Melawan
Informalitas Ekonom
Ecky Awal Mucharam ; Anggota Komisi XI DPR RI
REPUBLIKA,
01 Agustus 2012
Sektor informal selama ini dipuja sebagai penyelamat saat
Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Saat sektor formal tumbang, sektor
informal mampu bertahan dan memberi pekerjaan bagi jutaan orang. Namun, yang
perlu diingat, sektor informal hanyalah sekoci dan tidak bisa dijadikan kapal
utama perekonomian kita.
Sekoci terlalu kecil dan rentan untuk perjalanan panjang
dan penuh gejolak. Saat krisis berlalu dan ekonomi berkembang, diharapkan
sektor informal bertransformasi dan memformalkan diri. Aset masyarakat berupa
tanah, properti, dan bisnis penting untuk diformalisasi. Usaha kecil bukan
berarti harus informal.
Urgensi Formalisasi
Property rights (hak
milik) adalah salah satu konsep utama dalam sistem ekonomi pasar. Informalitas
adalah kondisi ketika aset individu tidak diakui secara legal-formal. Menurut
Hernando de Soto, ekonom Peru, dalam bukunya The Mistery of Capital, informalitas
akan menyebabkan aset menjadi mati (dead capital). Menurut de Soto,
orang miskin sebetulnya memiliki banyak kapital, namun karena berada di luar
hukum maka tidak bisa diberdayakan.
Contohnya, tanah dan bangunan yang dimiliki tidak dapat
dijual dengan harga pantas atau tidak bisa diagunkan ke bank karena tidak
besertifikat. Akibatnya, akses orang miskin terhadap dana publik terputus
kepada kelompok informal ini, padahal dana publik adalah sumber modal utama
dalam perekonomian modern, baik lewat perbankan atau pasar modal. Usaha
pemerintah lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya adalah bagian
dari upaya membuka akses usaha kecil kepada perbankan.
Menurut data tahun 2000-2003, usaha mikro dan kecil
merupakan kelompok yang paling rendah menyerap investasi. Dari total realisasi
investasi, yang masuk ke usaha mikro dan kecil hanya sebesar 18,58 persen,
sementara usaha menengah 23,05 persen, dan usaha besar 58,37 persen.
Rendahnya penyerapan investasi pada usaha mikro dan kecil
merupakan indikasi rendahnya kemampuan kelompok ini dalam mengakses modal. Terbatasnya
akses terhadap modal menyebabkan usaha mikro dan kecil berkonsentrasi pada
sector padat karya.
Konsekuensi padat karya adalah teknologi yang rendah
sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah pula. Padahal, pada periode
tersebut usaha mikro dan kecil menciptakan 7,4 juta lapangan kerja baru,
sementara usaha menengah 1,2 juta lapangan kerja dan usaha besar hanya 55.760
lapangan kerja.
Selain itu, tidak diakuinya aset orang miskin membuat
negara kehilangan akses untuk menarik pajak, akibatnya barang publik yang
disediakan oleh uang pajak juga berkurang. Jadi, secara keseluruhan informalitas
ekonomi membuat kualitas kesejahteraan masyarakat menurun.
Bukan hanya aset yang informal, manusianya sendiri bisa
informal. Masih banyak orang miskin yang tidak memiliki Kartu Keluarga (KK),
Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan catatan kependudukan lainnya. Hal ini membuat
akses orang miskin terhadap berbagai program dan bantuan pemerintah terputus,
karena seluruh program pemerintah pasti berdasarkan data kependudukan, missal nya,
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Maka, memerangi informalitas dalam masyarakat
sejatinya adalah memerangi kemiskinan.
Pemicu Konflik
Selain memutus akses masyarakat terhadap dana publik dan
berbagai program
pemerintah, informalitas juga rentan menimbulkan konflik di
masyarakat. Yang paling sering dan selalu berulang adalah konflik agraria dan
sengketa properti. Berbagai konflik ini sering kali berdarah dan menimbulkan
korban jiwa. Hal ini tentu sangat disayangkan. Ketidakjelasan soal hak milik
ini sudah sampai tahap yang bukan hanya mengganggu ekonomi, tapi juga sosial
dan keamanan masyarakat.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sendiri mengatakan
bahwa saat ini sengketa tanah merupakan salah satu kasus yang paling sering
mereka tangani. Yang mengherankan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri mengatakan bahwa memiliki sertifikat tanah tidak
menjamin pemiliknya bakal terbebas dari tuntutan pihak ketiga. Iklim ketidakpastian
kepemilikan lahan ini tentu tidak sehat bagi perkembangan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan data UNDP, di Indonesia saat ini terdapat 85
juta bidang tanah. Dari jumlah itu baru sekitar 24 juta bidang yang
disertifikasi atau sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan Filipina yang
mencapai 60 persen atau Thailand yang sudah hampir 100 persen tentu kondisi
Indonesia sangat memprihatinkan. Dengan kata lain, sekitar 70 per sen tanah di
Indonesia tidak bisa dijadikan modal, dan bisa juga disebut sebagai dead capital.
Masalah Birokrasi
Masalah informalitas selalu berbarengan dengan buruknya
kinerja birokrasi. Biasanya masyarakat enggan mengurus dokumen karena prosesnya
berbelit-belit dan biayanya mahal. Di negara-negara yang birokrasinya buruk, cost
of doing business meningkat dan menyebabkan usaha yang tumbuh di negara itu
cenderung ilegal.
Dalam rangking kemudahan berbisnis yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia, dalam beberapa tahun terakhir posisi Indonesia masih
di atas 100, yang artinya masih buruk. Salah satu aspek yang dinilai adalah registering
property, ini masih dinilai buruk. Tidak heran jika konflik tanah dan
properti selalu berulang. Jadi, memerangi informalitas, berarti memerangi kemiskinan.
Dan hal ini bisa dicapai jika ada perbaikan pada kualitas pelayanan birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar