Kontekstualisasi
Ramadhan
Sukidi ; Kandidat PhD di Universitas Harvard
KOMPAS,
11 Agustus 2012
Ramadhan memiliki setidaknya dua
keistimewaan: puasa dan turunnya Al Quran. Keduanya berasal dari perintah
Tuhan, yang dikomunikasikan melalui Nabi Muhammad SAW bukan dalam ruang sosial
yang hampa, tetapi dalam konteks sejarah yang spesifik.
Pemahaman atas doktrin puasa dan turunnya Al
Quran menjadi bermakna jika dikontekstualisasikan secara historis dengan dua
tradisi agama monoteistik pra-Islam: Yahudi dan Kristen.
Konteks Sejarah Puasa
Indikasi awal adanya konteks sejarah puasa
terefleksikan dalam kalam Tuhan. ”Wahai
orang-orang beriman,” demikian Tuhan berkata, ”diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Dalam kalam Tuhan ini, identitas ”orang-orang sebelum kamu” tidak dirujuk
secara jelas dan langsung sehingga penafsir wahyu mengeksplorasi maknanya
melalui proses interpretasi.
Sejak fase Islam perdana, eksplorasi atas
makna ”orang-orang sebelum kamu”
tidak pernah tunggal, tetapi plural. Pluralisme makna menjadi karakteristik
utama pemikiran Islam yang berkembang pesat di kalangan penafsir wahyu sejak
fase Islam perdana.
Muqatil Ibn Sulayman, misalnya, berkomentar
bahwa ”orang-orang sebelum kamu”
adalah pengikut Injil, ahl al-Injil. Interpretasi ini dapat diterima karena,
menurut al-Suddi, Ramadhan juga diwajibkan atas ”orang-orang Kristen”, al-
naara. Mereka dilarang makan atau minum setelah tidur dan dilarang berhu-
bungan seks dengan istri-istri mereka selama Ramadhan. Interpretasi al-Suddi
ini terekam dalam tafsir klasik yang monumental, Tafsir al-Abari: Jami’ al-bayan ’an ta’wil ay al-Quran
karya penafsir dan sejarawan al-Abari.
Menariknya, al-Abari merekam dengan berani
dan jujur kemungkinan interpretasi lain yang berbeda. Salah satunya berasal
dari Mujahid ibn Jabr, yang berkomentar bahwa ”orang-orang sebelum kamu” merujuk kepada ahl al-kitab. Yakni,
mereka yang telah diberikan Kitab Suci, yang mencakup bukan sekadar orang-orang
Kristen, tetapi juga, antara lain, orang-orang Yahudi.
Ketika Muhammad hijrah ke Yathrib, oasis yang
dihuni separuh lebih oleh orang-orang Yahudi, Nabi tiba di kota yang namanya
diubah menjadi Madina itu bertepatan dengan Yom Kippur. Yang disebut terakhir
ini adalah hari puasa orang-orang Yahudi yang jatuh pada hari ke-10 Tishri
dalam kalender Yahudi, atau biasa dinamakan ’Ashura’ dalam tradisi Islam.
Inilah tradisi puasa Yahudi yang menarik perhatian Nabi setiba di Madina.
Ketika Nabi bertanya tentang alasan berpuasa,
orang-orang Yahudi menjawab bahwa ’Ashura’ adalah hari ketika Tuhan
menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa dan anak-anak Israel. Nabi pun
berkata, ”Kami memiliki hak yang lebih
besar kepada Musa daripada yang kamu miliki.”
Riwayat ini terekam dalam khazanah
intelektual Islam mulai dari kitab-kitab hadith yang kanonikal, seperti
al-Bukahri dan Muslim, sampai kitab-kitab sejarah yang otoritatif seperti
Tarikh al-Abari. Yang menarik dari riwayat ini adalah bahwa klaim Muhammad
sebagai penerus otoritatif Musa terefleksikan ketika Nabi berpuasa dan
menginstruksikan kepada orang-orang beriman untuk berpuasa dengannya pada hari
’Ashura’, sebagaimana orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Yom Kippur.
Dalam suatu riwayat, penafsir Ibn ’Abbas
menyebut puasa Islam yang paling awal sebagai puasa Yom Kippur. Hal ini sebagai
bukti bahwa puasa dalam Islam pada awalnya tidak hadir dalam ruang yang hampa,
tetapi berinteraksi aktif dengan konteks sejarah yang spesifik, terutama puasa
dalam dua agama monoteistik pra-Islam: Yahudi dan Kristen. Itu sebabnya
al-Abari memberikan preferensi tafsir ”orang-orang
sebelum kamu” sebagai ahl al-kitab.
Bersama pengikutnya yang tergabung ke dalam
gerakan reformasi keagamaan, yang disebut sejarawan Fred Donner dari
Universitas Chicago sebagai ”gerakan
orang-orang beriman”, Muhammad hijrah ke dan menetap di Madina sama sekali
bukan untuk memusuhi dan memusnahkan, melainkan untuk mengonfirmasi dan
mengapresiasi atas tradisi puasa yang hidup di kalangan Yahudi dan Kristen.
Pada akhirnya itu meneguhkan identitas diri
yang istimewa melalui instrumen puasa yang diwajibkan atas orang-orang beriman
selama Ramadhan. Kewajiban puasa Ramadhan ini menandai status puasa pada hari
’Ashura’, yang menjadi tradisi puasa orang-orang Yahudi di hari Yom Kippur,
berubah menjadi pilihan yang bersifat sukarela semata.
Turunnya Al Quran
Sama dengan puasa, Al Quran juga diturunkan
pada Ramadhan, yang turunnya sendiri tak terjadi dalam ruang sosial yang hampa,
tetapi dalam konteks sejarah yang spesifik. Turunnya Al Quran pada Ramadhan
merupakan mata rantai sejarah yang tak terpisahkan dari agama monoteistik
pra-Islam, terutama karena kitab-kitab suci yang pernah diwahyukan kepada Nabi
Ibrahim, Musa, Daud, dan Yesus juga diturunkan pada Ramadhan. Pendapat ini
dikemukakan penafsir al-Suyudhi dalam karyanya, al-Itqan fi 'Ulum al-Quran.
Sama dengan puasa, turunnya Al Quran juga
harus dikontekstualisasikan secara historis terkait apa yang sebenarnya terjadi
dengan pewahyuan Kitab Suci dalam tradisi agama monoteistik pra-Islam: Yahudi
dan Kristen. Salah satu contoh dapat diberikan melalui kalam Tuhan ini: ”Mereka yang tidak percaya berkata: mengapa
Al Quran tidak diturunkan kepadanya (yakni Muhammad) sekali turun saja?”
Menurut al-Abari, frase ”sekali turun
saja” merujuk pada proses pewahyuan Taurat kepada Nabi Musa di Gunung
Sinai.
Penafsir al-Tha'labi al-Naysaburi memperlebar
makna ”sekali turun saja” yang
merujuk bukan hanya Kitab Taurat kepada Musa, tetapi juga Kitab Zabur kepada
Nabi Daud dan kitab Injil kepada Nabi Isa. Berbeda dengan proses pewahyuan
Taurat kepada Musa, Zabur kepada Daud, dan Injil kepada Isa yang ”sekali turun”, Al- Quran hanya
diturunkan secara progresif dan bertahap sesuai dengan periode kenabian
Muhammad. Mengapa?
Pertama, penafsir awal Ibn Jurayj, yang
pendapatnya terekam dalam Tafsir al- Abari, lebih menekankan karakter responsif
wahyu dalam Islam. Menurut dia, ”Al Quran
diturunkan kepada Muhammad sebagai respons atas apa yang mereka katakan
sehingga Muhammad akan tahu bahwa Tuhan akan menjawab orang-orang dengan
kebenaran terkait dengan apa yang mereka katakan.” Pewahyuan ini adalah
proses dialogis yang berlangsung secara aktif, yang melibatkan antara dua
subyek yang hadir dalam sejarah penyelamatan, Tuhan dan Muhammad untuk
memberikan jawaban atas apa yang orang-orang katakan kepada Muhammad.
Kedua, penafsir Ibn ’Abbas, yang interpretasinya
juga terekam dalam Tafsir al- Abari lebih menekankan argumen pembelajaran dan
penghafalan agar Muhammad dapat mempelajari ayat demi ayat yang diwahyukan
bahkan diajarkan Tuhan kepadanya melalui hafalan dan ingatan. Argumen ini
merefleksikan karakter utama wahyu Al Quran yang bersifat oral dan, karena itu,
terekam dalam memori kolektif Muhammad dan pengikutnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar