Ujian Media
Capres Alternatif
Agus Sudibyo; Anggota
Dewan Pers
Bidang Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika
JAWA
POS, 11 Agustus 2012
''MEDIA,
berilah ruang yang adil, setara, dan konstruktif bagi para kandidat untuk
memperkenalkan diri, pikiran, visi, solusi, dan sejumlah hal lainnya yang
rakyat ingin tahu! Dengan demikian, akan muncul banyak tokoh dengan berbagai
karakter dan integritas menjelang Pilpres 2014.'' Demikianlah imbauan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara buka bersama dengan para pemimpin media
serta wartawan di Istana Merdeka pada 31 Juli 2012. Presiden yakin, jika media
membantu para tokoh politik dalam berkomunikasi politik, rakyat akan lebih
mengenal mereka dan dapat menentukan pilihan secara mandiri.
Imbauan presiden itu datang tepat waktu. Pemilihan presiden (pilpres) tinggal 1,5 tahun lagi. Bursa calon presiden bahkan sudah menghangat sejak awal tahun lalu. Dan seperti pilpres sebelumnya, peran media akan sangat dominan. Indonesia kini telah memasuki era ruang publik media menjadi panggung utama bagi semua diskursus tentang suksesi kepemimpinan nasional. Namun, dalam kaitan dengan pilpres itu pula, pers Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah pelik tentang pemusatan kepemilikan media, spasialisasi ekonomi-politik, dan independensi keredaksian.
Imbauan presiden itu juga relevan karena belakangan muncul anggapan bahwa pers Indonesia kurang memberikan kesempatan kepada tokoh atau pemimpin alternatif. Ruang publik media dianggap hanya menjadi panggung untuk tokoh-tokoh politik yang sudah mapan. Pendekatan media yang sangat memperhitungkan popularitas, senioritas, ketokohan, serta status sumber berita membuat banyak tokoh muda yang sesungguhnya sangat potensial tidak banyak muncul ke permukaan.
Meski demikian, imbauan presiden itu perlu dilihat secara hati-hati guna menghindari kesalahpahaman. Pertama, imbauan agar media ''bersikap konstruktif'' terhadap para kandidat pilpres tidak seharusnya diterjemahkan bahwa media harus terus-menerus bersikap positif kepada mereka tanpa memedulikan kelemahannya. Fungsi utama pers tetaplah menjalankan pengawasan terhadap semua unsur politik dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Pers harus memberikan rekam jejak para kandidat selengkap mungkin kepada masyarakat, termasuk kelemahan-kelemahannya. Bahkan, pers harus berani menganjurkan masyarakat untuk berkata ''tidak!'' kepada kandidat pilpres yang terbukti atau terindikasi kuat terlibat kasus korupsi, amoralitas, penggelapan pajak, pelanggaran HAM, dan bentuk-bentuk kejahatan publik yang lain.
Kedua, bagaimana imbauan presiden agar media bersikap adil dan setara terhadap semua kandidat pilpres harus diterjemahkan? Apakah berarti media harus memberikan ruang yang sama terhadap semua kandidat? Ruang media dapat dibagi menjadi dua: ruang iklan dan ruang pemberitaan. Untuk ruang iklan, memang diperlukan pengaturan yang tegas agar iklan kampanye politik di suatu media tidak didominasi satu kandidat saja.
Namun, muncul kesulitan jika media dituntut memberikan ruang beriklan yang setara kepada seluruh kandidat. Jelas ada ongkos untuk pemasangan iklan. Tidak mungkin media memberikan ruang iklan secara cuma-cuma kepada kandidat pilpres yang tidak memiliki dana. Faktanya, media menghadapi kandidat yang kemampuan beriklannya berbeda-beda. Karena itu, wajar jika ada kandidat yang beriklan lebih banyak daripada kandidat yang lain. Yang perlu direkomendasikan, media seharusnya tidak menghabiskan ruang iklannya untuk iklan-iklan kampanye politik semata. Media harus memberikan porsi yang cukup untuk iklan layanan masyarakat yang lebih mengedepankan materi pendidikan pemilu untuk warga, sosialisasi tahap-tahap pemilu, serta seruan tentang pemilu damai dan jujur.
Untuk ruang pemberitaan, imbauan presiden agar media bersikap adil dan setara juga akan terbentur kondisi faktual jurnalisme. Media bekerja dengan tenggat waktu yang terbatas. Wartawan notabene bekerja secara cepat dan spartan. Keterbatasan ruang dan waktu mengondisikan media untuk selalu menyaring, menyeleksi, serta membuat prioritas di antara limpah ruah informasi, isu, sumber berita, dan sudut pandang. Dalam kondisi inilah muncul kemungkinan secara komparatif adanya kandidat politik yang mendapat ekspose media lebih banyak daripada kandidat yang lain.
Yang perlu dilakukan para kandidat pada titik ini jelas bukan bersikap pasif menunggu diwawancarai media. Mereka harus secara proaktif menyampaikan misi, sikap, dan pandangannya. Perpolitikan kita telah sedemikian rupa menuntut para kandidat politik untuk sungguh-sungguh sadar media, memahami benar kapan harus melakukan kunjungan media, menggelar konferensi pers, menyebarkan press release, serta menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik.
Di sini, justru tidak adil jika media memperlakukan sama antara kandidat yang rajin membuat terobosan-terobosan yang nyata dan kandidat yang praktis belum melakukan hal-hal yang signifikan bagi kepentingan publik serta kebutuhan pemberitaan media. Tidak proporsional pula jika ada kandidat yang mengeluh tidak mendapat pemberitaan media yang cukup, sedangkan dirinya memang tidak pernah membikin gebrakan-gebrakan yang layak diberitakan.
Akhirnya, tidak sepenuhnya benar jika dikatakan pers kita sejauh ini tidak memberikan ruang bagi kemunculan tokoh-tokoh pilihan lain (alternatif). Dahlan Iskan, Mahfud M.D., dan Joko Widodo merupakan contoh tokoh alternatif yang berhasil diorbitkan media di tengah kejumudan tokoh-tokoh nasional yang ''itu-itu juga''. Yang perlu digarisbawahi, mereka bukan tipe selebriti politik semata-mata produk pencitraan. Mereka telah membuat terobosan nyata yang dapat dilihat publik. Mereka juga tidak gentar menghadapi kontroversi. Yang tak kalah penting, mereka bekerja keras untuk meyakinkan media bahwa mereka layak menjadi primadona pemberitaan. ●
Imbauan presiden itu datang tepat waktu. Pemilihan presiden (pilpres) tinggal 1,5 tahun lagi. Bursa calon presiden bahkan sudah menghangat sejak awal tahun lalu. Dan seperti pilpres sebelumnya, peran media akan sangat dominan. Indonesia kini telah memasuki era ruang publik media menjadi panggung utama bagi semua diskursus tentang suksesi kepemimpinan nasional. Namun, dalam kaitan dengan pilpres itu pula, pers Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah pelik tentang pemusatan kepemilikan media, spasialisasi ekonomi-politik, dan independensi keredaksian.
Imbauan presiden itu juga relevan karena belakangan muncul anggapan bahwa pers Indonesia kurang memberikan kesempatan kepada tokoh atau pemimpin alternatif. Ruang publik media dianggap hanya menjadi panggung untuk tokoh-tokoh politik yang sudah mapan. Pendekatan media yang sangat memperhitungkan popularitas, senioritas, ketokohan, serta status sumber berita membuat banyak tokoh muda yang sesungguhnya sangat potensial tidak banyak muncul ke permukaan.
Meski demikian, imbauan presiden itu perlu dilihat secara hati-hati guna menghindari kesalahpahaman. Pertama, imbauan agar media ''bersikap konstruktif'' terhadap para kandidat pilpres tidak seharusnya diterjemahkan bahwa media harus terus-menerus bersikap positif kepada mereka tanpa memedulikan kelemahannya. Fungsi utama pers tetaplah menjalankan pengawasan terhadap semua unsur politik dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Pers harus memberikan rekam jejak para kandidat selengkap mungkin kepada masyarakat, termasuk kelemahan-kelemahannya. Bahkan, pers harus berani menganjurkan masyarakat untuk berkata ''tidak!'' kepada kandidat pilpres yang terbukti atau terindikasi kuat terlibat kasus korupsi, amoralitas, penggelapan pajak, pelanggaran HAM, dan bentuk-bentuk kejahatan publik yang lain.
Kedua, bagaimana imbauan presiden agar media bersikap adil dan setara terhadap semua kandidat pilpres harus diterjemahkan? Apakah berarti media harus memberikan ruang yang sama terhadap semua kandidat? Ruang media dapat dibagi menjadi dua: ruang iklan dan ruang pemberitaan. Untuk ruang iklan, memang diperlukan pengaturan yang tegas agar iklan kampanye politik di suatu media tidak didominasi satu kandidat saja.
Namun, muncul kesulitan jika media dituntut memberikan ruang beriklan yang setara kepada seluruh kandidat. Jelas ada ongkos untuk pemasangan iklan. Tidak mungkin media memberikan ruang iklan secara cuma-cuma kepada kandidat pilpres yang tidak memiliki dana. Faktanya, media menghadapi kandidat yang kemampuan beriklannya berbeda-beda. Karena itu, wajar jika ada kandidat yang beriklan lebih banyak daripada kandidat yang lain. Yang perlu direkomendasikan, media seharusnya tidak menghabiskan ruang iklannya untuk iklan-iklan kampanye politik semata. Media harus memberikan porsi yang cukup untuk iklan layanan masyarakat yang lebih mengedepankan materi pendidikan pemilu untuk warga, sosialisasi tahap-tahap pemilu, serta seruan tentang pemilu damai dan jujur.
Untuk ruang pemberitaan, imbauan presiden agar media bersikap adil dan setara juga akan terbentur kondisi faktual jurnalisme. Media bekerja dengan tenggat waktu yang terbatas. Wartawan notabene bekerja secara cepat dan spartan. Keterbatasan ruang dan waktu mengondisikan media untuk selalu menyaring, menyeleksi, serta membuat prioritas di antara limpah ruah informasi, isu, sumber berita, dan sudut pandang. Dalam kondisi inilah muncul kemungkinan secara komparatif adanya kandidat politik yang mendapat ekspose media lebih banyak daripada kandidat yang lain.
Yang perlu dilakukan para kandidat pada titik ini jelas bukan bersikap pasif menunggu diwawancarai media. Mereka harus secara proaktif menyampaikan misi, sikap, dan pandangannya. Perpolitikan kita telah sedemikian rupa menuntut para kandidat politik untuk sungguh-sungguh sadar media, memahami benar kapan harus melakukan kunjungan media, menggelar konferensi pers, menyebarkan press release, serta menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan publik.
Di sini, justru tidak adil jika media memperlakukan sama antara kandidat yang rajin membuat terobosan-terobosan yang nyata dan kandidat yang praktis belum melakukan hal-hal yang signifikan bagi kepentingan publik serta kebutuhan pemberitaan media. Tidak proporsional pula jika ada kandidat yang mengeluh tidak mendapat pemberitaan media yang cukup, sedangkan dirinya memang tidak pernah membikin gebrakan-gebrakan yang layak diberitakan.
Akhirnya, tidak sepenuhnya benar jika dikatakan pers kita sejauh ini tidak memberikan ruang bagi kemunculan tokoh-tokoh pilihan lain (alternatif). Dahlan Iskan, Mahfud M.D., dan Joko Widodo merupakan contoh tokoh alternatif yang berhasil diorbitkan media di tengah kejumudan tokoh-tokoh nasional yang ''itu-itu juga''. Yang perlu digarisbawahi, mereka bukan tipe selebriti politik semata-mata produk pencitraan. Mereka telah membuat terobosan nyata yang dapat dilihat publik. Mereka juga tidak gentar menghadapi kontroversi. Yang tak kalah penting, mereka bekerja keras untuk meyakinkan media bahwa mereka layak menjadi primadona pemberitaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar