Puasa Saya,
Anda, dan Kita
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP ISNU dan Anggota BPK RI
SINDO, 09 Agustus 2012
TAHUKAH
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi ma kan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yanglalaidarisalatnya, orang-orang
yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un:
1-7)
Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama
ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya
solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas).
Orang beragama adalah orang yang senantiasa memberi bantuan kepada orang miskin.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi.
Bukan orang-orang yang sehari-harinya di masjid, sementara beberapa meter
darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial. Agama juga jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari psikolog Gordon W Allport, yang membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik. Pertama, yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya.
Dia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya. Kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari.
Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang. Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggung jawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada ke senangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Oleh karena itu, Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mempunyai tanggung jawab besar untuk membentuk Indonesia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Karena itu, perlu untuk mengkaji ulang beberapa konsep keislaman bagi reformasi keberagamaan agar sesuai dengan Islam budaya yang indah, agar terbangunlah orkestra megah yang harmonis bagi wajah indah Indonesia yang kaya warna.
Salah satu metode yang sempurna untuk meng internalisasikan nilai-nilai beragama adalah puasa. Bukan tanpa alasan jika Allah memberikan waktu khusus bagi manusia yang sering kali tenggelam dengan kesibukan duniawinya untuk beristirahat sejenak saat Ramadan ini. Ritual sosial seperti berbagi antar sesama melalui zakat, infak, dan sedekah mesti dilaksanakan. Puasa itu menegaskan “tidak” karena kehidupan sehari-hari kita adalah mengekor pada “ya”. Sekurang-kurangnya mengendalikan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” di bandingkan “mengendalikan”.
Maka Ramadan menjadi sangat penting untuk melatih “tidak” itu. Bulan Ramadan jika kita melakoninya dengan sepenuh hati bisa membuat kita kembali menjadi manusia lagi. Kita diingatkan kembali bahwa kita ini bukan mesin yang biasanya menuruti keinginan demi keinginan. Melalui puasa Ramadan, kita patut bertanya, sudah pantaskah kita disebut sebagai manusia beragama yang peduli terhadap sesama? ●
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial. Agama juga jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari psikolog Gordon W Allport, yang membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik. Pertama, yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya.
Dia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya. Kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari.
Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang. Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggung jawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada ke senangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Oleh karena itu, Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mempunyai tanggung jawab besar untuk membentuk Indonesia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Karena itu, perlu untuk mengkaji ulang beberapa konsep keislaman bagi reformasi keberagamaan agar sesuai dengan Islam budaya yang indah, agar terbangunlah orkestra megah yang harmonis bagi wajah indah Indonesia yang kaya warna.
Salah satu metode yang sempurna untuk meng internalisasikan nilai-nilai beragama adalah puasa. Bukan tanpa alasan jika Allah memberikan waktu khusus bagi manusia yang sering kali tenggelam dengan kesibukan duniawinya untuk beristirahat sejenak saat Ramadan ini. Ritual sosial seperti berbagi antar sesama melalui zakat, infak, dan sedekah mesti dilaksanakan. Puasa itu menegaskan “tidak” karena kehidupan sehari-hari kita adalah mengekor pada “ya”. Sekurang-kurangnya mengendalikan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” di bandingkan “mengendalikan”.
Maka Ramadan menjadi sangat penting untuk melatih “tidak” itu. Bulan Ramadan jika kita melakoninya dengan sepenuh hati bisa membuat kita kembali menjadi manusia lagi. Kita diingatkan kembali bahwa kita ini bukan mesin yang biasanya menuruti keinginan demi keinginan. Melalui puasa Ramadan, kita patut bertanya, sudah pantaskah kita disebut sebagai manusia beragama yang peduli terhadap sesama? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar