BJPS dan Upah
Dokter
Ario Djatmiko ; Pengajar FK Unair dan
Ketua Litbang IDI Wilayah Jatim
JAWA
POS, 13 Agustus 2012
HATI-hati memilih istilah. Saya yakin judul di atas membuat banyak dokter
marah besar. Benar, "bayaran" dapat disebut dengan berbagai istilah.
Apa pun istilahnya, hakikatnya adalah sebutan untuk imbalan jasa.
Saya ingat 25 tahun lalu saya pernah diskusi dengan seorang senior. Saya bertanya, mengapa bayaran dokter disebut honorarium? Bagaimana kita menentukan jumlah yang pantas untuk jasa dokter?
Jawabannya ternyata tidak sederhana: Honorarium berasal dari kata honor. Artinya, rasa hormat dan penghargaan atas prestasi seseorang. Jadi, honorarium adalah bagian dari ekspresi rasa hormat atas reputasi dokter. Honorarium adalah satu kesepakatan atas nilai penghargaan yang kita terima atas prestasi yang kita berikan pada pasien. Saat datang, seharusnya pasien tahu reputasi dokter itu dan otomatis sepakat atas honornya. Kitalah yang menentukan nilai penghargaan itu. Tidak bisa itu ditentukan oleh orang lain karena itu adalah prestasi kita. Camkan, jumlah honorarium tidak etis dibicarakan. Mengapa? Itu soal penghargaan terhadap prestasi orang yang dihormati, sangat personal.
Wuih, sulit banget bicara dengan orang pintar; panjang lebar dan mbulet. Yang jelas, saya amat tidak sepakat. Mengapa? Semua remang-remang, ada arogansi, dan aroma otoriter di sana. Tidak bisa alasan etik dan rasa hormat membuat semua jadi remang-remang. Dan, remang-remang sering dekat dengan kejahatan.
Bahasa Pasar
Menurut kamus Webster's, upah (wages) adalah jumlah bayaran tertentu yang diterima oleh pekerja sesuai dengan kontrak kerja dalam hitungan jam, hari atas satu bentuk pekerjaan. Gaji (salary) adalah bayaran tertentu yang diterima reguler atas bekerja seseorang di satu institusi.
Honorarium adalah imbalan atas prestasi dan penghargaan yang diberikan atas suatu jasa tanpa ada ketentuan jumlah. Jadi, apa dan berapa imbalan yang diterima sepenuhnya tergantung dari berapa nilai yang dipersepsikan si penerima jasa atas jasa yang diterima. Tidak ada unsur paksaan di sini. Bahkan, justru penerima jasalah yang menjadi sang penentu nilai prestasi itu. Contoh, tidak ada satu ketentuan berapa jumlah honorarium seorang penceramah. Bila pengundang puas, dia memberikan nilai lebih dan jumlah imbalannya pun tentu tinggi.
Lantas, apakah dia yang menyebut imbalan jasanya sebagai honorarium harus bersikap pasif, tidak boleh mematok harga? Benar. Mengapa? Sebab, dia telah memilih hidup atas dasar nilai rasa hormat. Orang lainlah yang menentukan ukuran rasa hormat itu.
Bagaimana kalau dia, si pemberi jasa, akan menentukan imbalannya sendiri? Boleh-boleh saja, tetapi saat itu dia tidak memilih nilai rasa hormat sebagai yang utama. Yang terjadi adalah selling and buying process. Jual beli biasa. Tarifnya identik dengan tarif usaha jasa biasa pula. Pembeli membeli sepenuhnya didasari selera dan kebutuhan, bukan rasa hormat! Hukum yang berlaku: "ada uang, ada barang".
Dengan logika tadi, penceramah, dokter, atau profesi lain boleh saja menentukan tarif semaunya. Siapa yang mau-mampu membeli, pasarlah yang bicara. Keterkenalan, kelangkaan, kemendesakan menentukan harga. Hukum supply-demand berlaku. Pasar menghormati hak setiap orang untuk memilih, membeli atau tidak membeli. Semua itu sesuai dengan nilai dan persepsi yang ditetapkan si calon pembeli. Juga si penjual di pasar, dia bebas menentukan tarif, berusaha sekuatnya membangun persepsi untuk merebut pasar. Semua sah-sah saja.
Itulah ideologi kapitalis yang telah menjadi roh di semua bidang usaha negeri ini. Di praktik dokter, hukum pasar jelas terlihat. Seorang dokter yang terkenal diantre pasien berjejer, tarifnya aduhai. Namun, banyak dokter yang juga tersingkir. Berita muram di Kongres IDI Palembang 2008, banyak dokter yang penghasilannya begitu kecil, di bawah tukang cukur. Benar, sistem pasar adalah elimination process; ada si pemenang dan ada yang tersingkir.
RS dan Dokter Asing
Pada Januari 2015, rumah sakit dan dokter asing hadir. Era berubah, dengan perangai korporasi yang tangguh dan kompetitif, rumah sakit dan dokter asing hadir siap tempur. Bayangkan, betapa dahsyatnya perang dagang nanti. Siapakah yang akan tersingkir? Dan ironis, semua itu terjadi di atas penderitaan manusia Indonesia di negeri sendiri. Ini adalah kesalahan sejarah yang dibuat oleh elite negeri ini!
Gagal beli dan gagal jual dalam jumlah besar berakibat hebat: kebakaran sosial. Itulah market failure, komplikasi serius dari sistem kapitalis, instability. Kehadiran kapitalisme membuat negeri ini terpisah menjadi dua ruang. Ruang terhormat untuk yang mampu berkompetisi dan ruang kumuh untuk yang tersingkir. Nah, di ruang mana BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan dokter lokal nanti berada?
Prof Laksono Trisantono menegaskan, konsep JPS (Jaring Pengaman Sosial) dari negara berbasis pasar hanyalah merupakan sistem reaktif yang dibentuk karena krisis. Jelas itulah alasan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)-BPJS dipaksa harus hadir Januari 2014, sebelum pintu asing dibuka. Bukan untuk membangun bangsa, hanya sebagai pemadam kebakaran.
Menurut guru besar UGM itu, JPS adalah konsep baru yang belum mengakar, akan sulit diterapkan. Tanpa persiapan cermat, apalagi amburadul, SJSN-BPJS hanyalah sebuah fatamorgana. Hanya membangun citra, seolah-olah negara bertanggung jawab atas rakyatnya di saat perang pasar hadir. Dan, kata-kata "jaminan semesta" kelak bisa menjadi janji yang kejam.
Bila Anda jeli membaca UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 44/2009 tentang Rumah Sakit serta permenkes yang menjadi aturan detailnya, jelas rumah sakitlah penentu kualitas dan harga. Si pembayar, asuransi swasta atau BPJS, hanya berurusan dengan rumah sakit, bukan dengan dokter.
Suka atau tidak suka, dokter adalah milik RS. Hubungan dokter dan RS identik dengan hubungan tenaga kerja pada umumnya. Saat dokter tidak boleh membuka kuitansi sendiri lagi, apakah istilah yang tepat untuk imbalan dokter: upah, gaji, atau honorarium? ●
Saya ingat 25 tahun lalu saya pernah diskusi dengan seorang senior. Saya bertanya, mengapa bayaran dokter disebut honorarium? Bagaimana kita menentukan jumlah yang pantas untuk jasa dokter?
Jawabannya ternyata tidak sederhana: Honorarium berasal dari kata honor. Artinya, rasa hormat dan penghargaan atas prestasi seseorang. Jadi, honorarium adalah bagian dari ekspresi rasa hormat atas reputasi dokter. Honorarium adalah satu kesepakatan atas nilai penghargaan yang kita terima atas prestasi yang kita berikan pada pasien. Saat datang, seharusnya pasien tahu reputasi dokter itu dan otomatis sepakat atas honornya. Kitalah yang menentukan nilai penghargaan itu. Tidak bisa itu ditentukan oleh orang lain karena itu adalah prestasi kita. Camkan, jumlah honorarium tidak etis dibicarakan. Mengapa? Itu soal penghargaan terhadap prestasi orang yang dihormati, sangat personal.
Wuih, sulit banget bicara dengan orang pintar; panjang lebar dan mbulet. Yang jelas, saya amat tidak sepakat. Mengapa? Semua remang-remang, ada arogansi, dan aroma otoriter di sana. Tidak bisa alasan etik dan rasa hormat membuat semua jadi remang-remang. Dan, remang-remang sering dekat dengan kejahatan.
Bahasa Pasar
Menurut kamus Webster's, upah (wages) adalah jumlah bayaran tertentu yang diterima oleh pekerja sesuai dengan kontrak kerja dalam hitungan jam, hari atas satu bentuk pekerjaan. Gaji (salary) adalah bayaran tertentu yang diterima reguler atas bekerja seseorang di satu institusi.
Honorarium adalah imbalan atas prestasi dan penghargaan yang diberikan atas suatu jasa tanpa ada ketentuan jumlah. Jadi, apa dan berapa imbalan yang diterima sepenuhnya tergantung dari berapa nilai yang dipersepsikan si penerima jasa atas jasa yang diterima. Tidak ada unsur paksaan di sini. Bahkan, justru penerima jasalah yang menjadi sang penentu nilai prestasi itu. Contoh, tidak ada satu ketentuan berapa jumlah honorarium seorang penceramah. Bila pengundang puas, dia memberikan nilai lebih dan jumlah imbalannya pun tentu tinggi.
Lantas, apakah dia yang menyebut imbalan jasanya sebagai honorarium harus bersikap pasif, tidak boleh mematok harga? Benar. Mengapa? Sebab, dia telah memilih hidup atas dasar nilai rasa hormat. Orang lainlah yang menentukan ukuran rasa hormat itu.
Bagaimana kalau dia, si pemberi jasa, akan menentukan imbalannya sendiri? Boleh-boleh saja, tetapi saat itu dia tidak memilih nilai rasa hormat sebagai yang utama. Yang terjadi adalah selling and buying process. Jual beli biasa. Tarifnya identik dengan tarif usaha jasa biasa pula. Pembeli membeli sepenuhnya didasari selera dan kebutuhan, bukan rasa hormat! Hukum yang berlaku: "ada uang, ada barang".
Dengan logika tadi, penceramah, dokter, atau profesi lain boleh saja menentukan tarif semaunya. Siapa yang mau-mampu membeli, pasarlah yang bicara. Keterkenalan, kelangkaan, kemendesakan menentukan harga. Hukum supply-demand berlaku. Pasar menghormati hak setiap orang untuk memilih, membeli atau tidak membeli. Semua itu sesuai dengan nilai dan persepsi yang ditetapkan si calon pembeli. Juga si penjual di pasar, dia bebas menentukan tarif, berusaha sekuatnya membangun persepsi untuk merebut pasar. Semua sah-sah saja.
Itulah ideologi kapitalis yang telah menjadi roh di semua bidang usaha negeri ini. Di praktik dokter, hukum pasar jelas terlihat. Seorang dokter yang terkenal diantre pasien berjejer, tarifnya aduhai. Namun, banyak dokter yang juga tersingkir. Berita muram di Kongres IDI Palembang 2008, banyak dokter yang penghasilannya begitu kecil, di bawah tukang cukur. Benar, sistem pasar adalah elimination process; ada si pemenang dan ada yang tersingkir.
RS dan Dokter Asing
Pada Januari 2015, rumah sakit dan dokter asing hadir. Era berubah, dengan perangai korporasi yang tangguh dan kompetitif, rumah sakit dan dokter asing hadir siap tempur. Bayangkan, betapa dahsyatnya perang dagang nanti. Siapakah yang akan tersingkir? Dan ironis, semua itu terjadi di atas penderitaan manusia Indonesia di negeri sendiri. Ini adalah kesalahan sejarah yang dibuat oleh elite negeri ini!
Gagal beli dan gagal jual dalam jumlah besar berakibat hebat: kebakaran sosial. Itulah market failure, komplikasi serius dari sistem kapitalis, instability. Kehadiran kapitalisme membuat negeri ini terpisah menjadi dua ruang. Ruang terhormat untuk yang mampu berkompetisi dan ruang kumuh untuk yang tersingkir. Nah, di ruang mana BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan dokter lokal nanti berada?
Prof Laksono Trisantono menegaskan, konsep JPS (Jaring Pengaman Sosial) dari negara berbasis pasar hanyalah merupakan sistem reaktif yang dibentuk karena krisis. Jelas itulah alasan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)-BPJS dipaksa harus hadir Januari 2014, sebelum pintu asing dibuka. Bukan untuk membangun bangsa, hanya sebagai pemadam kebakaran.
Menurut guru besar UGM itu, JPS adalah konsep baru yang belum mengakar, akan sulit diterapkan. Tanpa persiapan cermat, apalagi amburadul, SJSN-BPJS hanyalah sebuah fatamorgana. Hanya membangun citra, seolah-olah negara bertanggung jawab atas rakyatnya di saat perang pasar hadir. Dan, kata-kata "jaminan semesta" kelak bisa menjadi janji yang kejam.
Bila Anda jeli membaca UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 44/2009 tentang Rumah Sakit serta permenkes yang menjadi aturan detailnya, jelas rumah sakitlah penentu kualitas dan harga. Si pembayar, asuransi swasta atau BPJS, hanya berurusan dengan rumah sakit, bukan dengan dokter.
Suka atau tidak suka, dokter adalah milik RS. Hubungan dokter dan RS identik dengan hubungan tenaga kerja pada umumnya. Saat dokter tidak boleh membuka kuitansi sendiri lagi, apakah istilah yang tepat untuk imbalan dokter: upah, gaji, atau honorarium? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar