Memetik
Pelajaran Ramadhan
|
Haris Azhar ; Koordinator KontraS
|
REPUBLIKA,
16 Agustus 2012
Berpuasa
adalah pilihan individual untuk dikerjakan. Di Indonesia, suasana bulan
Ramadhan sangat terasa, tidak lain karena mayoritas penduduknya yang beragama
Islam. Hal ini membuktikan bahwa kurun waktu Ramadhan membawa banyak anggota
masyarakat pada suasana etis. Namun, apakah etika Ramadhan kita berbanding
lurus dalam kerja pemerintahan?
Setelah
habis berpuasa sebulan penuh, ramai-ramai pemeluk agama Islam secara universal
merayakan Idul Fitri. Idul Fitri berarti kembalinya seseorang kepada keadaan
fitrah (asal) manusia yang suci. Kondisi ini tentunya dicapai setelah melakukan
shaum (puasa) sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Dalam berpuasa, setiap Muslim
diwajibkan untuk menahan diri. Menahan diri dari sesuatu yang membatalkan
maupun menahan dari sesuatu yang mengurangi makna puasa untuk mencapai keadaan
fitri pada akhir bulan. Hal yang membatalkan adalah makan, minum, atau
berhubungan suami istri sejak fajar pagi hingga sore (maghrib). Sementara, yang
mengurangi makna puasa, di antaranya amarah, gosip, ataupun mencederai
seseorang ataupun diri sendiri.
Lebih
jauh, puasa Ramadhan memiliki berbagai macam relasi, baik yang bernuansa
vertikal, sosial, maupun individual. Pada konteks relasi vertikal, puasa
merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban (fardhu
ain) bagi setiap individu yang sudah dewasa (baligh), berakal, dan sehat kepada Allah SWT. Sedangkan dalam
konteks sosial, puasa melatih membangun empati terhadap sesama. Empati ini,
misalnya, dapat terwujud dalam bentuk merasakan kemiskinan sesama Muslim yang
tidak makan, atau berbagi pendapatan kepada yang membutuhkan.
Sayangnya,
dalam lingkup kebangsaan hari-hari ini di Indonesia, puasa dan suasana Ramadhan
belum sepenuhnya diisi oleh praktik dan etika Ramadhan yang baik di ruang
sosial-politik. Puasa kita, selain disuguhi rangkaian ceramah di berbagai ruang
publik, secara bersamaan disuguhi berbagai peristiwa ketidakjujuran, misalnya
kekerasan di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, penyiksaan di Sabu, Kupang, Nusa
Tenggara Timur (NTT), serta kasus dugaan korupsi di kantor penegak hukum.
Becermin
pada beberapa contoh tersebut di atas, pertanyaannya, sejauh mana kualitas kita
men jaga kesyahduan Ramadhan. Jika para polisi berpuasa dan taat pada
syariatnya, seharusnya tidak melukai manusia-ma nusia lainnya. Jika syariat dan
hakikat puasa dipahami, kita harus sadar bahwa berpuasa adalah membangun empati
bagi kemiskinan yang masih menghampar di negeri ini.
Bagi
para polisi, politisi, atau siapa pun yang berpuasa jelas bahwa puasa mereka
tidak akan batal selama mereka tidak makan, minum, atau berhubungan suami istri
pada waktu fajar pagi hingga maghrib. Namun, bagi yang melakukan kekerasan dan
menutup-nutupinya, mereka telah kehilangan makna puasa.
Kondisi
tidak ideal yang terjadi selama Ramadhan memberikan gambaran betapa berpuasa
hanya rutinitas bagi kalangan pejabat publik tanpa mendapatkan hakikatnya.
Konsep nasionalisme religius yang selalu dibanggakan oleh berbagai entitas
publik di negeri ini menjadi artifisial. Nasionalisme religius seharusnya bisa
di artikan sebagai rasa solidaritas atas dasar nilai-nilai yang substansial
dari semua ajaran-ajaran agama.
Fungsi-fungsi pembinaan di pemerintahan atau di
institusi keamanan terbukti tidak kontributif bagi penciptaan pelayanan sosial
dan kemasyarakatan. Kondisi dan praktik seperti ini sungguh(?)
Di
sisi individual, kesabaran tiap anggota masyarakat menghadapi buruk nya
argumentasi dan praktik para pejabat negara selama Ramadhan, justru memberikan
nilai tambah dalam berpuasa. Bagi yang miskin menjelang Lebaran dibelaskasihi
dengan jatah zakat. Tidak ada nilai sosial dan adab baru yang bisa dijadikan
momentum kebangkitan bangsa. Bagi si miskin, tidak ada ruang untuk bertanya,
dari mana asal uang zakat yang diberikan kepadanya.
Ramadhan
kali ini belum mampu membangkitkan semangat kebersamaan. Ramadhan kali ini
belum membawa ke cita ideal konsep negara. Negara yang fitri adalah negara yang
menjalankan tugas-tugas asasinya. Hari-hari ini, masih ada ruang dan jarak yang
tidak harmonis antara negara dan masyarakatnya. Perayaan Lebaran kali ini pasti
dipenuhi oleh banyak kepura-puraan sosial, seperti berminta maaf tanpa mengerti
apa yang mau dimaafkan.
Akan
tetapi, masa depan masih panjang buat bangsa ini. Idealnya berpuasa dan suasana
Ramadhan bisa menjadi waktu untuk membangun dan melatih etos keimanan
transendental (kepada Allah SWT) dan solidaritas sosial bagi para pejabat
publik. Bangunan iman dan solidaritas ini terwujud lewat kebijakan dan perilaku
yang berpihak pada yang lemah, seperti membuat kebijakan yang adil, berkata
yang jujur, serta berlaku santun dalam melayani masyarakatnya.
Metodologi
berpuasa bukan buruk, melainkan kesungguhan implemen tasinya yang jelek.
Untungnya, masih ada Syawal yang membuka ke
sempatan bagi aktor-aktor di pemerintahan untuk memberikan dan mempraktikkan
nilai-nilai puasa saat Ramadhan. Itulah yang dimaksud nasional religius.
Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar