Pita Merah Putih
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS,
14 Agustus 2012
Sahabat saya, Steve Budy, musisi jazz dan
penjual barang antik di Kopo, Bandung, Jawa Barat, meskipun apolitis, tetap
saja menyimak dengan saksama ketika saya mengatakan politik Indonesia seperti
barang antik. Orientasi masyarakat cenderung kembali ke masa lalu. Mereka lebih
memuja masa silam sebagai zaman normal. Tidak mengherankan jika kini masih
banyak politisi senior yang berkehendak untuk maju menjadi calon presiden pada
Pemilu 2014.
Sehubungan dengan hal tersebut, terlepas dari
kontroversi yang ada, penulis hormat kepada Taufiq Kiemas. Dia selalu membuat
terobosan dan mencoba membelah kebekuan politik. Tanpa canggung, dia menyatakan
kini saatnya yang muda tampil. Para senior diharapkan memberikan jalan bagi
generasi politisi baru. Sebelumnya, dia juga menerobos kejumudan politik dengan
melontarkan gagasan sosialisasi empat pilar (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, dan NKRI). Dengan landasan itu, meminjam istilah Bung Hatta,
seharusnya setiap orang merasa bahagia.
Kini Republik telah berusia 67 tahun dan kita
belum merasa bahagia. Kehidupan adil dan sejahtera di seberang jembatan emas
kemerdekaan seperti dibayangkan para bapak bangsa belum mewujud. Kemiskinan,
pengangguran, dan rendahnya pendidikan masih membelit bangsa. Dengan demikian,
rekonstruksi makna kebangsaan oleh kebanyakan rakyat bisa jadi sangat
sederhana, yaitu menjadi orang Indonesia berarti punya pekerjaan, bisa
menyekolahkan anak, dan kalau sakit bisa berobat.
Makna kebangsaan seperti itu seharusnya mudah
dicapai melalui pintu demokrasi. Indonesia yang demokratis seharusnya juga
Indonesia yang semua prosedur politiknya bisa dipakai untuk memperjuangkan
gagasan dan cita-cita politik keadilan. Ia bukan sekadar prosedural, karnaval
politik nasional, dan pemerataan basis kekuasaan partai politik seperti
sekarang.
Jika mau jujur, Indonesia saat ini adalah
Indonesia yang menjauh dari ide besar, keberanian, dan ketangguhan para pejuang
kemerdekaan. Dalam bidang politik, sulit untuk secara gagah berani mengatakan
Tanah Air ini berdaulat. Jangankan untuk masalah-masalah strategis, menyangkut
kesepakatan multilateral ataupun hubungan bilateral, untuk masalah sepele,
seperti figur calon presiden ataupun mekanisme musyawarah mufakat, sikap elite
kita sering kali seperti baladewa ilang gapite (hilang keluhurannya).
Mereka mudah goyah apabila ada orang asing,
terutama dari negara-negara maju, memprotes figur calon presiden yang mungkin
tidak ramah terhadap mereka dan diperkirakan akan merugikan kepentingannya
apabila tokoh itu terpilih menjadi presiden. Isu apa pun akan dilekatkan pada
figur itu demi menumbuhkan prasangka dan menggelindingnya penolakan masif dari
masyarakat. Seakan-akan pintu kebajikan politik bagi tokoh itu sudah berakhir.
Kita pun lebih percaya dengan argumen bahwa one man one vote dan the winner takes all adalah opsi terbaik
dalam sistem demokrasi dibandingkan dengan keluhuran musyawarah mufakat.
Padahal, sebagai bangsa majemuk, Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang
terbentuk dari kaum minoritas yang terbelah-belah di dalamnya (segmented minorities). Di sini,
musyawarah mufakat merupakan kekayaan purba yang menjaga bangsa ini hidup
rukun. Jika mekanisme itu dihancurkan, bisa dipastikan kedaulatan politik kita
juga goyah.
Kedaulatan politik juga tidak mungkin
terwujud jika kemandirian ekonomi absen dari perikehidupan bangsa dan negara.
Bahkan, untuk satu indikator saja, pangan, misalnya, jika Republik tidak
mandiri dalam hal pangan, kedaulatan politiknya bisa dipastikan keropos.
Omong kosong kedaulatan politik bisa
dipertahankan apabila Indonesia tiap tahun membutuhkan (mengimpor) 200.000
sapi, 40 persen kebutuhan gula nasional, 50 persen kebutuhan garam, 70 persen
kedelai, dan 90 persen kebutuhan susu. Mustahil kedaulatan politik bisa ditegakkan
apabila bangsa ini sebenarnya sudah masuk kategori terancam krisis pangan.
Dengan keroposnya kedaulatan politik dan
kemandirian ekonomi dewasa ini, adalah kesadaran palsu jika ada yang mengatakan
bahwa kebudayaan Indonesia sekarang adalah penuh kepribadian. Sebuah
kebudayaan, apalagi peradaban, tidak akan pernah berkepribadian jika tidak
ditopang oleh kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi. Itulah konsepsi
cerdas Bung Karno. Dengan demikian, Trisakti dapat dipandang sebagai pita merah
putih yang tersemat di hati setiap anak bangsa.
Tanpa berdaulat secara politik, mandiri
secara ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan, sejatinya Indonesia
belum utuh sebagai bangsa merdeka. Menurut saya, dalam konstruksi masyarakat
Indonesia yang paternalistis dan berpola melingkar seperti obat nyamuk bakar,
tidak tegaknya Trisakti saat ini hanya bisa didobrak oleh seorang pemimpin yang
efektif. Figur inilah yang perlu dicari bersama di antara kekumuhan partai.
Secara simbolik, almarhum Franky Sahilatua menggambarkan
figur itu sebagai pemompa optimisme publik. Ia berkarakter ”pandita” dan mampu
memobilisasi rakyat untuk mengikatkan pita merah putih di pohon-pohon di
sekitar mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar