti menang dalam pertandingan sepak bola, memenangi pilkada, atau mengalahkan orang lain. Kita sering mengira, kalau ada orang lain kalah, kita sebut diri kita sedang menang. Rasanya itu keliru. Sudah kuno. Rasanya kalau kita senang dan bangga ketika orang lain sengsara adalah sebuah salah paham atau paham primitif soal arti kemenangan.
Bagi saya, kemenangan dari hasil puasa bukanlah kemenangan biasa, tapi kemenangan hakiki. Membayar zakat tidak mengandung arti kemenangan dalam pengertian konvensional, yaitu keadaan girang saat kita mengalahkan orang lain atau kesenangan kala kita mengecilkan kelompok lain.
Kemenangan sejati ialah suatu keadaan setelah kita ngalah. Kemenangan itu ialah ketika kita bisa mentas dari egoisme. Kita mematikan keserakahan yang barangkali dalam setahun telah kita hidup-hidupkan. Dengan harapan "puasa keserakahan" itu akan berlanjut ke dalam kinerja hidup kita sehari-hari.
Dalam ajaran Islam, kemenangan yang sejati, kemenangan yang hakiki, kemenangan yang asli, justru kalau kita "memenangkan orang lain" atau membuat orang lain menang. Tak peduli kita laba atau kita rugi. Bagi para ahli sufi, kemenangan itu ketika bisa mengentaskan penderitaan orang lain. Karena bertujuan memenangkan orang lain yang miskin papa, mengentaskan kekurangan orang lain yang memang kurang, zakat disebut sebagai kemenangan.
Mengapa disebut sebagai kemenangan? Bukankah zakat malah mengurangi harta kita? Sebab, di dalam ajaran Islam, dalam sikap membayar zakat itu terkandung arti mengakui bahwa rezeki bukanlah seratus persen atas keringat sendiri. Seorang pengusaha besar meraih laba pasti dibantu orang lain, bukan atas keringat sendiri dan keluarganya. Dalam filosofi zakat terkandung perbuatan memenangkan orang lain yang hidupnya sedang kalah. Zakat mengurangi egoisme yang memenangkan diri sendiri.
Sebagaimana puasa, arti kemenangan yang sejati justru kalau kita mampu "mengalahkan diri sendiri", khususnya mengalahkan nafsu kita. Misalnya, mengurangi baju baru, lalu diberikan kepada orang lain. Arti menang ialah ketika kita berani membantu si miskin sehingga mereka menjadi menang. Atau membela orang-orang yang kalah, sehingga mereka tidak tertindas.
Tentu karena cintanya yang besar, banyak ibu yang rela mengurangi keinginan membeli baju baru dan dia ingin memenangkan anaknya. Ketika banyak orang bersaing untuk meraih kekuasaan, kita menjaga dan memakmurkan masjid Allah. Hal itu, dalam bahasa agama, disebut berjihad fisabilillah. Itu juga makna kemenangan akbar.
Dalam pengertian hakiki, kemenangan itu diartikan memberi (tangan di atas), bukan menerima. Ajaran zakat dan ajaran puasa, misalnya, intinya seperti itu. Mengendalikan diri, mengurangi kesenangan. Memberi dan memberi: dalam bahasa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) biasa disebut giving, loving, and caring. Memberi, menyayangi, dan peduli. Memenangkan orang lain yang sedang kalah atau dikalahkan situasi adalah kemenangan yang lebih sejati.
Pada saat banyak rakyat berjuang hidup dalam kesengsaraan, saat banyak pengemis tak tertolong, tunawisma belum mendapatkan tempat berteduh; jangan bicara kemenangan. Menurut ajaran Islam yang hakiki, adalah aneh kalau orang-orang kaya berpesta, dalam keadaan orang papa menderita. Itu bukan kemenangan, itu kebodohan sejati atau kezaliman.
Itulah arti zakat. Pada saat sebelum Idul Fitri tiba, kita diminta menebarkan kebaikan, keihsanan kepada semua orang, kasih kepada lingkungan. Ini bukti bahwa untuk mencapai kemenangan kita memperhatikan orang lain. Untuk para pribadi yang menang, zakat adalah alat kemenangan di hadapan Allah. Tidak ada kemenangan tanpa kasih sayang kepada orang lain yang membutuhkan.
Bayangkan saja, kalau orang-orang miskin, pengemis, orang yang mengais zakat yang tidur di trotoar sekitar masjid-masjid besar dan gelandangan atau orang-orang teraniaya oleh bosnya, kita bisikkan bahwa mereka juga bisa menang di hari raya ini. Mungkin mereka tersenyum bangga, karena rahmat Islam merengkuh mereka.
Itulah sebabnya, zakat adalah suatu kemenangan. Kemenangan besar. ●
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat merupakan hal yang tak terpisahkan dari sempurnanya Islam. Di seantero kota dan desa, di masjid-masjid dan musala, terlihat spanduk dan papan pengumuman seruan membayar zakat. Bando-bando jalan dan spanduk besar berseru layaknya penceramah, ustad, dan kiai yang berdakwah dan menyeru bahwa ketika orang membayar zakat berarti dia menuju kemenangan.
Mungkin, secara umum orang mengartikan kemenangan itu seperti menang dalam pertandingan sepak bola, memenangi pilkada, atau mengalahkan orang lain. Kita sering mengira, kalau ada orang lain kalah, kita sebut diri kita sedang menang. Rasanya itu keliru. Sudah kuno. Rasanya kalau kita senang dan bangga ketika orang lain sengsara adalah sebuah salah paham atau paham primitif soal arti kemenangan.
Bagi saya, kemenangan dari hasil puasa bukanlah kemenangan biasa, tapi kemenangan hakiki. Membayar zakat tidak mengandung arti kemenangan dalam pengertian konvensional, yaitu keadaan girang saat kita mengalahkan orang lain atau kesenangan kala kita mengecilkan kelompok lain.
Kemenangan sejati ialah suatu keadaan setelah kita ngalah. Kemenangan itu ialah ketika kita bisa mentas dari egoisme. Kita mematikan keserakahan yang barangkali dalam setahun telah kita hidup-hidupkan. Dengan harapan "puasa keserakahan" itu akan berlanjut ke dalam kinerja hidup kita sehari-hari.
Dalam ajaran Islam, kemenangan yang sejati, kemenangan yang hakiki, kemenangan yang asli, justru kalau kita "memenangkan orang lain" atau membuat orang lain menang. Tak peduli kita laba atau kita rugi. Bagi para ahli sufi, kemenangan itu ketika bisa mengentaskan penderitaan orang lain. Karena bertujuan memenangkan orang lain yang miskin papa, mengentaskan kekurangan orang lain yang memang kurang, zakat disebut sebagai kemenangan.
Mengapa disebut sebagai kemenangan? Bukankah zakat malah mengurangi harta kita? Sebab, di dalam ajaran Islam, dalam sikap membayar zakat itu terkandung arti mengakui bahwa rezeki bukanlah seratus persen atas keringat sendiri. Seorang pengusaha besar meraih laba pasti dibantu orang lain, bukan atas keringat sendiri dan keluarganya. Dalam filosofi zakat terkandung perbuatan memenangkan orang lain yang hidupnya sedang kalah. Zakat mengurangi egoisme yang memenangkan diri sendiri.
Sebagaimana puasa, arti kemenangan yang sejati justru kalau kita mampu "mengalahkan diri sendiri", khususnya mengalahkan nafsu kita. Misalnya, mengurangi baju baru, lalu diberikan kepada orang lain. Arti menang ialah ketika kita berani membantu si miskin sehingga mereka menjadi menang. Atau membela orang-orang yang kalah, sehingga mereka tidak tertindas.
Tentu karena cintanya yang besar, banyak ibu yang rela mengurangi keinginan membeli baju baru dan dia ingin memenangkan anaknya. Ketika banyak orang bersaing untuk meraih kekuasaan, kita menjaga dan memakmurkan masjid Allah. Hal itu, dalam bahasa agama, disebut berjihad fisabilillah. Itu juga makna kemenangan akbar.
Dalam pengertian hakiki, kemenangan itu diartikan memberi (tangan di atas), bukan menerima. Ajaran zakat dan ajaran puasa, misalnya, intinya seperti itu. Mengendalikan diri, mengurangi kesenangan. Memberi dan memberi: dalam bahasa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) biasa disebut giving, loving, and caring. Memberi, menyayangi, dan peduli. Memenangkan orang lain yang sedang kalah atau dikalahkan situasi adalah kemenangan yang lebih sejati.
Pada saat banyak rakyat berjuang hidup dalam kesengsaraan, saat banyak pengemis tak tertolong, tunawisma belum mendapatkan tempat berteduh; jangan bicara kemenangan. Menurut ajaran Islam yang hakiki, adalah aneh kalau orang-orang kaya berpesta, dalam keadaan orang papa menderita. Itu bukan kemenangan, itu kebodohan sejati atau kezaliman.
Itulah arti zakat. Pada saat sebelum Idul Fitri tiba, kita diminta menebarkan kebaikan, keihsanan kepada semua orang, kasih kepada lingkungan. Ini bukti bahwa untuk mencapai kemenangan kita memperhatikan orang lain. Untuk para pribadi yang menang, zakat adalah alat kemenangan di hadapan Allah. Tidak ada kemenangan tanpa kasih sayang kepada orang lain yang membutuhkan.
Bayangkan saja, kalau orang-orang miskin, pengemis, orang yang mengais zakat yang tidur di trotoar sekitar masjid-masjid besar dan gelandangan atau orang-orang teraniaya oleh bosnya, kita bisikkan bahwa mereka juga bisa menang di hari raya ini. Mungkin mereka tersenyum bangga, karena rahmat Islam merengkuh mereka.
Itulah sebabnya, zakat adalah suatu kemenangan. Kemenangan besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar