Banalisasi
Ramadhan
Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi Undip Semarang
SINDO,
11 Agustus 2012
Ramadan memang datang menghampiri seluruh penjuru bumi ini. Namun,
Ramadan di Indonesia terasa begitu khas dan unik. Atmosfer dan gempita Ramadan
begitu kental terasa, bahkan mungkin ”mengalahkan” suasana Ramadan di negeri
asal Islam sendiri.
Namun, apabila kita berkenan mencermati, sekian tahun umat muslim
negeri ini berpuasa ternyata tidak sertamerta menjadikan negeri yang mayoritas
penduduknya muslim semakin baik. Justru, republik ini semakin dalam tenggelam
di pusaran krisis moral dan akhlak. Kriminalitas dan kejahatan masif adanya,
korupsi masih saja meraja.
Padahal, merujuk Alquran, Allah mensyariatkan puasa kepada orang-orang beriman masa kini ataupun masa lampau untuk menjadikan kita bertakwa (la’allakum tattaquun). Karakter takwa yang secara sederhana bisa dimaknai sebagai corak pribadi yang selalu menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dalam setiap gerak langkah kehidupan, sesungguhnya adalah jaminan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil aalamin).
Apabila kita berkenan jujur berkontemplasi, dalam ranah individual, di bilangan Ramadan yang sudah kesekian tahun kita jalani itu, sudah mampukah kita membumikan syariat langit ibadah puasa yang sesungguhnya teramat indah ini? Ataukah justru kita terjebak sekadar pada gempita ritualistik yang kering dan hampa sehingga puasa terasa biasa saja. Bahkan, cenderung memberatkan kita sehingga berharap dia segera berlalu?
Dimensi Esoteris
Beragama pada zaman yang telah beranjak menua ini sungguh tidak sederhana. Godaan dan tantangan modernitas makin membesar,sedangkan terjadi peluruhan masif terhadap sistem nilai dan religi. Bagi sebagian kecil pribadi yang telah mencapai makam keindahan iman dan amal, semakin besar godaan berarti semakin lebar jalan untuk beroleh kedekatan dengan Sang Khalik. Namun, bagi sebagian besar pribadi awam, besarnya godaan justru menjerumuskan karena kerap tidak mampu untuk dilawan.
Sebagian memilih menanggalkan puasa yang sesungguhnya wajib itu,meski tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Bulan puasa terasa sama seperti bulan-bulan biasa karena sedemikian bebasnya orang makan–minum dan merokok di jalanan. Seakan tanpa malu, terkadang bahkan bangga, tanpa sedikit pun toleransi tersisa. Sebagian lain tetap berpuasa tapi larut dalam buai godaan itu sehingga puasa yang dikerjakannya tidak lagi bermakna.
Rasulullah menyebut mereka sebagai pribadi yang tidak mendapatkan apaapa dari puasanya, melainkan sekadar lapar dan dahaga semata. Puasanya orang awam (shaumul ’aam), meminjam Al Ghazali. Sungguh, dengan mudah kita bisa menjumpai banyak fenomena yang menunjukkan bahwa tengah terjadi arus besar yang penulis sebut sebagai banalisasi Ramadan. Pada hakikatnya banalisasi Ramadahan adalah proses sistematis yang menumpulkan dan mendangkalkan makna keagungan Ramadan.
Bulan Ramadan nan mulia ini terasa biasa-biasa saja sebagaimana 11 bulan lain dalam perputaran waktu satu tahun. Ramadan tidak lagi menjadi ”sesuatu” karena kehilangan ruh dan dimensi esoterisnya. Dalam telaah psikologi agama, dimensi esoteris, menilik akar kata dari bahasa Yunani, esoterikos, bermakna penghayatan dari dalam akan esensi ibadah yang menghubungkan kita dengan Rabb kita.
Menjebak
Yang menarik, terkadang banalisasi ini menampakkan wajah seolah-olah kita hendak membela dan mengagungkan Ramadan, tapi sejatinya justru sebaliknya, menjebak kita. Beberapa realitas pantas kita catat. Pertama, meningkatnya angka konsumsi kita selama bulan puasa. Ucapan ”selamat menunaikan ibadah puasa” tampaknya dijawab kompak oleh para ibu rumah tangga dengan ”menaikkan menu” selama bulan puasa.
Kita menjadi semakin boros dan konsumtif, meski kita hanya dua kali makan, sekadar buka dan sahur. Padahal,meminjam Bimbo dalam kasidah Anak Bertanya, berlapar-lapar puasa mengajarkan kita untuk rendah hati selalu. Puasa mengajarkan kita berkenan berempati dan berbagi dengan mereka yang tiada berpunya. Tidak sebaliknya, memupuk jiwa konsumtif yang menanggalkan empati.
Padahal, merujuk Alquran, Allah mensyariatkan puasa kepada orang-orang beriman masa kini ataupun masa lampau untuk menjadikan kita bertakwa (la’allakum tattaquun). Karakter takwa yang secara sederhana bisa dimaknai sebagai corak pribadi yang selalu menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dalam setiap gerak langkah kehidupan, sesungguhnya adalah jaminan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil aalamin).
Apabila kita berkenan jujur berkontemplasi, dalam ranah individual, di bilangan Ramadan yang sudah kesekian tahun kita jalani itu, sudah mampukah kita membumikan syariat langit ibadah puasa yang sesungguhnya teramat indah ini? Ataukah justru kita terjebak sekadar pada gempita ritualistik yang kering dan hampa sehingga puasa terasa biasa saja. Bahkan, cenderung memberatkan kita sehingga berharap dia segera berlalu?
Dimensi Esoteris
Beragama pada zaman yang telah beranjak menua ini sungguh tidak sederhana. Godaan dan tantangan modernitas makin membesar,sedangkan terjadi peluruhan masif terhadap sistem nilai dan religi. Bagi sebagian kecil pribadi yang telah mencapai makam keindahan iman dan amal, semakin besar godaan berarti semakin lebar jalan untuk beroleh kedekatan dengan Sang Khalik. Namun, bagi sebagian besar pribadi awam, besarnya godaan justru menjerumuskan karena kerap tidak mampu untuk dilawan.
Sebagian memilih menanggalkan puasa yang sesungguhnya wajib itu,meski tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Bulan puasa terasa sama seperti bulan-bulan biasa karena sedemikian bebasnya orang makan–minum dan merokok di jalanan. Seakan tanpa malu, terkadang bahkan bangga, tanpa sedikit pun toleransi tersisa. Sebagian lain tetap berpuasa tapi larut dalam buai godaan itu sehingga puasa yang dikerjakannya tidak lagi bermakna.
Rasulullah menyebut mereka sebagai pribadi yang tidak mendapatkan apaapa dari puasanya, melainkan sekadar lapar dan dahaga semata. Puasanya orang awam (shaumul ’aam), meminjam Al Ghazali. Sungguh, dengan mudah kita bisa menjumpai banyak fenomena yang menunjukkan bahwa tengah terjadi arus besar yang penulis sebut sebagai banalisasi Ramadan. Pada hakikatnya banalisasi Ramadahan adalah proses sistematis yang menumpulkan dan mendangkalkan makna keagungan Ramadan.
Bulan Ramadan nan mulia ini terasa biasa-biasa saja sebagaimana 11 bulan lain dalam perputaran waktu satu tahun. Ramadan tidak lagi menjadi ”sesuatu” karena kehilangan ruh dan dimensi esoterisnya. Dalam telaah psikologi agama, dimensi esoteris, menilik akar kata dari bahasa Yunani, esoterikos, bermakna penghayatan dari dalam akan esensi ibadah yang menghubungkan kita dengan Rabb kita.
Menjebak
Yang menarik, terkadang banalisasi ini menampakkan wajah seolah-olah kita hendak membela dan mengagungkan Ramadan, tapi sejatinya justru sebaliknya, menjebak kita. Beberapa realitas pantas kita catat. Pertama, meningkatnya angka konsumsi kita selama bulan puasa. Ucapan ”selamat menunaikan ibadah puasa” tampaknya dijawab kompak oleh para ibu rumah tangga dengan ”menaikkan menu” selama bulan puasa.
Kita menjadi semakin boros dan konsumtif, meski kita hanya dua kali makan, sekadar buka dan sahur. Padahal,meminjam Bimbo dalam kasidah Anak Bertanya, berlapar-lapar puasa mengajarkan kita untuk rendah hati selalu. Puasa mengajarkan kita berkenan berempati dan berbagi dengan mereka yang tiada berpunya. Tidak sebaliknya, memupuk jiwa konsumtif yang menanggalkan empati.
Kedua, luruhnya etos kerja atas nama puasa. Secara resmi, bahkan
banyak kantor dan instansi pemerintahan yang mengurangi jam kerja. Masuk lebih
siang dan pulang lebih awal.Atas nama menghormati bulan puasa, produktivitas
lantas kita pangkas. Kita juga kerap menjadikan tidur sebagai ”ibadah” utama
kita ketika puasa dengan berdalih ”tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah
ibadah”. Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk tetap menjaga etos kerja di
kala puasa tiba?
Ketiga, di layar kaca, televisi kita seolah-olah pun menjelma menjadi
televisi yang sangat alim. Seakan semua kompak untuk memetamorfosis diri menjadi
televisi religius dengan tayangan-tayangan yang berbalut nuansa agama. Namun,
apabila kita cermati, ruh kapitalismelah yang sesungguhnya tengah berpesta. Di
layar kaca, kita memang bisa lebih banyak belajar agama di bulan puasa ini.
Namun, porsi pelajaran hedoniskapitalis, apabila kita cermati, jelas jauh lebih
banyak. Sinetron-sinetron yang berbanderol religi justru sering mengajari kita
untuk berperilaku tidak religius.
Caci maki, agresi, fitnah, intrik, dan nafsu hedonis adalah kurikulum inti yang diajarkan, selain muatan khusus tentang ”syariat” hidup konsumtif. Ramadan pun mengalami komodifikasi, dijadikan sebagai komoditas yang empuk buat ”diperdagangkan” dan dikomersialisasikan.
Caci maki, agresi, fitnah, intrik, dan nafsu hedonis adalah kurikulum inti yang diajarkan, selain muatan khusus tentang ”syariat” hidup konsumtif. Ramadan pun mengalami komodifikasi, dijadikan sebagai komoditas yang empuk buat ”diperdagangkan” dan dikomersialisasikan.
Keempat, kelanjutan dari ”fikih” hidup konsumtif, maka kita menjadi
berlebihan mempersiapkan Lebaran. Atas nama gemerlap berlebaran yang masih beberapa minggu lagi,
kita sudah galau untuk mempersiapkannya. Baju baru, mobil baru, gadget baru,
sebagai bekal mudik kita persiapkan lebih dini. Karena itu, kita juga jadi
lebih happy ”tarawih” di mal,
”bertadarus” dengan berbelanja, ”bertahajud” bersama midnight sale, atau membuang galau dengan ”ngabuburit” di jalanan
dan di pusat-pusat perbelanjaan ketimbang membaca Alquran dan mengkaji ilmu
agama.
Terkadang, sebagian kita bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rupiah untuk menopang nafsu. Tengoklah kenaikan angka kriminalitas bermotif ekonomi (money driven crime) yang biasanya masif terjadi pada bulan-bulan menjelang Lebaran. Pencurian, perampokan, penjambretan, penodongan, dan kejahatan jalanan cenderung meninggi karena semua bersiap lebih dini, mempersiapkan bekal menyambut mudik Lebaran.
Padahal, sungguh, Ramadan tidak hendak mengajarkan kerusakan. Senyampang masih ada waktu, saatnya kita terjaga bahwa puasa adalah pelajaran untuk memurifikasi diri pribadi dan diri bangsa kita. Membersihkannya dari kotoran dan noda yang melekat. Bermetamorfosis dari ”ulat” yang serakah dengan nafsu korupsi, hedonisme, dan ketamakan duniawi menjadi ”kupu-kupu” indah yang berhiaskan sayap ketakwaan. Selamat berpuasa Indonesia. Semoga Indonesia semakin bertakwa! ●
Terkadang, sebagian kita bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rupiah untuk menopang nafsu. Tengoklah kenaikan angka kriminalitas bermotif ekonomi (money driven crime) yang biasanya masif terjadi pada bulan-bulan menjelang Lebaran. Pencurian, perampokan, penjambretan, penodongan, dan kejahatan jalanan cenderung meninggi karena semua bersiap lebih dini, mempersiapkan bekal menyambut mudik Lebaran.
Padahal, sungguh, Ramadan tidak hendak mengajarkan kerusakan. Senyampang masih ada waktu, saatnya kita terjaga bahwa puasa adalah pelajaran untuk memurifikasi diri pribadi dan diri bangsa kita. Membersihkannya dari kotoran dan noda yang melekat. Bermetamorfosis dari ”ulat” yang serakah dengan nafsu korupsi, hedonisme, dan ketamakan duniawi menjadi ”kupu-kupu” indah yang berhiaskan sayap ketakwaan. Selamat berpuasa Indonesia. Semoga Indonesia semakin bertakwa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar