Memperkuat OKI
Fahmi Alfiansi P Pane ; Tenaga Ahli Fraksi PPP
DPR RI
REPUBLIKA,
11 Agustus 2012
Maksud pertemuan darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di
Makkah pada 14-15 Agustus adalah membahas minoritas Muslim yang tinggal di
negara-negara nonanggota OKI. Misi lainnya adalah membina persatuan dan
solidaritas umat Islam. Tetapi, masalahnya jauh lebih berat daripada yang
terungkap dalam konferensi.
Untuk melindungi minoritas Muslim di negeri-negeri non-Muslim,
seperti kaum Rohingya di Myanmar, Uighur di Cina, serta Melayu di Thailand dan
Filipina Selatan, OKI menghadapi kedaulatan politik negara yang bersangkutan,
hukum-hukum internasional, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seluruh
anggota tetap Dewan Keamanan PBB bukan anggota OKI.
Meski demikian, sepanjang ditemukan fakta penganiayaan sistematis,
kekerasan oleh aparat negara, pembersihan etnis atau agama tertentu, dan
sejenisnya, PBB dapat melakukan intervensi kema nusiaan, baik dalam bentuk
operasi pen ciptaan perdamaian dalam arti luas (wider peacekeeping) maupun pembinaan stabilitas keamanan pascakonfl
ik. Teori politik dan hukum internasionalnya demikian, tetapi tindakan nyatanya
sering berbasis kepentingan negara-negara kuat. Bahkan, dalam kasus penyerangan
Irak oleh AS-Inggris dan invasi Libya oleh NATO (Prancis, AS, Inggris),
eksistensi PBB seperti diabaikan.
Pada sisi lain, keberadaan minoritas non-Muslim di negara-negara
anggota OKI jauh lebih baik. Klaim adanya perlakuan rasialis dan tidak toleran
terhadap mereka lebih merupakan propaganda daripada pemberitaan. Untuk
mengantisipasinya, anggota-anggota OKI dan institusi OKI sendiri memerlukan
kantor berita dan strategi komunikasi publik yang baik.
Kerja sama antarmedia massa para anggota OKI harus ditingkatkan.
Sekarang, benarkah mayoritas sumber berita luar negeri dari media massa Muslim
di Indonesia adalah dari kantor berita di negara anggota OKI ataukah sumbernya
masih didominasi Reuters, Associated
Press, CNN, dan lain-lain? Begitu pula sebaliknya, dari mana koran-koran
Arab mendapat berita tentang Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Eurasia? Dalam
konteks diplomasi, OKI harus merencanakan dan mengorganisasi second-track diplomacy, artinya
diplomasi yang dijalankan aktor, bukan negara.
Selama ini, intervensi OKI terhadap masalah minoritas Muslim di
negara nonOKI terganjal kekhawatiran tuntutan timbal balik terhadap kaum
minoritas non-Muslim di negara anggota OKI. Tetapi, kita yakin sepanjang Din
Islam di jalankan maka toleransi antarumat beragama di negara anggota OKI pasti
bagus. Islam mengharamkan kita membalas perlakuan keji di Myanmar, misalnya,
terhadap kaum Buddha di Indonesia.
Masalahnya, kita kurang mampu mengomunikasikan keindahan pelaksanaan
ajaran Islam tersebut kepada seluruh manusia. Aktivitas diplomasi masih lebih
ba nyak untuk meyakinkan para politisi di negara Barat. Hal tersebut tidak
efektif dalam kasus Papua, misalnya, karena para politisi Barat berkepentingan
melakukan internasionalisasi masalah Papua. Oleh karena itu, diplomat
nonpemerintah, seperti ulama, wartawan, akademisi/ pengamat, dan LSM perlu
dilibatkan.
Misi kedua OKI untuk menyatukan kaum Muslimin dan mengakhiri
perbedaan sektarianisme jauh lebih berat. Sumber masalahnya bukan sekadar
perbedaan paradigma fikih, sumber-sumber mana yang dinilai otoritatif, dan
pemahaman terhadap ayat Alquran dan hadis Nabi. Masalah juga muncul karena
keyakinan tentang kekuasaan pascaNabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, penyatuan
umat harus terkait dengan sinkronisasi dan integrasi kekuasaan/kepemimpinan.
Tetapi, hingga hari ini kita baru dapat membayangkan pencegahan konflik terbuka
antarumat Islam.
Walaupun sangat sulit, OKI dan negara anggotanya lebih baik berikhtiar
memitigasi bencana sosial dan meningkatkan keamanan insani (human security) setiap Muslim di mana
pun berada. Akan tetapi, piagam, struktur, dan organ-organ OKI tidak memadai
untuk menuntaskan misi tersebut.
Dibandingkan dengan ASEAN, OKI lebih lemah. ASEAN mempunyai Komisi
Antarpemerintah HAM, misalnya, meski komisi tersebut tidak mampu bersuara
lantang terhadap Myanmar. Sementara, OKI hanya berjaya di bidang ekonomi dan
pembiayaan pembangunan melalui IDB. Agenda politik tidak tertangani dan
berharap kepada kekuatan lain, seperti pada masalah Palestina dan Masjid
AlAqsha, Myanmar, dan sebagainya.
Soliditas antaranggota OKI juga lemah. Jika Indonesia tak bisa
membantu Sudan soal Sudan Selatan, mereka pun mungkin hanya bisa berdoa terkait
masalah Papua. Si vis pacem, para bellum (jika berharap damai, bersiaplah
perang).
Jika OKI ingin perdamaian dan ketenteraman, negara-negara
anggotanya harus mempunyai daya tangkal dan pertahanan yang kuat. Kekuatan
tercermin dari pendapatan nasional, aset, devisa, dan belanja negara terhadap
pertahanan dan keamanan, SDM, alat utama sistem persenjataan (alutsista),
industri pertahanan, penguasaan teknologi strategis, dan sebagainya.
Kerja sama akan menambah kekuatan tersebut. Pengembangan industri
pertahanan, misalnya, dapat ditempuh dengan sumber permodalan dari
negara-negara Arab. Pengembangan teknologinya dapat dilakukan oleh Turki,
Pakistan, dan Indonesia.
Pengalaman membangun industri strategis pada masa Habibie adalah
modal intelektual untuk revitalisasi industri pertahanan kita. Nilainya lebih
strategis untuk melindungi kaum Muslimin ketimbang ratusan anak didik Habibie
tersebut membangun Boeing, Embraer, dan lain-lain. Ditilik dari titik itu,
Indonesia boleh berharap memimpin negeri-negeri Islam, terlebih bangsa ini suka
menolong sesama Muslim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar