Sabtu, 04 Agustus 2012

Tiket ke Surga untuk Polisi


Tiket ke Surga untuk Polisi
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Universitas Negeri Semarang
JAWA POS, 04 Agustus 2012

KETEGASAN KPK patut diacungi jempol. Mereka mulai bertaji dengan menjadikan seorang inspektur jenderal (polisi berbintang dua) sebagai tersangka karena kasus dugaan markup alat simulator SIM. Begitu ada kasus tersebut, saya ingat nasihat almarhum bapak saya yang ketika itu mewanti-wanti anaknya: Kalau bisa jangan ada yang menjadi polisi atau bahkan mendapat jodoh seorang polisi.

Bapak tidak sedang membenci polisi, namun justru menaruh hormat kepada tugas suci seorang polisi dan yakin orang seperti saya ini tidak tahan godaan materi. Bagi bapak saya, menjadi polisi itu ibarat kaki kanannya sudah melangkah di surga dan kaki kirinya juga sudah melangkah ke neraka.

Artinya, jika polisi itu mengemban tugasnya dengan amanah, dia sudah membawa ''tiket'' surga. Bayangkan saja, jika korps kepolisian melaksanakan tugas dengan sempurna, kejahatan akan nihil dan masyarakat akan merasa aman. Bukankah itu -setidaknya- adalah surga di dunia?

Banyak polisi yang jujur. Saudara saya yang mantan Kapolsek di sebuah kecamatan di pelosok Kabupaten Jepara pada 1990-an rela tangannya ditebas penjahat. Kini dia pensiun dan menolak ditawari menjadi semacam petugas satpam di tempat hiburan malam dengan gaji yang menggiurkan. Dia justru memilih hidup sederhana dengan menjadi tukang ojek untuk membunuh rasa sepi dan kini beralih menjadi penjaga gedung sekolah dengan bayaran minim. Dia rela jujur untuk mempertahankan idealismenya.

Sebaliknya, ada pula polisi yang jahat. Orang menyebutnya oknum. Jangankan polisi, pemuka agama saja ada yang menjual ayat-ayat Tuhan, padahal dia setiap hari berceramah dan menghadapi orang baik-baik. Karena itu, saya dapat memahami saat bapak menyebut kaki kiri polisi melangkah ke neraka. Mengapa kaki kiri polisi juga sudah melangkah ke neraka? Jawabannya sederhana saja, tugas polisi adalah tugas yang mahaberat.

Bayangkan, mereka menghadapi dua titik ekstrem. Yakni, orang yang mau ''merdeka'' sebebas-bebasnya dan orang yang mau mempertahankan kekayaannya dengan cara yang bebas pula. Dua-duanya adalah orang yang mau mengorbankan apa saja demi membebaskan diri dan polisi menjadi pintu masuknya.

Orang yang melanggar hukum -untuk kasus kecil saja- misalnya tidak membawa SIM waktu berkendara di jalanan, ketika dirazia polisi, dia akan mempertahankan diri. Dia ingin bebas merdeka tanpa aturan. Untuk itu, dia juga mau mengeluarkan uang suap. Siapa orang yang tahan godaan seperti itu sepanjang hari? Belum lagi kasus pelanggaran hukum yang berat. Misalnya, para penjahat narkoba, pelaku illegal logging, atau penjahat kelas kakap lainnya. Pasti mereka juga ingin merdeka agar usahanya tidak diganggu.

Untuk itu, dia pasti harus pandai ''bekerja sama'' dengan oknum polisi. Atau, setidaknya jika tertangkap dia juga akan berusaha membebaskan diri dengan cara menyuap. Sekali lagi, siapa orang yang tahan godaan seperti itu? Orang-orang yang selalu sinis terhadap polisi, bahkan para ustad yang ''suci'' pun, belum tentu kuat jika menghadapi godaan seperti itu. Meski begitu, memberi dan menerima suap tetap merupakan perbuatan salah.

Mengapa tiket surga juga dekat dengan profesi polisi? Jawabannya jelas, polisi bukan sekadar penegak hukum, namun juga pengayom masyarakat. Upaya reformasi di tubuh Polri telah berjalan cukup lama dan menggarap tiga aspek. Yakni, aspek struktural, instrumental, dan kultural. Aspek struktural, tampaknya, sudah beres karena polisi kini telah dipisah dari TNI. Demikian pula di tingkat instrumental. Namun, reformasi di aspek kultural masih memerlukan waktu yang sangat panjang.

Dalam aspek kultural, Polda Jawa Tengah beberapa waktu lalu mencanangkan Policing with Love. Yakni, mengubah kultur polisi yang sebelumnya keras menjadi polisi yang tegas namun humanis. Polisi adalah aparat negara yang juga memiliki tugas yang kompleks. Tidak saja sebagai penegak hukum dan ketertiban, pengayom, pelindung, serta pelayan masyarakat, namun juga harus mampu menegakkan nilai-nilai demokrasi.

Gagasan polisi tegas humanis, tampaknya, dilandasi fakta bahwa dalam ajaran agama apa pun nilai cinta kasih menduduki anak tangga yang paling atas. Karena para polisi juga beragama, menginternalisasikan nilai-nilai cinta kasih dalam tugas keseharian aparat Polri semestinya tidaklah terlalu sulit.

Esensi utama hukum adalah keseimbangan antara kewajiban dan hak. Siapa pun orangnya pasti memiliki kewajiban. Setelah kewajiban itu dipenuhi, barulah dia berbicara soal hak. Umumnya orang terbalik, selalu menuntut hak namun lupa menjalankan kewajiban.

Bahkan, Jenderal Kunarto (1995), mantan Kapolri, pun setuju bahwa kelemahan pokok polisi di Indonesia adalah (1) rata-rata tidak peka dan tanggap pada tuntutan masyarakat; (2) tidak tekun dan cepat memantau situasi; (3) bersikap konservatif dan birokratis yang kadang berlebihan; (4) kurang inisiatif, tidak kreatif-inovatif, dan terjebak pada rutinitas kerja; (5) sulit menginterpretasikan kebijakan pimpinan; (6) tidak memanfaatkan potensi dan peluang lingkungan demi suksesnya tugas; (7) bekerja tidak selalu efektif dan efisien; serta (8) menyimpang dari etika keperwiraan.

Jika hambatan tersebut bisa diatasi, profesionalitas akan muncul. Profesionalitas jelas merupakan aspek yang sangat penting bagi aparat Polri. Kalau aspek jiwa kesatria dan aspek kearifan merupakan fondasi sikap mental, aspek profesionalitas lebih cenderung ke arah keterampilan psikomotorik.

Seorang polisi harus mampu dan terampil dalam menegakkan hukum dengan menerapkan pendekatan akademis serta disiplin ilmu yang ditekuninya. Yang berat adalah bagaimana dia mengendalikan hati nuraninya untuk tahan gempuran godaan yang datang setiap detik menghampiri bidang tugasnya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar