Religiositas
Mudik
Gani A Jaelani ; Dosen Sejarah FIB Unpad,
Mahasiswa PhD di Ecole des Hautes
Etudes en Sciences Sociales, Paris
REPUBLIKA,
10 Agustus 2012
Mudik
merupakan perkara religiositas. Bukan karena peristiwa ini terjadi pada bulan
puasa ketika setiap tindakan menjadi ibadah. Pun bukan karena dalam mudik,
kesabaran, dan keletihan diuji, melainkan ada sesuatu yang agung: pulang. Seseorang yang tinggal di
rantau, pulang ke tempat asalnya. Itulah hakikat mudik. Ada sesuatu yang ingin
dipenuhi dalam dirinya dengan pulang; sesuatu yang bersifat, baik materiil
maupun imateriil.
Karena
itu, tidak jarang orang mau berkorban banyak untuk memenuhinya.
Orang menggunakan sebagian besar penghasilannya selama satu tahun untuk memenuhinya. Tapi, apa kaitan antara pulang dan religiositas? Kepulangan tentu saja terkait dengan keberangkatan. Kedua hal ini sangat lekat dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sebetulnya hidup itu sendiri merupakan serangkaian keberangkatan dan kepulangan.
Orang menggunakan sebagian besar penghasilannya selama satu tahun untuk memenuhinya. Tapi, apa kaitan antara pulang dan religiositas? Kepulangan tentu saja terkait dengan keberangkatan. Kedua hal ini sangat lekat dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sebetulnya hidup itu sendiri merupakan serangkaian keberangkatan dan kepulangan.
Setiap
keberangkatan mengandaikan sebuah perjalanan; berangkat dari satu titik ke
titik yang lain. Sebagian orang melakukannya secara sengaja sebagai salah satu
jalan yang ditempuhnya. Namun, tidak sedikit orang yang melakukannya secara
terpaksa dan dipaksa.
Mereka
yang melakukan suatu perjalanan adalah mereka yang berani ke luar dari wilayah
aman hidupnya. Kisah orang-orang yang hidup di perantauan adalah kisah tentang
keterasingan. Mereka selalu berada dalam tarikan antara masa lalu dan masa
kini. Antara masa kini yang begitu jauh dan masa lalu yang begitu akrab.
Tarikan-tarikan itulah yang membuat dirinya terasing.
Kenyataan
seperti itu sangat terasa apabila peristiwa keberangkatan merupakan sesuatu
yang tidak dikehendaki. Barangkali itulah yang dialami oleh Mourid Borgouti,
penyair Palestina, yang tidak diizinkan kembali pulang ke kampung halamannya.
Dia yang pada tahun sebelum perang Arab-Israel pecah sedang menyelesaikan
studinya di Mesir, tidak pernah diizinkan untuk kembali pulang. Sampai 30 tahun berikutnya.
Akan
tetapi, dia tidak mempunyai pilihan. Dia harus tinggal di tempat tempat yang
sangat asing bagi dirinya, yang membuatnya pun menjadi sangat terasing. “Orang
asing itu,“ katanya, “adalah orang yang selalu memperbarui izin tinggalnya.“
Dan, dia termasuk orang yang selalu memperbarui izin tinggalnya.
Pulang
adalah satu-satunya cara supaya dia tidak terasing. Sebab, dengan berpulang,
berarti dia kembali ke tempat tinggalnya, tempat dia diakui sebagai individu,
tempat dia bisa mengumpulkan kembali bagian-bagian dari dirinya yang tertinggal
di masa lalu. Dia bisa menysusun kembali potonganpotongan dirinya yang tercecer
akibat pengasingan. Dan, tentu saja tidak ada lagi keharusan untuk selalu
memperbarui izin tinggalnya.
Meskipun
demikian, dia juga sadar bahwa tindakannya itu tidak akan pernah mengembalikan
segalanya. Sebab, “orang asing itu tak
pernah bisa benar-benar pulang. Sekali pun dia bisa kembali. Selalu ada yang
hilang.“ Tapi, paling tidak, pulang merupakan ikhtiar untuk menyusun
kembali identitas dirinya yang dilakukan dengan mengunjungi masa lalunya.
Kalau
kisah mengenai keberangkatan adalah kisah mengenai ketercerabutan, pulang
adalah tujuan hidup. Seluruh aktivitas hidup akan selalu diarahkan supaya bisa
kembali ke Yang Asal. Sebab, tinggal di perantauan berarti keterasingan. Dan,
keterasingan adalah penderitaan.
Seperti
kisah serulingnya Rumi, “Semenjak aku
terpotong dari lebatnya hutan, semua laki-laki dan perempuan meneteskan air
mata mendengar suara tangisku. Aku senandungkan robeknya dada karena perpisahan
sehingga aku dapat memaparkan perihnya rindu pada mereka. Setiap manusia jauh
dari asalnya. Mereka semua berlindung untuk mencari zaman wasalnya.“
Ketercerabutannya
dari Yang Asal, telah membuatnya menderita. Suara yang dikeluarkannya adalah
ratapan. Dan, karena ratapan keterpisahan seruling itulah banyak para lelaki
dan perempuan yang ikut bersedih. Ratapan seruling adalah ratapan kerinduan
terhadap Yang Asal. Satu-satunya cara untuk membuatnya berhenti adalah
mengembalikannya ke Asal.
Barangkali
hidup itu sendiri sebe tulnya merupakan kisah mengenai ketercerabutan.
Mengalami hidup berarti tercerabut dari Yang Asal. Oleh karena itu, kembali ke
Yang Asal menjadi tujuan utama hidup; bahwa pada dasarnya hidup diarahkan untuk
menyongsong kematian yang niscaya. Karenanya, cukup lazim ketika seseorang
meninggal kita mengucapkan inna lilllahi
wa inna ilaihi raaji'un, “sesunguhnya kita ini milik Allah dan
kepada-Nyalah sesungguhnya kita kembali.“ Dengan demikian, kematian adalah
ekspresi kepulangan yang primordial.
Karena
itulah, saya kira, kepulangan menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan. Tapi,
itu kalau ingatan terhadap Yang Asal kuat melekat. Sebab, mungkin tidak sedikit
di antara kita (me)-lupa(kan) Yang Asal. Itulah mengapa aktivitas pulang
menjadi sangat penting dalam hidup. Bahwa, seseorang yang melakukannya
mempunyai kesempatan untuk mengakrabi masa lalunya, supaya bisa mengumpulkan
bagian-bagian dari dirinya yang tercecer.
Dalam
kehidupan yang terus-menerus lurus, pulang merupakan sebuah jeda yang membuat
seseorang yang melakukannya mempunyai banyak waktu untuk mengevaluasi apa-apa
yang telah dilakukannya selama ini. Pada titik inilah, mudik merupakan
aktivitas yang sangat menyejarah.
Oleh
karenanya, pulang merupakan suatu aktivitas yang membebaskan. Sebab dalam
pulang, ada aktivitas menemukan kembali. Ini adalah sebuah proses untuk
menemukan pengalamanpengalaman masa lalu, menatanya kembali untuk memberi
kesegaran.
Barangkali, karena itulah
mungkin setiap tahun orang masih menganggap pulang kampung merupakan aktivitas
yang sangat penting. Kegiatan yang dilakukan menjelang akhir puasa ini, dalam
pikiran saya, seperti melengkapi proses pembersihan diri yang kita lakukan selama
sebulan berpuasa, yakni dipungkas dengan pulang. Dan, karena itulah pada satu
Syawal manusia kembali terlahir. Dalam kerangka demikianlah aktivitas mudik
menjadi sangat religius.
Sebab, mudik yang mengandaikan jeda hidup
juga merupakan sebuah ruang untuk muhasabah.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar