Minggu, 12 Agustus 2012

Makna Ulang Mudik


Makna Ulang Mudik
Muhammad Mukhlisin ; Koordinator Umum Forum Kajian Sosial
dan Keagamaan Piramida Circle Ciputat Tangerang Selatan
SUARA KARYA,  10 Agustus 2012


Sejatinya mudik bukanlah sesuatu yang diwajibkan dalam agama. Tidak ada dalil dan perintah ulama untuk melakukannya. Tetapi, begitu banyak masyarakat yang rela untuk mengorbankan waktu, tenaga dan hartanya untuk melaksanakannya. Mudik memang fenomena masyarakat Indonesia yang unik. Fenomena serupa tidak dapat ditemukan di negara-negara lain.

Mudik secara harafiah lazimnya diartikan sebagai 'kembali'. Oleh kebanyakan masyarakat, kemudian mudik berkembang menjadi sebuah ritus sosial 'kembali ke kampung halaman' ketika Lebaran tiba.

Menurut budayawan Umar Kayam, mudik telah terjadi berabad-abad tahun lalu. Berawal dari tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Dalam tradisi masyarakat agraris memang kekuatan komunalitas seperti kekeluargaan dan gotong-royong begitu mengakar kuat. Sehingga, petani yang jauh dari sanak keluarga rutin melakukan mudik untuk meningkatkan semangat komunalitas tersebut.

Fenomena mudik menjadi trend menarik sejak kota-kota besar di Indonesia berkembang pesat awal 1970-an. Potensi ekonomi menjadikan kota-kota besar sebagai tujuan migrasi masyarakat pedesaan untuk mengadu nasib. Ketidakseimbangan pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan memunculkan gelombang urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Masyarakat urban ini kemudian melakukan mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti saat menjelang lebaran, natal dan tahun baru.

Jika ditelisik lebih jauh, mudik merupakan fenomena unik yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Umar Kayam menyebutkan bahwa mudik merupakan sebuah ritus yang rancu dan tidak jelas. Apakah fenomena ritus agama, sosial, atau budaya. 

Pasalnya, jika dipandang sebagai ritus agama, mudik dilakukan juga oleh orang-orang 
yang tidak taat beragama. Dilihat dari perspektif sosial, mudik tidak bisa dilepaskan dari tradisi Lebaran yang identik dengan agama. Dan, jika dilihat dari sudut pandang budaya, mudik pun menjadi ajang untuk memperlihatkan prestise dan kelas sosial.

Nilai Positif

Sejak dahulu mudik dijadikan sebagai wahana untuk kembali ke kampung halaman demi keberlangsungan tali silaturahim. Untuk melaksanakan hal tersebut, pemudik sampai rela berdesak-desakkan, antretiket, dan menjadi korban kemacetan transportasi yang sudah menjadi rutinitas tahunan. Tetapi, jika dianalisis lebih jauh, mudik mempunyai nilai-nilai luhur yang patut untuk dipertahankan.

Pertama, mudik menjadi sarana untuk memperkuat konsep spiritual yang telah terkikis oleh rasionalitas kemodernan perkotaan. Menurut Smith dan Feagin (1991), kota-kota besar berperan penting terhadap perkembangan dinamika sistem ekonomi kapitalis secara umum dan menjadi locus dari rasionalisasi. Dampaknya adalah kehidupan masyarakat berorientasi pada materi dan rasionalitas mengikis nilai-nilai normatif spiritual. 

Dalam hal ini, mudik akan menjadi sarana untuk menyegarkan kehausan spiritual tersebut serta merengkuh rangkaian wasiat dan nasihat dari sanak-saudara. Seperti mengutip Budayawan Emha Ainun Najib bahwa mudik adalah upaya memenuhi tuntutan sukma untuk bertemu dan berakrab-akrab dengan asal-usulnya.

Kedua, meningkatkan solidaritas dan tali silaturahim. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengemukakan bahwa mudik merupakan ritus unik untuk menyambut Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hari raya umat beragama Islam ini merupakan ajang untuk bersilaturahim dan bergumul dengan sanak-saudara dan handai taulan. Dengan menjalin kembali tali silaturahim yang mulai mengendor tersebut akan meningkatkan solidaritas dan semangat komunalitas.

Ketiga, meningkatkan etos dan motivasi. Seperti diungkapkan oleh Saunders (1995), mudik dapat dilihat sebagai bagian dari pemulihan energi positif. Hal tersebut bisa dipahami dengan rememorize perjuangan dan cita-cita hidup yang telah dikonsep di daerah yang kemudian akan dibawa ke kota. Nostalgia perjuangan hidup akan meningkatkan motivasi dan etos untuk menuju yang lebih baik.

Keempat, menggerakkan pemerataan perekonomian. Kuatnya motivasi masyarakat untuk melakukan prosesi mudik menimbulkan aliran perekonomian terutama di daerah. Mudik juga membuka peluang-peluang baru membangun perekonomian, baik yang berbasis daerah maupun nasional. Hal ini menjadi positif sebagai mode alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formalnya masih banyak kekurangan.

Pergeseran Makna

Pada prinsipnya mudik mempunyai nilai luhur yang positif, baik secara individu maupun semangat komunalitas. Tetapi, bukan berarti mudik hanya mengandung aspek positif semata, melainkan negatif juga. Kuatnya arus modernisasi dan gempuran kapitalisme berimbas pada pola fikir masyarakat yang semakin mengedepankan rasionalitas. Hal ini juga berimbas pada proses mudik yang dilakukan masyarakat. Masyarakat semakin kehilangan makna mudik yang sesungguhnya dan hanya bersuka cita tanpa ada bekasnya.

Imbas dari perubahan pola fikir dan makna mudik ini menimbulkan efek negatif yang berkelanjutan. Salah satunya adalah budaya individualis, hedonisme, konsumerisme dan lain-lain. Oleh sebab itu, tak jarang kita melihat masyarakat menghambur-hamburkan uang untuk proses mudik. Dan, mudik yang dilakukan hanya dimaknai sebagai proses untuk memperlihatkan prestise semata.

Terakhir, mudik bukan berarti rekreasi untuk mengisi liburan. Bukan juga untuk ajang pamer kekayaan dan kesuksesan. Tetapi, untuk meningkatkan semangat spiritualitas dan motivasi bekerja keras, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Selamat mudik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar