Ada “Sasrotomo”
di DPR?
Sri Palupi ; Ketua Institute
for Ecosoc Rights
KOMPAS, 09 Agustus
2012
Sastrotomo adalah bapak
kandung Nyai Ontosoroh, tokoh utama dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer. Sebagai bapak, Sastrotomo rela menjual anak gadisnya kepada
pejabat kolonial Belanda demi kekayaan dan jabatan sebagai juru bayar
perkebunan.
Perilaku seperti
Sastrotomo banyak kita jumpai di kalangan pejabat dan birokrat RI, pengurus
partai, pemilik dan pengelola korporasi, juga anggota DPR. Tidak heran kalau
di sektor migrasi tenaga kerja terdapat jutaan warga RI yang diperdagangkan
dengan modus penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebab,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri juga melegalkan perdagangan orang.
UU No 39/2004 itu kini
tengah direvisi DPR. Pada 5 Juli 2012, DPR mengesahkan RUU Perubahan atas UU
No 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU
PPILN) dan sekaligus mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut.
Bila membaca naskah
akademik, judul, dan konsiderans RUU PPILN yang dihasilkan DPR, serasa ada
harapan DPR benar-benar berkomitmen memperbaiki nasib TKI. Namun, harapan itu
sirna setelah membaca substansi RUU PPILN. Muncul dugaan, ada ”Sastrotomo” di
DPR.
Kehilangan Orientasi
Substansi RUU PPILN
merefleksikan tarik-menarik kepentingan banyak pihak yang terlibat langsung
atau tidak langsung dalam bisnis penempatan TKI. Tarik- menarik kepentingan
ini sedemikian terangnya sampaisampai DPR kehilangan orientasi dan tidak
jelas lagi kepentingan siapa yang hendak dilindungi. Ini terlihat dari
beberapa indikasi.
Pertama, substansi RUU
PPILN tidak nyambung dengan substansi naskah akademik yang seharusnya menjadi
acuan dalam merumuskan pasal-pasal perlindungan. Substansi naskah akademik
RUU PPILN memberikan gambaran yang cukup bagus terkait arah solusi terhadap
problem lemahnya perlindungan TKI. Kalau saja naskah akademik ini dijadikan
acuan, ada harapan revisi UU No 39/2004 akan mampu mengatasi karut-marut
pengurusan migrasi TKI. Sayangnya, perumusan pasal- pasal RUU PPILN terlepas
dari naskah akademiknya.
Kedua, penjelasan umum RUU
PPILN menegaskan bahwa peran perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri
diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dimulai dari masa
prapenempatan, penempatan, dan pascapenempatan. Pihak swasta hanya diberi
peran sebagai pelaksana penempatan, kecuali untuk pekerja Indonesia di luar
negeri sektor domestik. Namun, anehnya, tidak satu pun pasal dalam RUU PPILN
yang mengatur tentang penempatan pekerja Indonesia di luar negeri sektor
domestik. Padahal, mayoritas TKI bekerja di sektor domestik.
Ketiga, RUU PPILN
memperluas tugas dan kewenangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam perlindungan TKI, mulai dari tingkat
kabupaten sampai di luar negeri. Namun, perluasan tugas ini tidak disertai
pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antarlembaga.
Artinya, DPR bukan hanya
melanggengkan konflik antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja, melainkan
juga memperluas konflik. BNP2TKI bukan hanya akan berkonflik dengan
Kementerian Tenaga Kerja, tetapi juga dengan pemerintah daerah dan
Kementerian Luar Negeri. Perlindungan efektif, dengan demikian, akan sulit
terwujud. Apalagi RUU PPILN juga tidak mengatur larangan bagi pejabat publik
di pemerintah dan DPR untuk terlibat langsung atau tidak langsung dalam
bisnis penempatan TKI.
Keempat, cukup banyak
pasal yang rancu dan tidak jelas rumusannya sehingga menimbulkan salah atau
multitafsir. Salah satunya Pasal 23 Ayat (4), yang menyatakan: PPILN dalam
membuat perjanjian penempatan pekerja Indonesia di luar negeri wajib
mempersyaratkan pengguna lolos verifikasi oleh perwakilan Republik Indonesia
di negara penerima. Pasal ini bisa ditafsirkan bahwa pekerja sudah
menandatangani perjanjian kerja sebelum ada verifikasi terhadap pengguna.
Bila demikian, di mana letak perlindungan bagi kepentingan calon TKI?
Kelima, struktur dan
rumusan pasal-pasal perlindungan dalam RUU PPILN cenderung menyembunyikan
subyek penanggung jawab. Banyak hak TKI diakui, tetapi tidak jelas siapa
berkewajiban memenuhinya. Ada kegiatan tetapi tidak jelas siapa penanggung
jawabnya. Misalnya, dalam hal perekrutan calon TKI, RUU PPILN hanya
menyebutkan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab atas pendaftaran dan
pendataan TKI yang lolos dalam perekrutan dan seleksi. Lalu, siapa yang
bertanggung jawab dalam perekrutan calon TKI?
Alergi DPR
RUU PPILN mengakomodasi
kepentingan banyak pihak. Akibatnya, hal-hal mendasar yang menjadi prasyarat
terwujudnya perlindungan efektif bagi TKI dan keluarganya justru diabaikan.
Beberapa hal mendasar tersebut di antaranya perekrutan, pendidikan, sistem
pengawasan, regulasi terhadap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI),
penanganan kasus, dan peran serta masyarakat.
Dalam hal perekrutan, RUU
PPILN tidak tegas mengatur siapa penanggungjawabnya. Bila perekrutan tetap
diserahkan kepada lembaga bisnis, sulit diharapkan bahwa RUU PPILN akan
mengubah keadaan. Perekrutan ilegal dan perdagangan orang akan terus terjadi.
Apalagi tidak ada perbaikan dalam hal regulasi PJTKI menyangkut
kewarganegaraan pemiliknya, kapasitas dan integritas pengelolanya, dan
transparansi pengawasannya.
Dalam RUU PPILN,
pendidikan belum ditempatkan sebagai komponen penting dalam perlindungan TKI.
Pasal tentang pendidikan diselipkan di antara pasal-pasal yang lain.
Pendidikan juga masih diserahkan kepada lembaga bisnis dan lokasi
pelaksanaannya masih jauh dari domisili TKI di pelosok desa. Dapat dipastikan,
biaya pendidikan akan tetap tinggi dan hak TKI untuk mendapatkan pendidikan
berkualitas tetap tidak dijamin.
Salah satu kelemahan
sistem perlindungan TKI selama ini tidak adanya pengawasan efektif terhadap
perlindungan TKI, yang melibatkan masyarakat. Ironisnya, dalam penyusunan RUU
PPILN DPR justru alergi terhadap peran serta masyarakat.
DPR menggusur habis peran
serta masyarakat yang sangat minim diakui dalam UU No 39/ 2004. Tidak ada
mekanisme komplain bagi masyarakat yang dilanggar haknya, tidak ada mekanisme
penanganan kasus dan bantuan hukum bagi TKI korban pelanggaran HAM, dan tak
diakui hak masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang
merugikan TKI.
Akhir kata, ironis bahwa
DPR yang dipilih oleh rakyat justru alergi terhadap peran serta rakyat. Ini
pertanda ada ”Sastrotomo” di tubuh DPR yang siap mempertaruhkan jutaan nyawa
TKI. Bisa dipahami kalau pembahasan RUU PPILN akan sangat alot. Sebab,
”Sastrotomo” di tubuh DPR, partai, PJTKI, dan pemerintah tidak akan rela
kepentingannya diganggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar