Minggu, 12 Agustus 2012

Agar Puasa Tak Sia-Sia


Agar Puasa Tak Sia-Sia
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika di Universitas Utara Malaysia
JAWA POS,  09 Agustus 2012


SETELAH memasuki minggu kedua puasa, apa yang bisa kita renungkan untuk memeriksa kembali praktik yang juga telah diamalkan oleh umat Nabi-Nabi sebelumnya? Haruskah puasa hanya menyuguhkan pemandangan rutin ketika begitu banyak muslim tidak makan dan minum serta bagi mereka yang telah menikah tidak lagi berhubungan intim mulai terbit fajar hingga terbenam matahari? Adakah hiruk pikuk media elektronik dan cetak menghamburkan begitu banyak acara terkait bulan suci ini merupakan pertanda syiar yang subur?

Dua pertanyaan di atas adalah sebagian banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Tentu saja, pengertian puasa (shiyam) di atas sangat jamak diungkapkan karena kitab-kitab fikih mendefinisikan puasa sebagai usaha menahan diri untuk tidak mengasup makanan dan melakukan hubungan badan. Kalau takrif ini hanya dipahami secara verbal, tentu saja begitu banyak orang bisa melakukan. Tetapi, apabila lebih jauh direnungkan, pengekangan diri sejatinya merupakan kata kunci dalam menghayati pesan moral dari rukun Islam yang keempat ini. Ketika siang hari dilalui dengan baik, tetapi tidak berarti pada malam hari mereka bisa memuaskan kebutuhan biologis tanpa batas, demikian juga hari-hari di luar Ramadan.

Memang harus diakui, syiar puasa tampak memendar dengan kehadiran banyak program televisi, seperti sinetron, musik, dan ceramah, menyelusup di ruangan setiap rumah warga. Tetapi, adakah pesan-pesan yang disampaikan melalui media tersebut telah merembes pada perilaku mereka sehari-hari? Tampaknya, pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban ya atau tidak, tetapi melihat dengan kasatmata betapa keruwetan negeri ini dipicu oleh ketidakmampuan warganya menahan diri (imsak). Misalnya, kemacetan lalu lintas di kota-kota besar adalah kekenesan warganya yang tidak mau memanfaatkan moda angkutan umum dan lebih memilih mobil pribadi untuk menaikkan gengsi. Demikian pula, tawuran antarwarga kampung di ibu kota dan banyak pelosok negeri banyak dipicu ketidakberdayaan mereka kepada nafsu amarah sesaat, yang celakanya dicetuskan oleh persoalan sepele.

Masyarakat Sehat

Erich Fromm dalam The Sane Society (1955) menegaskan bahwa masyarakat yang terasing itu disebabkan mereka terperangkap pada robotisme. Manusia menjadi bagian dari mesin kapitalisme sehingga jiwanya kerontang. Pada gilirannya, harta yang berlimpah tak memberikan rasa tenteram. Kewajiban puasa sejatinya tidak melulu tentang amalan di siang hari, tetapi juga keutamaan di malam hari, seperti tarawih dan tadarus. Di sinilah para warga saling berjumpa dengan tetangga dan sejenak meluangkan waktu bercengkerama setelah salat malam bersama. Inilah waktunya warga menjalin hubungan batin dengan tetangga setelah banyak disandera oleh mesin.

Hadis Nabi yang menegaskan bahwa puasa itu membuat kita sehat selalu disampaikan di banyak tempat dan waktu selama bulan Ramadan. Jika merujuk kepada pengertian puasa secara epistemologis, tampak bahwa penekanan terhadap pengekangan hasrat biologis senantiasa menjadi pedoman sepanjang waktu. Tidak terbatas pada waktu puasa saja, justru hidup kita selama sebelas bulan sesudahnya harus mengandaikan pola makan yang sama. Tubuh kita mempunyai metabolisme yang harus dijaga agar penyakit tak mudah bersarang. Puasa berperan mengingatkan tubuh kita agar tak menjadi keranjang sampah dari produk makanan yang dijejalkan oleh kapitalisme.

Kalau diperhatikan secara seksama, puasa adalah salah satu cara bagi manusia untuk bisa mengalahkan hasrat tubuhnya dan tak dimanjakan dengan pemuasan kenikmatan badani tanpa henti. Kebutuhan dasar tubuh amatlah terbatas. Hanya iklanlah yang memanipulasi barang tertentu seakan-akan sesuatu yang harus dipenuhi. Belum lagi, pencitraan yang dibuat iklan tentang barang tertentu sebagai penanda status sosial sehingga begitu banyak orang menggantungkan harga dirinya kepada benda-benda. Aneh, ketika kitab suci menandaskan bahwa ketenangan (thuma'ninah ) itu lahir dari gerak hati yang menghadirkan ilahi, penganutnya justru berlomba-lomba membeli banyak barang untuk meraih kesentosaan.

Mungkin benar, produktivitas merupakan alat ukur paling utama dari kemajuan. Tak jarang banyak orang menjadikan puasa untuk helah tidak bekerja giat, sementara sebagian yang lain mencoba untuk menyangkal tuduhan bahwa puasa mengurangi produktivitas. Tentu, kita tak bisa mencegah orang untuk terus berusaha mengumpulkan harta sepanjang waktu. Kebutuhan sekarang menggunung. Harga barang-barang terus merangkak naik. Tapi, maukah puasa itu diletakkan dalam ikhtiar kita untuk menjaga jarak dari hasrat duniawi yang meledak-ledak? Bukankah tubuh kita sebenarnya tak banyak memerlukan asupan dan tak memerlukan hiasan? Hanya kitalah yang menjadikannya tempat untuk dihiasi pelbagai rupa barang sehingga kita terus-menerus menyiksa diri untuk bekerja siang malam.

Nah, puasa merupakan masa untuk menggenapi hakikat diri yang terdiri atas jiwa, bukan hanya raga. Pemuasaan terhadap kehendak raga selama sebelas bulan harus diturunkan pada titik yang seimbang dengan kebutuhan jiwa yang mungkin terabaikan karena desakan yang kuat dari tubuh untuk senantiasa dipenuhi. Dengan usaha inilah, kita akan menemukan keseimbangan pada bulan-bulan selanjutnya. Betapa pun kita mengumpulkan kekayaan setinggi langit, mulut kita tidak akan terus menganga. Sementara batin kita, sebagaimana diungkapkan oleh Mohammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, akan menang dengan senantiasa menghadirkan ilahi setiap detik. Harus diakui, momen puasa adalah peluang untuk membiasaan diri agar setiap dengusan napas kita mengembuskan kebesaran asma Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar