Pulang ke Fitrah
Manusia dan Bangsa
|
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
REPUBLIKA,
16 Agustus 2012
PERAYAAN Idul Fitri kali ini bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan
Indonesia, mendaur ulang peristiwa yang sama 67 tahun yang lalu, saat biduk
Republik Indonesia mulai berangkat. Pada titik keberangkatan itu, ada
kesesuaian antara fitrah individu dan fitrah kolektif-kebangsaan; hanif
(cenderung pada kebajikan). Dengan lentera kehanifan itu, kebahagiaan individu
dan kolektif berusaha dicapai melalui perjuangan kemerdekaan, dengan
menghadirkan pemerintahan sendiri, berlandaskan konstitusi, yang ditopang oleh
kekuatan moral individu dan kolektif.
Inti dari keberagamaan ialah moral (akhlak). Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.“ Pilar
utama keparipurnaan negara pun ialah moral. Dalam hal ini, pokok pikiran
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Negara berdasar atas
ketuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab... mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.“ Para
pendiri bangsa Indonesia bukannya tak punya cacat, melainkan mereka memiliki
modal moral yang kuat.
Saat ditanya oleh Direktur Penjara Landraad Bandung ihwal
`kehidupan baru' selepas bebas, Bung Karno menjawab, “Seorang pemimpin tidak
berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan,
dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama.“
Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an,
setegar baja Bung Hatta berkata, “Betul banyak orang yang bertukar haluan
karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan
iblis itu.“ Lantas ditambahkan, “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang
terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang
kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.“ Kekuatan
moral ini pula yang memijarkan rasa pengabdian dan tanggung jawab kepada
kemaslahatan hidup bersama.
Dalam perdebatan tentang rancangan undang-undang dasar di BPUPKI,
Muhammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena
yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar,
ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan
perumusan undang-undang dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang
menanti-nantikan hak daripada republik.
DENGAN kekuatan moral individu seperti itu, kita bisa mendirikan
Republik dengan moral kolektif yang kuat, Pancasila sebagai dasar negara yang
inklusif dan tahan banting, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yang paling modern pada zamannya, negara persatuan yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan, Bhinneka Tunggal Ika sebagai doktrin dan praksis
multikulturalisme yang kukuh.
Menangkap Api Agama
Dari manakah kekuatan moral Republik itu mereka dapatkan? Dari
kemampuan menangkap api agama, bukan abunya; dari keterlibatan yang khidmat
dengan gelora pergerakan, bukan sekadar lewat jalan pintas popularitas; dari
penghayatan dan empati yang mendalam terhadap penderitaan diri dan sesama,
bukan sekadar lewat proyek pencitraan; dari pemahaman yang jernih dan luas
tentang hakikat kemanusiaan dan kehidupan, bukan pemahaman cetek yang dipungut
dari kunjungan sekilas.
Enam puluh tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, moral individu
dan moral kolektif bertemu secara salah: institusi-institusi negara menjadi
arena pertemuan individu-individu yang bermasalah dengan moral kolektif yang
bermasalah. Banyak orang beragama sekadar untuk mendustakannya, karena gairah
beribadah tak diikuti gairah berkorban. Tempat-tempat ibadah bertumbuh
beriringan dengan arus masuk para aktivis keagamaan ke politik kepartaian dan
kenegaraan, tapi kehidupan negara makin centang perenang oleh merebaknya
korupsi dan penyelewengan jabatan.
Dalam itu, kebijakan negara tidak lagi mencerminkan negara
persatuan, tapi didikte oleh kepentingan perseorangan dan golongan. Demokrasi
tidak memperkuat rakyat, tapi memperkuat oligarki yang mengembangbiakkan
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Indonesia masa kini bukanlah Indonesia yang dibayangkan para
pendiri bangsa. Negara yang didirikan secara sungguh-sungguh, dengan gagasan
cemerlang dan moral yang kuat, dirawat secara main-main, dengan gagasan
serampangan dan moral yang rapuh.
Dalam kegelapan arah ke depan, jalan terbaik ialah pulang ke
spirit asal (fitrah). Fitrah dasar kehidupan bernegara yang memancarkan
keimanan, ketulusan, dan kejuangan perlu dihidupkan ulang sebagai tenaga batin
untuk mengangkat muruah bangsa dari kerendahannya.
Soekarno mengingatkan, “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat,
jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita
bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu, jiwa kita harus selalu jiwa
yang ingin mikraj--kenaikan ke
atas--supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas.
Bangsa yang tidak mempunyai adreng. Adreng untuk naik, bangsa yang demikian
itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).” Kebesaran
jiwa pemimpin merupakan pengungkit kenaikan martabat bangsa.
Untuk itu, pemimpin hari ini hendaklah wawas diri. Dalam terang
wawas diri akan tampak bahwa kesulitan dan keterpurukan yang dialami bangsa ini
disebabkan oleh tabiat para pemimpin yang bermental pengemis, yang hanya minta
diberi tanpa bisa memberi.
Pemimpin seperti itu tak memiliki rasa welas asih, berperangai bak
binatang buas yang menjadikan rakyatnya sebagai mangsa. Untuk pemimpin seperti
itu Sa’di berkisah, “Seorang raja yang
rakus betanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling
baik. Dia menjawab, ‘Untuk Anda yang paling baik ialah tidur setengah hari
sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.”
Tugas para pemimpin ialah menciptakan surga di dunia dengan
memulihkan kebahagiaan rakyat mereka. Dunia dapat menjadi surga ketika kita
saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi
pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita
hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin
perhatian.
Dengan kehadiran Idul Fitri dalam suasana peringatan kemerdekaan
Indonesia, semoga kita bisa kembali ke dua fitrah sekaligus: fitrah ke
manusiaan dan fitrah kebangsaan. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang
kesucian kolektif, semoga kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan dapat dimuliakan
kembali! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar