Makna Ulang
Mudik
Muhammad Mukhlisin ; Koordinator Umum Forum Kajian Sosial
dan Keagamaan Piramida Circle Ciputat Tangerang Selatan
dan Keagamaan Piramida Circle Ciputat Tangerang Selatan
SUARA
KARYA, 10 Agustus 2012
Sejatinya mudik bukanlah sesuatu yang diwajibkan dalam agama.
Tidak ada dalil dan perintah ulama untuk melakukannya. Tetapi, begitu banyak
masyarakat yang rela untuk mengorbankan waktu, tenaga dan hartanya untuk
melaksanakannya. Mudik memang fenomena masyarakat Indonesia yang unik. Fenomena
serupa tidak dapat ditemukan di negara-negara lain.
Mudik secara harafiah lazimnya diartikan sebagai 'kembali'. Oleh
kebanyakan masyarakat, kemudian mudik berkembang menjadi sebuah ritus sosial
'kembali ke kampung halaman' ketika Lebaran tiba.
Menurut budayawan Umar Kayam, mudik telah terjadi berabad-abad
tahun lalu. Berawal dari tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Dalam
tradisi masyarakat agraris memang kekuatan komunalitas seperti kekeluargaan dan
gotong-royong begitu mengakar kuat. Sehingga, petani yang jauh dari sanak
keluarga rutin melakukan mudik untuk meningkatkan semangat komunalitas
tersebut.
Fenomena mudik menjadi trend menarik sejak kota-kota besar di
Indonesia berkembang pesat awal 1970-an. Potensi ekonomi menjadikan kota-kota
besar sebagai tujuan migrasi masyarakat pedesaan untuk mengadu nasib.
Ketidakseimbangan pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan
memunculkan gelombang urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Masyarakat urban
ini kemudian melakukan mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti saat
menjelang lebaran, natal dan tahun baru.
Jika ditelisik lebih jauh, mudik merupakan fenomena unik yang
mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Umar Kayam menyebutkan bahwa
mudik merupakan sebuah ritus yang rancu dan tidak jelas. Apakah fenomena ritus
agama, sosial, atau budaya.
Pasalnya, jika dipandang sebagai ritus agama, mudik
dilakukan juga oleh orang-orang
yang tidak taat beragama. Dilihat dari
perspektif sosial, mudik tidak bisa dilepaskan dari tradisi Lebaran yang
identik dengan agama. Dan, jika dilihat dari sudut pandang budaya, mudik pun menjadi
ajang untuk memperlihatkan prestise dan kelas sosial.
Nilai Positif
Sejak dahulu mudik dijadikan sebagai
wahana untuk kembali ke kampung halaman demi keberlangsungan tali silaturahim.
Untuk melaksanakan hal tersebut, pemudik sampai rela berdesak-desakkan,
antretiket, dan menjadi korban kemacetan transportasi yang sudah menjadi
rutinitas tahunan. Tetapi, jika dianalisis lebih jauh, mudik mempunyai
nilai-nilai luhur yang patut untuk dipertahankan.
Pertama, mudik menjadi sarana untuk
memperkuat konsep spiritual yang telah terkikis oleh rasionalitas kemodernan
perkotaan. Menurut Smith dan Feagin (1991), kota-kota besar berperan penting
terhadap perkembangan dinamika sistem ekonomi kapitalis secara umum dan menjadi
locus dari rasionalisasi. Dampaknya adalah kehidupan masyarakat berorientasi
pada materi dan rasionalitas mengikis nilai-nilai normatif spiritual.
Dalam hal
ini, mudik akan menjadi sarana untuk menyegarkan kehausan spiritual tersebut
serta merengkuh rangkaian wasiat dan nasihat dari sanak-saudara. Seperti
mengutip Budayawan Emha Ainun Najib bahwa mudik adalah upaya memenuhi tuntutan
sukma untuk bertemu dan berakrab-akrab dengan asal-usulnya.
Kedua, meningkatkan solidaritas dan tali
silaturahim. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengemukakan bahwa
mudik merupakan ritus unik untuk menyambut Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Hari raya umat beragama Islam ini merupakan ajang untuk bersilaturahim dan
bergumul dengan sanak-saudara dan handai taulan. Dengan menjalin kembali tali
silaturahim yang mulai mengendor tersebut akan meningkatkan solidaritas dan
semangat komunalitas.
Ketiga, meningkatkan etos dan motivasi.
Seperti diungkapkan oleh Saunders (1995), mudik dapat dilihat sebagai bagian
dari pemulihan energi positif. Hal tersebut bisa dipahami dengan rememorize
perjuangan dan cita-cita hidup yang telah dikonsep di daerah yang kemudian akan
dibawa ke kota. Nostalgia perjuangan hidup akan meningkatkan motivasi dan etos
untuk menuju yang lebih baik.
Keempat, menggerakkan pemerataan
perekonomian. Kuatnya motivasi masyarakat untuk melakukan prosesi mudik
menimbulkan aliran perekonomian terutama di daerah. Mudik juga membuka
peluang-peluang baru membangun perekonomian, baik yang berbasis daerah maupun
nasional. Hal ini menjadi positif sebagai mode alternatif pemerataan
sosial-ekonomi yang secara formalnya masih banyak kekurangan.
Pergeseran Makna
Pada prinsipnya mudik mempunyai nilai
luhur yang positif, baik secara individu maupun semangat komunalitas. Tetapi,
bukan berarti mudik hanya mengandung aspek positif semata, melainkan negatif
juga. Kuatnya arus modernisasi dan gempuran kapitalisme berimbas pada pola
fikir masyarakat yang semakin mengedepankan rasionalitas. Hal ini juga berimbas
pada proses mudik yang dilakukan masyarakat. Masyarakat semakin kehilangan
makna mudik yang sesungguhnya dan hanya bersuka cita tanpa ada bekasnya.
Imbas dari perubahan pola fikir dan
makna mudik ini menimbulkan efek negatif yang berkelanjutan. Salah satunya
adalah budaya individualis, hedonisme, konsumerisme dan lain-lain. Oleh sebab
itu, tak jarang kita melihat masyarakat menghambur-hamburkan uang untuk proses
mudik. Dan, mudik yang dilakukan hanya dimaknai sebagai proses untuk
memperlihatkan prestise semata.
Terakhir, mudik bukan berarti rekreasi
untuk mengisi liburan. Bukan juga untuk ajang pamer kekayaan dan kesuksesan.
Tetapi, untuk meningkatkan semangat spiritualitas dan motivasi bekerja keras,
baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Selamat
mudik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar