Jumat, 17 Agustus 2012

Masyarakat Tamadun


Masyarakat Tamadun
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
REPUBLIKA, 16 Agustus 2012


Puasa Ramadhan akan berakhir dan Idul Fitri menyapa kita. Secara harfiah, Idul Fitri bermakna hari suci. Sering, Idul Fitri di artikan sebagai hari kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadhan. Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan Lebaran tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur bangsa yang unik.

Pada momen ini, rasanya kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamadun yang berarti peradaban. Inilah inti dari masyarakat yang dicitakan oleh Islam dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukanlah masyarakat eksklusif yang hendak dibangun oleh Islam, melainkan masyarakat berakhlak mulia dan bermartabatlah yang menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Budaya Beradab

Pejuang-pejuang Indonesia, sejak dahulu sampai masa modern, semuanya mempelajari dan mempraktikkan budaya jujur, adil, arif bijaksana, tertib, disiplin, moderat, dan rendah hati. Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan pengalaman jatuh bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat, dan terhormat. Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural.

Keadaban ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Dalam masyarakat majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada.

Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke15. Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang majemuk.

Moto kemajemukan, Bhinneka Tunggal Ika, merupakan cantelan dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung bangsa Indonesia untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat. Upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dan menjadi lebih sejahtera, berkeadilan, serta berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.

Sikap sadar kemajemukan berarti pula sadar terhadap multikulturalisme.
Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.

Konsep multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang hanya menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk. Terpenting, multikulturalisme lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan serta meningkatkan solidaritas. Kehidupan multikultur adalah landasan kesadaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.

Saling Silaturahim

Dalam ajaran Islam, semangat perdamaian dan toleransi antarumat memiliki landasan legitimasi yang kokoh karena ajaran ini hadir dengan misi rahmatan lil `alamin. Misi ini artinya menciptakan peradaban yang penuh kasih dan damai tidak saja(?) bagi umat manusia seluruhnya ataupun penghuni alam raya.

Sekali lagi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup dalam suasana plural dan multikultur sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan serta menerima perbedaan tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai. Jangan sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap perubahan sosial yang cepat, kedamaian yang sudah berlangsung lama itu terganggu dengan munculnya konflik-konflik sosial dengan semangat pembedaan dan pembelaan etnis dan agama.

Kebinekaan merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama jelas sebagai rahmat yang harus disyukuri. Agama datang untuk kehidupan demi membangun kehidupan yang tenang, aman, dan damai. Akan tetapi, jika kehidupan ini dijadikan sebagai industri kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.
Untuk itu, hal ini perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan menciptakan suatu kedamaian.

Ada dua pilihan hidup di dunia ini, yakni untuk menjadikan rahmat atau dihancurkan oleh globalisme. Supaya menjadi rahmat, kita harus saling mengakui pluralitas. Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan, penciptaan dunia ini juga perbedaan lidah dan bahasa kita, kita harus mengembalikan integrasi dan kerja sama sesama kita.

Bumi ini diciptakan untuk makhluk hidup. Untuk kita semua. Semua berhak hidup di bumi ini. Kita harus berpacu untuk menghidupkan manusia dan memuliakan manusia demi keberlangsungan hidup mereka. Justru, yang harus kita lawan adalah kezaliman karena dapat melawan kefitrian.

Dengan memiliki Idul Fitri, kiranya dapat dijadikan sebagai pengikat tali silaturahim antarumat beragama dan kebudayaan yang mampu menembus batas-batas sosial antara kelompok satu dan kelompok lainnya. Momentum penting ini dapat dijadikan bagian dalam merajut hidup berbangsa dan bernegara. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar