Paradoks
Demokrasi
Yonky Karman ; Pengajar di
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 09 Agustus
2012
Anthony Giddens berbicara
tentang kejanggalan fenomena demokrasi di Barat (Runaway World, 1999).
Pemerintah percaya diri mempropagandakan gagasan demokrasi ke belahan dunia
lain dan menjadikannya tolok ukur kebijakan luar negeri.
Keruntuhan totalitarianisme
di Blok Timur dirayakan sebagai tamatnya dialektika sejarah dan kejayaan
demokrasi. Namun, rakyat di Barat justru dengan sadar tidak memakai hak
pilihnya dalam pemilu dan persentase golput terbilang tinggi. Rakyat sadar
bahwa politisi mereka akhirnya lebih memilih agenda partai daripada
memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. Paradoks demokrasi
juga tecermin dalam Pilkada DKI Jakarta putaran pertama belum lama berlalu.
Partisipasi warga dalam memilih ternyata tidak lebih baik daripada Pilkada
2007, meski calon pasangan meningkat tiga kali lipat.
Sekitar 2,3 juta (34
persen) warga Jakarta, mayoritas kelas bawah, menjadi golput dan persentase
ini jauh mengungguli perolehan suara pemenang pilkada putaran pertama.
Tingginya angka golput,
selain karena kisruh daftar pemilih tetap, juga karena apatisme warga bahwa
siapa saja yang menjadi gubernur Jakarta akan sama saja.
Butuh Pemimpin
Pujian dari Barat selama
ini bahwa Indonesia sukses berdemokrasi dalam kenyataannya barulah gelembung
demokrasi. Proses demokrasi belum berbanding lurus dengan kepemimpinan yang
mengantar rakyat meraih cita-cita adil sejahtera. Pemimpin terpilih nyatanya
hanyut dalam nikmat kekuasaan, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendiri
untuk sintas. Yang lemah secara ekonomi atau politik selalu menanggung
penderitaan karena negara abai.
Pemimpin tak tegas
mengarahkan ke mana rakyat harus bergerak. Proses demokrasi dibiarkan
bergerak ke mana saja sesuai dengan tarikan kepentingan yang lebih kuat,
apakah itu kekuatan kapitalisme ataupun massa primordial. Pemimpin diam saja
saat minoritas lemah mengalami tekanan dan kekerasan. Pemimpin tutup mata
dengan praktik birokrasi yang merugikan rakyat. Pemimpin hanya mengimbau saat
rakyat sudah menjadi korban birokrasi yang tak kompeten.
Itulah demokrasi tanpa
happy ending, tanpa kehadiran pemimpin demokratis yang berintegritas dan
memperjuangkan apa yang terbaik bagi demos
(rakyat). Pemimpin terobsesi kekuasaan (kratein). Sejatinya, demokrasi memerlukan pemimpin. Tanpa
pemimpin, khaoslah yang terjadi.
Meski terpilih oleh suara
mayoritas, esensi demokrasi bukan mayoritas melainkan respek atas
kemanusiaan. Dalam sejarah, demokrasi muncul sebagai penolakan terhadap
otoritarianisme penguasa (minoritas) yang memerintah rakyat (mayoritas)
berdasarkan legitimasi primordial (keturunan, agama). Rakyat pun hendak
diperintah oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri. Namun, demokrasi dapat
kehilangan esensi ketika mayoritas menindas minoritas seperti terjadi dengan
komunitas Muslim dari kelompok etnik Rohingya di Myanmar.
Pendangkalan Demokrasi
Proses pilkada di Tanah
Air terancam pendangkalan karena rakyat memilih bukan pemimpin yang terbaik,
melainkan yang disukai. Bisnis pencitraan pun berkembang pesat. Iklan politik
yang sering menghabiskan uang negara hanya memperlihatkan narsisisme politik.
Birokrasi pun identik dengan tim pemenangan dan pendukung petahana.
Demi mencari dukungan
suara dari pemilih, calon dalam pilkada tanpa segan-segan melontarkan isu-isu
yang berpotensi memecah-belah kesatuan bangsa. Demokrasi bergerak liar ketika
apa saja boleh dilempar ke ruang publik dengan alasan toh akhirnya rakyat
juga yang memilih.
Calon yang bermain dengan
politik pecah-belah seperti zaman kolonial memperlihatkan kualitas
kepemimpinan yang rendah dan demokrasi yang dangkal.
Seorang ibu sambil
tersenyum bercerita kepada saya bahwa dalam putaran pertama, suaminya memilih
pasangan A yang maju ke putaran kedua, tetapi dalam putaran kedua akan
memilih pasangan B sebab bisnisnya terkait minimarket. Begitu sempitnya cara
pikir kapitalis, jauh dari berpikir apa yang terbaik untuk masyarakat.
Idealnya, pemimpin yang
terpilih melalui proses demokratis akan memperkokoh basis hidup masyarakat
adil sejahtera. Namun, pemilu kita yang menghabiskan begitu banyak dana dan
energi masih sulit menghasilkan pemimpin demokrasi. Yang muncul adalah banyak
pemimpin yang diskriminatif memihak mayoritas (kuantitas ataupun kualitas)
dan meminggirkan minoritas (kuantitas ataupun kualitas).
Para pengusaha pun bermain
dalam demokrasi yang dangkal. Mereka ikut membiayai lembaga survei politik
untuk mendukung pemenangan calon tertentu. Lembaga survei yang merangkap
konsultan politik pun bias dalam menjalankan fungsi akademisnya. Namun,
pemilu demokratis bukan cuma soal prosedur tetapi juga kemaslahatan bangsa.
Kesatuan rakyat tidak
boleh dikorbankan. Kekayaan negeri tidak boleh digadaikan untuk pemodal. Apa
boleh buat, rakyat sendiri harus menentukan apakah ingin menjadi bagian yang
mendemokratisasi demokrasi atau ikut dalam pendangkalan demokrasi.
Kalah-menang dalam pemilu
sebenarnya soal kecil jika dibandingkan dengan semakin banyaknya rakyat kecil
yang tergusur dan kalahnya bangsa Indonesia dalam kancah persaingan global.
Tujuan akhir pemilu adalah
masyarakat yang lebih baik. Pemilu demokratis sejatinya pesta rakyat bukan
pesta politisi ataupun partai. Calon yang kalah pun harus berbesar hati
menerima kekalahannya karena dalam demokrasi rakyatlah yang terpenting.
Karena itu, rakyat harus mengawal jalannya proses demokrasi dan menolak
pendangkalan demokrasi. Biarlah cerita demokrasi ditutup dengan kehadiran
pemimpin demokrasi yang kompeten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar