Stop Konflik KPK
vs Polri!
(
Wawancara )
Teten Masduki ; Sekjen Transparancy International Indonesia
(TII)
SUARA
KARYA, 11 Agustus 2012
Untuk kedua kalinya, lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) vis a vis lembaga Kepolisian Negara RI (Polri).
Pada kasus pertama, Polri harus berhadapan dengan KPK dan masyarakat sipil yang
digalang lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat umum, termasuk DPR RI.
Kasus itu sempat mendapat julukan 'Cicak melawan Buaya'. Cicak mewakili KPK,
Buaya-nya adalah Polri.
Saat ini, dalam kasus 'perebutan' wewenang
penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kemudian untuk SIM di Korps
Lalu-lintas (Korlantas) Mabes Polri, tampaknya kekuatan, khususnya opini
publik, di antara keduanya (KPK dan Polri) relatif seimbang. Di sisi KPK,
dukungan masih didominasi oleh koalisi masyarakat sipil. Sedangkan Polri
terkesan banyak mendapat dukungan dari sejumlah anggota DPR RI, beberapa
pengacara, juga sejumlah akademisi.
Meski pergesekan antarkedua lembaga penegak
hukum itu semakin kuat, namun sepertinya tidak ada upaya dari pemerintah untuk
menghentikannya. Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti biasa,
hanya sebatas retorika.
Kondisi seperti itu tentu dikhawatirkan akan
mengganggu langkah pemberantasan
korupsi ke depan. Untuk membahas upaya menghentikan
konflik tersebut, wartawan Harian Umum Suara Karya Nefan Kristiono dan fotografer Annisa Maya menggali pemikiran Sekjen Transparancy International
Indonesia (TII), Teten Masduki.
Polri dan KPK tampaknya mulai terseret konflik
antar-lembaga terkait penanganan kasus simulator SIM. Apa solusinya?
Pertama, sekarang sepertinya memang dalam kondisi yang sudah
runyam. Sebab, Polri kan dalam posisi yang tidak mau kehilangan muka untuk
mempertahankan kasus tersebut dengan tidak menyerahkannya kepada KPK. Padahal,
sebenarnya legal opinion-nya, saya kira sudah sampai kepada Pak SBY bahwa
menurut hukum seharusnya diserahkan kepada KPK. Tetapi, karena sudah begini
runyam dan Polri berusaha mempertahankan wibawanya, jadi sekarang yang terjadi
adalah adu kekuatan.
Hal kedua, semestinya kondisi seperti ini
dipakai oleh Kapolri untuk menunjukkan kepada publik bahwa Polri mempunyai
keinginan untuk membenahi persoalan internalnya. Tetapi, hal itu tampaknya juga
tidak dilakukan.
Sepertinya, Kapolri tampak menjadi tawanan korps Polri sendiri
dalam kasus itu, terutama dari para jenderal Polri yang merasa ketakutan dengan
ancaman KPK ini. Sebab, sekarang ini mana ada perwira tinggi Polri yang tidak
kaya. Memiliki harta yang tidak masuk akal, jika hanya diperoleh dari gaji
resmi mereka.
Khusus dalam kasus perebutan penanganan kasus
simulator SIM tersebut, apa yang harus dilakukan Presiden SBY?
Meminta Kapolri untuk mematuhi undang-undang dan menyerahkan kasus
tersebut ke KPK. Seharusnya hal itu sudah cukup dan Kapolri tidak mungkin akan
mengabaikannya. Tetapi, Presiden SBY tampaknya tidak mau melakukan hal itu.
Berdasarkan informasi internal kepresidenan, saya tahu bahwa Presiden sudah
paham bahwa ada legal opinion terhadap kasus tersebut yang menganjurkan agar
diserahkan ke KPK. Pertanyaannya sekarang, mengapa hal yang mudah itu tidak
dilakukan oleh SBY?
Saya tidak tahu apakah karena komunikasi Presiden dengan KPK agak
kurang bagus, mengingat banyak orang di lingkaran Partai Demokrat dan Istana
Kepresidenan terus diobrak-abrik KPK.
Padahal, tema utama yang dijual Presiden SBY
dalam karier politiknya adalah pemberantasan korupsi?
Benar. Presiden memang sering mengatakan tidak mau mencampuri
hukum dan akan menghormati hukum. Dan, yang menolong presiden di dunia
internasional adalah KPK melalui perbaikan indeks persepsi korupsi (IPK) yang
terus membaik meskipun belum signifikan. Itu berkat penegakan hukum di KPK.
Bagaimana menghadapi sikap Kapolri yang ngotot
untuk menangani kasus simulator SIM?
Tentu dengan melakukan koordinasi dengan DPR. Sebab, ini merupakan
bagian dari menjalankan pemerintahan yang efektif. Hal seperti itu bukan sebuah
intervensi hukum. Tetapi, berkaitan dengan independensi judiciary, yaitu
mempengaruhi proses peradilan yang independen.
Apakah untuk membereskan Mabes Polri cukup dengan mencopot pejabat
Kapolri saat ini? Bagaimana dengan perwira lainnya?
Benar. Semua harus direstrukturisasi jika ada perlawanan dari
korps kepolisian. Masa presiden tidak memiliki kekuasaan membenahi birokrasi
ketika birokrasi tersebut kotor dan tidak efektif. Kan Presiden punya mandat
konstitusi untuk itu? Selanjutnya, DPR harus mendukung.
Komisi III DPR RI harus mendukung KPK karena mereka meminta KPK
untuk masuk mengungkap korupsi para jenderal polisi. Sekarang, KPK sudah masuk
dan harus mendapat dukungan. Jika mengacu kepada HongKong, di sana langkah
pertama lembaga anti korupsinya justru membersihkan polisi. Karena, polisi-lah
yang membuat penegakan hukum tidak berjalan sehingga korupsi itu menjalar ke
mana-mana.
Langkah KPK dalam menangani kasus simulator SIM
apakah sudah tepat?
Kalau urusan menangani kasus Korlantas Polri sudah tepat. Sebab,
fokus yang harus dibersihkan KPK kan sektor hukum dan politik. KPK sudah masuk
dan melakukan langkah berani. Hanya saja, KPK sekarang harus menghadapi sebuah
institusi yang sangat besar dan membela harga diri serta kehormatan korpsnya.
Sehingga ketika KPK akan masuk ke wilayah Polri agak "kulonuwun"
(minta izin - Red) sedikit. Namun, tidak perlu dijelaskan secara detail, karena
akan mengganggu proses penyidikan.
Jadi, sebelum masuk, harus membangun komunikasi informal dengan
Polri?
Ya. Paling tidak harus mengajak Polri dan mengondisikan langkah
itu sebagai bagian inisiatif Kapolri untuk membenahi institusinya. Kalau yang
sekarang terjadi, terkesan sebagai pekerjaan KPK sendirian. Padahal, sebaiknya
kan menggandeng Polri dan menimbulkan kesan bekerja untuk membersihkan perwira
nakal.
Bukankah hal itu dilakukan Ketua KPK sebelum melakukan
penggeledahan, beberapa waktu lalu?
Tapi, tampaknya tidak dilakukan. Karena KPK justru tidak bisa
melakukan penggeledahan jika minta izin resmi. Memang benar, hal itu sama
seperti menyuruh mereka yang akan digeledah siap-siap mengamankan barang-barang
yang akan diambil KPK. Tetapi, seharusnya permohonan izin itu bisa disamarkan.
Misalnya bagaimana?
KPK melakukan pertemuan dan mengajak Polri untuk bersama-sama
membersihkan institusi kepolisian. Jadi, seolah-olah itu sebuah kerja bersama.
Menurut saya, dalam penanganan kasus simulator SIM, penting pula untuk memberi
kesan kepada publik bahwa hal itu juga merupakan inisiatif dari internal Polri.
Seperti pada kasus Pajak yang melibatkan tersangka Dhana
Widyatmika. Itu kan laporan Ditjen Pajak kepada polisi, lalu polisi
menyerahkannya kepada KPK, dan KPK menyerahkan ke Kejaksaan Agung. Harusnya
seperti itu. Kepolisian kan sebuah lembaga yang besar. Ada kehormatan korps
yang mereka jaga. Mereka akan berkata; "Ini Polsek Kuningan kok
berani-beraninya mengacak-acak Mabes Polri." Kira-kira begitu.
Kondisi ini juga akan memiliki implikasi terhadap KPK. Salah
satunya akan menghambat kerja komisi tersebut, terutama dalam penanganan kasus.
Jika KPK hendak mengejar tersangka ke luar negeri tentu harus minta bantuan
Interpol. Sedangkan, lembaga Interpol hanya bekerja sama dengan kepolisian
setempat. Artinya, KPK harus minta bantuan Mabes Polri untuk berhubungan dengan
Interpol. Saya khawatir ini yang akan terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar