Prahara di
Tambang Kita
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset
Bidang Intermestic Affairs, LIPI
KOMPAS, 09 Agustus
2012
Seandainya Mozes Kilangin
masih hidup, entah apa yang ada di benaknya soal renegosiasi kontrak karya
Freeport, perusahaan tambang AS yang ingin memperpanjang eksploitasi tambang
tembaga, emas, dan perak di Grasberg dan Ertsberg, Papua, sampai 2041.
Pada 9 Agustus 1999, empat
hari sebelum Mozes meninggal, ia mengatakan kepada Dominggus A Mampioper,
wartawan yang mewawancarainya, ”Kini Freeport sudah masuk dan semua orang
dapat berkat, tetapi ada juga yang tidak memperoleh apa-apa, tetapi tujuan
kita agar masyarakat Amungme memperoleh manfaat besar kalau tambang dibuka”.
Saat itu Freeport baru
delapan tahun melakukan kontrak karya (KK) kedua pada 1991 yang memperluas
area kerjanya. Pada 2012, Freeport ingin memperpanjang KK yang akan berakhir
2021 menjadi 2041. Areanya juga akan diperluas hingga wilayah Nabire.
Freeport bukan hanya menambang bagian atas bumi, melainkan juga sampai ke
dalam perut bumi.
Mozes Kilangin, yang
namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional Timika, Papua,
sebenarnya seorang guru lokal di Akimuga. Ia bertindak sebagai negosiator dan
sekaligus penunjuk jalan bagi ekspedisi pertama Freeport di Bumi Amungsa pada
1960.
Antara Juli dan September 1960, Mozes mendampingi tim ekspedisi
Freeport pimpinan Forbes Wilson mendaki Gunung Yelsegel Ongopsegel (Ertsberg). Tim ekspedisi ini menempuh rute
Omoga menuju Belakama terus ke Tsinga
Jongkogama-Waa (Mile 68 sekarang)-Osekindi-Bayulkase
(Mile 74 sekarang). Ekspedisi yang berjalan kaki tersebut membawa bebatuan
sebanyak 30 karung sebagai sampel penelitian.
Dari contoh bebatuan
itulah akhirnya Forbes Wilson dan tim ekspedisinya mengetahui secara nyata,
betapa kaya wilayah pegunungan yang indah itu. Wilson mengabadikan ekspedisi
ke Ertsberg itu dalam bukunya Conquest
of the Copper Mountain (Penaklukan Gunung Tembaga). Kini, 62 tahun
kemudian, gunung indah itu sudah berwajah bopeng-bopeng dan banyak lubang
dalam menganga. Alam sekitarnya juga penuh dengan bahan-bahan kimia yang
tentunya memberikan dampak negatif bagi penduduk sekitarnya.
Memang ada manfaat dari
keberadaan Freeport bagi Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua,
Pemerintah Kabupaten Mimika, dan sebagian elite sipil, polisi, ketua adat,
serta militer di Jakarta dan Papua. Ada juga program-program tanggung jawab
sosial perusahaan yang dilakukan Freeport untuk tujuh suku yang terkena
dampak pertambangan tersebut, seperti pemberian beasiswa, pemberdayaan perempuan,
pemberdayaan ekonomi, sekolah asrama, dan pelatihan Newangkawi. Namun, apa
yang didapat penduduk setempat tak sebanding dengan penderitaan panjang yang
mereka alami sejak tambang mulai dibangun pada 1967.
Jika protes, mereka dicap
anggota atau pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika ada pembunuhan
atau penyerangan, OPM pasti jadi kambing hitam. Jika para buruh mogok,
seperti terjadi 15 September-17 Desember 2011, tak jarang para pekerja ini
juga dipandang sebagai penghambat pembangunan dan merugikan negara karena
berkurangnya pendapatan negara akibat pemogokan itu.
Aksi mogok 8.000 dari
23.000 karyawan Freeport itu telah memengaruhi produksi Freeport pada kuartal
I-2012, yaitu penurunan produksi tembaga dari 284 juta pound pada 2011
menjadi hanya 123 juta pound kuartal I-2012. Produksi emas juga turun dari
441.000 ounce pada 2011 menjadi hampir separuhnya, 229.000 ounce kuartal
I-2012.
Penerimaan negara juga menurun drastis karena kehilangan sekitar 6,7
juta dollar AS (Rp 57,3 miliar) per hari selama pemogokan berlangsung,
sedangkan potensi penurunan penjualan Freeport mencapai 19 juta dollar AS per
hari. Kegiatan Freeport di lahan 213.000 hektar itu menyumbang 68 persen
produk domestik regional bruto (PDRB) Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Timika.
Pada 2010, Freeport menyumbang 1,9 miliar dollar AS pajak dan 2,1 miliar
dollar AS berupa gaji dan upah karyawan.
Konsesi Ekonomi
Amat Mahal
Jika kita tilik
sejarahnya, kekayaan alam di area pertambangan Freeport itu sudah diketahui
para geolog Belanda sejak 1930-an. Ekspedisi oleh peneliti AS baru dilakukan
30 tahun kemudian. Ingat, tahun 1960, wilayah Papua masih di bawah kekuasaan
langsung Ratu Belanda. Dasar hukum PMA di Indonesia dimulai sejak Pemerintah
RI membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA), pembuka jalan bagi Freeport melakukan eksploitasi tambang di Irian
Barat. Satu hal yang menarik, UU itu ditandatangani Presiden Soekarno yang
saat itu sudah dalam tahanan rumah rezim Soeharto di Wisma Yaso, rumah kediaman
istri Bung Karno asal Jepang, Ratna Sari Dewi, yang kini menjadi Museum
Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala. Padahal, Bung Karno sebelumnya
sering meneriakkan semboyan ”Amerika
kita setrika, Inggris kita linggis” saat Konfrontasi dengan Malaysia dan
”Go to hell with your aid” kepada
AS saat perusahaan-perusahaan AS menawarkan pembangunan prasarana
transportasi asalkan Indonesia hanya mengimpor mobil produk AS.
Banyak analisis soal ini.
Aktivis LSM Australia, Robin Osborne, penulis buku Indonesia’s Secret War (Kibaran Sampari) yang diterbitkan oleh
Pandora Pr, Desember 1985, pernah mengatakan di dalam seminar ”Peace Study” di Sydney University,
Australia (1988), yang penulis hadiri, konsesi bagi Freeport yang beroperasi
di Irian Jaya (Papua) itu diberikan sebagai bayaran atas dukungan politik AS
terhadap Indonesia dalam persoalan Irian Barat.
Sri-Edi Swasono menerka
kemungkinan Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal
4, 5, 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dinyatakan tertutup bagi modal asing.
Bidang tersebut, yaitu pelabuhan, produksi, transmisi, distribusi listrik
untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api
umum, tenaga atom, dan media massa (Kompas, 2/1/2012). Sejarawan militer
mengatakan kepada penulis bahwa Bung Karno tidak bisa ditekan, jadi mungkin
ia diiming-imingi untuk mendapatkan kembali otoritas politiknya yang sudah
diambil Mayjen Soeharto sejak Bung Karno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret
1966, asalkan Presiden Soekarno mau menandatangani UU No 1/1967 itu.
Rezim Orde Baru yang
mengeluarkan PP No 20/1994 yang menjadi awal dominasi asing dan rezim-rezim
pada era Reformasi yang mengegolkan dan melaksanakan UU No 25/2007 tentang
Penanaman Modal yang menggelar karpet merah buat investasi asing karena tak
ada lagi pembedaan dengan investasi dalam negeri, bagaikan komprador asing
yang kian membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967.
Terlebih pada era Presiden SBY yang seakan selalu menerima apa saja
permintaan AS sejak Obama menjadi presiden. Fenomena Obama memang seakan
menyihir masyarakat Indonesia, termasuk kalangan kampus. Untungnya, saat
sebagian besar mahasiswa UI mengelu-elukan Obama saat berkunjung ke kampus UI
Depok akhir 2010, masih ada mahasiswa yang menggelar spanduk bertuliskan: ”Please no double standard Mr Obama, your
Freeport destroys our environment”.
Manfaat yang Tidak
Seimbang
Manfaat keberadaan
Freeport di tanah Papua bagi Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua terasa tak
seimbang dengan penerimaan Freeport dan permasalahan yang ditimbulkan PT
Freeport Indonesia (FI) pada kehidupan rakyat Papua. Per 31 Desember 2011
Freeport memiliki cadangan 119,7 miliar pound tembaga, 33,9 juta ounce emas,
330,3 juta ounce perak, dan 0,86 miliar pound kobalt. Sebanyak 95 persen
cadangan Freeport itu ada di tambang Grasberg, Papua.
Pada 20 Desember 2010,
cadangan tambang Grasberg 2.574.744 ton dengan kadar tembaga 0,98 persen,
emas 0,83 persen gram per ton (g/t atau part per million – ppm), dan perak
4,11 g/t. PT FI mampu memproses 200.000-250.000 ton bijih per hari. Tambang
terbuka Grasberg mengontribusi 75 persen, sedangkan tambang bawah tanah
sekitar 25 persen. Dari sisi saham, Freeport McMoran menguasai 90,64 saham PT
FI dan hanya 9,36 persen saham yang dimiliki Pemerintah Indonesia! Ini sangat
tak adil dan menyakitkan. Bandingkan saham negara Amerika Latin di mana
Freeport McMoran juga beroperasi yang mencapai 32 persen.
Dalam laporan keuangan
2010, PT FI menjual 1,2 miliar pound tembaga dengan harga rata-rata 3,69 per
pound atau dengan kurs Rp 9.000 setara Rp 39,42 triliun. Freeport juga
menjual 1,8 juta ounce emas dengan harga rata-rata 1.271 dollar AS per ounce
atau setara Rp 20,59 triliun. Jadi total penjualannya Rp 60,01 triliun. Itu
baru dari tembaga dan emas, belum mineral lain, seperti perak dan kobalt.
Satu hal yang mencengangkan, majalah Forbes menobatkan James R Moffet, bos
besar PT FI, salah satu dari sepuluh pria bergaji tertinggi di dunia: 48 juta
dollar AS atau sekitar Rp 432 miliar sepanjang 2006!
Namun, kerusakan
lingkungan sebagai dampak dari eksplorasi tambang sangatlah masif! Setiap
tahun Indonesia kehilangan 300.000 hektar hutan, belum lagi pencemaran
lingkungan akibat pembuangan tailing atau limbah tambang ke lembah Cartenz,
lembah Wanagon, dan Sungai Ajkwa. Secara khusus, Sungai Ajkwa mengalami
pendangkalan di beberapa titik, dari semula 50 meter, kini tinggal 5 meter.
Pada 2001, tailing itu mencapai laut Arafuru dan gradasi pencemaran lautnya
mencapai 10 kilometer dari garis pantai.
UU No 4/2009 soal Mineral
dan Batubara memerintahkan agar pengelolaan pertambangan minerba harus
berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan serta berpihak pada
kepentingan bangsa. Paling tidak ada enam isu strategis harus dipatuhi: luas
wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara,
kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban penggunaan
barang dan jasa dalam negeri.
Freeport selama ini selalu
berada di atas angin dalam renegosiasi KK. Perusahaan ini selalu mengusulkan
renegosiasi KK ketika ia ingin memperluas wilayah kerja dan memperpanjang KK.
Saat inilah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendesak Freeport agar
menaikkan royalti emas dari 1 persen menjadi 5-6 persen dan memaksa Freeport
memproses gumpalan mineral ini di Tanah Air dan bukan langsung dikirim ke
negara-negara pengimpor. Divestasi saham juga harus dilakukan agar negara
memiliki saham lebih besar dari yang dimiliki saat ini. Tanpa itu, pemerintah
hanyalah komprador asing yang selalu meluluskan kepentingan Freeport.
Kita tak ingin tambang
tembaga di Grasberg dan Etsberg jadi daerah konflik berkepanjangan seperti
terjadi dengan tambang Panguna di Bougainville, Papua Niugini, ketika Francis
Ona dan Bougainville Revolutionary Army angkat senjata pada 1989 dan baru
berakhir dengan Kesepakatan Damai pada 2005. Namun, kita juga tak ingin hanya
jadi penonton alat-alat pengeruk dan penggergaji bebatuan bekerja 24 jam
penuh, alat peledak berdentuman memecah bebatuan, truk- truk raksasa
berkapasitas 250-400 ton berseliweran di daerah tambang, pasir mineral
digelontorkan melalui pipa-pipa dari gunung ke pelabuhan, dan semua itu bukan
kita punya. Jangan sampai setelah KK pada 2041 berakhir, yang tersisa adalah
lubang-lubang besar menganga dan limbah beracun yang meluas di daratan,
sungai dan lautan, sementara Freeport lari membawa keuntungan ratusan triliun
rupiah! Kita tak ingin prahara datang silih berganti di tambang tembaga itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar