Masyarakat
Tamadun
|
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
|
REPUBLIKA,
16 Agustus 2012
Puasa
Ramadhan akan berakhir dan Idul Fitri menyapa kita. Secara harfiah, Idul Fitri
bermakna hari suci. Sering, Idul Fitri di artikan sebagai hari kembali sucinya
jiwa umat Muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah
sebulan penuh selama Ramadhan. Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan
Lebaran tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah
menjadi kultur bangsa yang unik.
Pada
momen ini, rasanya kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamadun yang berarti peradaban. Inilah
inti dari masyarakat yang dicitakan oleh Islam dan telah diteladankan oleh Nabi
Muhammad SAW. Bukanlah masyarakat eksklusif yang hendak dibangun oleh Islam,
melainkan masyarakat berakhlak mulia dan bermartabatlah yang menjadi titik
sentral misi kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Budaya Beradab
Pejuang-pejuang
Indonesia, sejak dahulu sampai masa modern, semuanya mempelajari dan
mempraktikkan budaya jujur, adil, arif bijaksana, tertib, disiplin, moderat,
dan rendah hati. Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan
pengalaman jatuh bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab,
bermartabat, dan terhormat. Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu
dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam
masyarakat yang plural.
Keadaban
ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk
dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok dan
strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Dalam masyarakat
majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada.
Dari
sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah
lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan
kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke15. Realitas sejarah
mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan
bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang majemuk.
Moto
kemajemukan, Bhinneka Tunggal Ika,
merupakan cantelan dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan
bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung
bangsa Indonesia untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dan menjadi lebih sejahtera,
berkeadilan, serta berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat dapat duduk
sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk
itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama.
Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat.
Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif,
keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan
budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya
dalam sistem kehidupan bersama.
Sikap
sadar kemajemukan berarti pula sadar terhadap multikulturalisme.
Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Konsep
multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang
hanya menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau
kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk. Terpenting,
multikulturalisme lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki
dalam kesederajatan serta meningkatkan solidaritas. Kehidupan multikultur
adalah landasan kesadaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.
Saling Silaturahim
Dalam
ajaran Islam, semangat perdamaian dan toleransi antarumat memiliki landasan
legitimasi yang kokoh karena ajaran ini hadir dengan misi rahmatan lil `alamin. Misi ini artinya menciptakan peradaban yang
penuh kasih dan damai tidak saja(?)
bagi umat manusia seluruhnya ataupun penghuni alam raya.
Sekali
lagi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup dalam suasana plural dan
multikultur sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan serta menerima
perbedaan tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai. Jangan
sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap perubahan sosial yang cepat,
kedamaian yang sudah berlangsung lama itu terganggu dengan munculnya
konflik-konflik sosial dengan semangat pembedaan dan pembelaan etnis dan agama.
Kebinekaan
merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama jelas sebagai rahmat yang
harus disyukuri. Agama datang untuk kehidupan demi membangun kehidupan yang
tenang, aman, dan damai. Akan tetapi, jika kehidupan ini dijadikan sebagai
industri kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.
Untuk itu, hal ini perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan menciptakan suatu kedamaian.
Untuk itu, hal ini perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan menciptakan suatu kedamaian.
Ada
dua pilihan hidup di dunia ini, yakni untuk menjadikan rahmat atau dihancurkan
oleh globalisme. Supaya menjadi rahmat, kita harus saling mengakui pluralitas.
Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan, penciptaan dunia ini juga perbedaan
lidah dan bahasa kita, kita harus mengembalikan integrasi dan kerja sama sesama
kita.
Bumi
ini diciptakan untuk makhluk hidup. Untuk kita semua. Semua berhak hidup di
bumi ini. Kita harus berpacu untuk menghidupkan manusia dan memuliakan manusia
demi keberlangsungan hidup mereka. Justru, yang harus kita lawan adalah
kezaliman karena dapat melawan kefitrian.
Dengan
memiliki Idul Fitri, kiranya dapat dijadikan sebagai pengikat tali silaturahim
antarumat beragama dan kebudayaan yang mampu menembus batas-batas sosial antara
kelompok satu dan kelompok lainnya. Momentum penting ini dapat dijadikan bagian
dalam merajut hidup berbangsa dan bernegara. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar