Upaya
Memetakan Kompetensi Guru
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang
Komunikasi Media
MEDIA
INDONESIA, 06 Agustus 2012
DALAM
dunia seperti ini, semua tahu bahwa guru kini bukanlah satu-satunya sumber
pengetahuan di kelas. Melalui perubahan struktur masyarakat, perkembangan
metode pengajaran, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, peserta
didik bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber.
Karena
itu, tidaklah cukup untuk menyimpulkan bahwa jika hasil evaluasi peserta didik
baik dan tingkat kelulusannya rata-rata mencapai angka di atas 95%, baik,
profesional, dan kompeten pulalah gurunya.
Kalau
kesimpulannya seperti itu, hasilnya akan sangat bias. Apalagi diketahui
terdapat banyak tempat dan fasilitas bimbingan belajar menjelang berlangsung
ujian nasional.
Itulah
sebabnya upaya memetakan kompetensi guru menjadi penting. Apalagi hal itu juga
diamanatkan dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan
Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Tulisan
berikut ingin menyampaikan makna penting dan strategisnya pelaksanaan uji
kompetensi guru (UKG) yang mulai 30 Juli lalu hingga 12 Agustus 2012 untuk
gelombang pertama digelar serentak di beberapa tempat, baik melalui sistem
online maupun manual atau tertulis.
Belum Punya
Semestinya
pelaksanaan UKG tidak perlu dikhawatirkan karena memang jelas tujuannya, yakni
untuk pemetaan kompetensi dan sebagai dasar kegiatan pengembangan keprofesian
berkelanjutan, yang memang tidak ada hubungannya dengan pembayaran tunjangan
yang selama ini sudah diterima guru atau penurunan pangkat karena kompetensinya
tidak sesuai.
UKG
ialah pengujian terhadap penguasaan kompetensi profesional dan pedagogis guru
dalam ranah kognitif sebagai dasar penetapan kegiatan pengembangan keprofesian
berkelanjutan dan bagian dari penilaian kinerja guru.
Atas
dasar itu, agak aneh kedengarannya jika ada guru yang berusaha memboikot dan
tidak ingin mengikuti pelaksanaan UKG. Bahkan lebih dari itu, mereka menghimpun
sesama guru untuk menolak UKG.
UKG
mempunyai dasar hukum yang jelas. Berdasarkan Pasal 7 UU No 14 Tahun 2005,
profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas serta
memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan belajar sepanjang hayat.
Dalam
PP 74 Tahun 2008, Pasal 2, juga jelas dinyatakan bahwa guru wajib memiliki
kompetensi. Pun pada Pasal 3 ayat 1, dinyatakan bahwa kompetensi merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesian.
Mendikbud
Mohammad Nuh mengibaratkan UKG seperti pemeriksaan kesehatan atau check up untuk mengetahui apakah jantung
seseorang normal atau tidak, gula darahnya bagus atau jelek. Dengan mengetahui
hasil check up, upaya untuk melakukan
perbaikan dari yang tadinya kurang bisa dilakukan dengan tepat. Harus diakui,
hingga kini Kemdikbud memang belum memiliki peta kompetensi guru, meski sudah
lebih dari 1 juta guru memperoleh tunjangan dari sertifikat pendidik yang
mereka miliki.
Seperti
diketahui, sejarah awal pemberian sertifikat pendidik diberikan atas dasar
evaluasi berdasarkan portofolio, dan baru belakangan ini berangsur-angsur
diubah melalui program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).
Padahal,
sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar portofolio dalam bentuk
sertifikat kegiatan pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, yang diajukan
guru untuk memperoleh sertifikat pendidik, ada yang hanya sekadar ikut. Atau
lebih parah lagi, memfotokopi milik orang lain dengan mengganti nama dan foto.
Itu
sebabnya dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa guru yang telah memiliki
sertifikat pendidik tidak memiliki korelasi positif terhadap kualitas dan cara
mereka mengajar. Bahkan cenderung buruk karena mereka beranggapan bahwa
memiliki sertifikat pendidik dan tunjangan yang dite rima sudah lebih dari
cukup. Bagaimana pengembangan diri mereka, rasanya belum banyak yang melakukan
hal itu.
Syarat Mutlak
Harus dipahami guru sebagai profesi, bahwa
keprofesionalan harus melekat pada diri mereka yang kemudian diukur melalui kompetensi. Minimal ada empat
kompetensi yang menjadi syarat mutlak bagi guru profesional. Pertama,
kompetensi pedagogis, kemampuan seorang guru dalam menyampaikan dan menguasai
metode-motode pembelajaran kepada peserta didik.
Kompetensi
tersebut amat penting karena di tangan guru yang profesional secara
pedagogislah materi yang sulit sekalipun bisa disampaikan dengan cara menarik
dan mudah dipahami. Sebaliknya, jika seorang guru cerdas secara akademik, tapi
tidak menguasai cara dan metode penyampaiannya (baca: pedagogis), peserta didik
akan kesulitan memahaminya.
Kedua,
kompetensi akademik (keilmuan). Hal ini juga penting karena guru sesungguhnya
memiliki tugas untuk bisa mencerdaskan peserta didik dengan ilmu dan pengeta
huannya yang dimi likinya. Jika guru hanya mampu menguasai metode penyampaian
tanpa ada kemampuan aka demik yang menjadi tugas utamanya, peserta didik tidak
akan menda patkan ilmu pengetahuan apa-apa. Itu dapat diibaratkan seorang yang
akan mencetak juara renang, tapi tidak pernah diberi kesempatan untuk
menceburkan diri ke dalam kolam renang, atau kalaupun diceburkan ke dalam kolam
renang, hanya di kolam yang kedalamannya sebatas pinggul.
Ketiga,
kompetensi sosial. Seorang guru memang harus bisa dipastikan memiliki kompetensi
sosial. Ia tidak hanya dituntut cerdas dan bisa menyampaikan materi keilmuannya
dengan baik, tapi juga dituntut untuk secara sosial memiliki kompetensi yang
memadai. Apa jadinya jika seorang guru asosial, baik terhadap teman sejawat,
peserta didik, maupun lingkungannya.
Keempat,
kompetensi manajerial atau kepemimpinan. Kompetensi ini juga penting karena
pada diri gurulah sesungguhnya terdapat teladan, yang diharapkan dapat dicontoh
peserta didiknya.
Pertanyaannya,
apakah keempat kompetensi tersebut sudah bisa diketahui melalui UKG? Tentu
tidak, karena UKG baru sebatas pengujian terhadap penguasaan kompetensi
profesional dan pedagogis guru dalam ranah kognitif. Namun, setidaknya peta
seperti apa guru yang dimiliki sudah mulai bisa terlihat.
Keempat
kompetensi tersebut saling terkait satu sama lain. Guru dianggap memiliki
kompetensi sempurna dan profesional manakala keempat kompetensi itu dikuasai
dengan baik. Menjadi ganjil jika ada satu atau lebih dari empat kompetensi itu
tidak dikuasai guru.
Suyanto
dan Asep Jihad (2010) dalam buku Menjadi
Guru Profesional menyatakan guru profesional ialah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Pada titik inilah
UKG menjadi penting.
Sebagai Momentum
Karena
itu, UKG dan UKA (uji kompetensi awal)--sebelumnya dilakukan untuk mengetahui
peta kemampuan awal bagi guru-guru yang akan mengikuti program PLPG untuk
mendapatkan sertifikat pendidik-harus dijadikan momentum bagi pengumpulan
database, yang bisa digunakan dalam berbagai program peningkatan kemampuan
guru.
Selama
ini kelemahan dalam beberapa program peningkatan kemampuan guru dilakukan
secara massal dan seragam, tanpa mengetahui bidang apa dan bagian mana saja
yang mestinya diberikan. Melalui peta yang terkumpul itu, ke depan diharapkan
program-program pelatihan dan peningkatan kompetensi guru atau upgrading diberikan sesuai dengan
kebutuhan masing-masing, dalam bentuk pelayanan yang lebih kepada kebutuhan
individual, bukan massal.
Cara
tersebut sesungguhnya tidak hanya akan dapat secara signifikan mampu
meningkatkan kemampuan guru, tapi juga bisa lebih fokus, efektif, dan efisien.
Melalui data itu pula bisa diketahui apakah seorang guru yang berada di satu
sekolah dengan jumlah rombongan belajar tertentu sudah memenuhi syarat minimal
mengajar 24 jam pelajaran per minggu untuk bisa memperoleh tunjangan
sertifikasi.
Hal
demikian menjadi penting. Selama ini, batas minimal mengajar 24 jam
dikonfirmasi hanya melalui surat pernyataan teman sejawat atau kepala sekolah.
Namun, melalui jawaban atas pertanyaan berapa jumlah guru pada bidang mata
pelajaran tertentu dan berapa jumlah rombongan belajar dalam satu sekolah,
secara matematis sudah dapat dihitung apakah seorang guru di sekolah itu memang
benar telah memenuhi minimal mengajar 24 jam pelajaran per minggu.
Hal itu pula yang akan dilihat melalui UKG
saat ini sehingga kekurangan atau kelebihan guru pada satu sekolah bisa
diketahui dengan pasti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar