Pertumbuhan yang
Tersandera
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
KOMPAS,
14 Agustus 2012
Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 6,4
persen pada triwulan II-2012. Angka ini tentu cukup mengesankan. Sebab,
kemerosotan pertumbuhan ekonomi secara signifikan terjadi pada seluruh negara
di dunia, tanpa kecuali.
Raksasa ekonomi China merosot drastis menjadi
tumbuh 7,6 persen pada periode yang sama, India hanya tumbuh 5,3 persen
(triwulan I), Thailand bahkan mengalami stagnasi (pertumbuhan nol persen) pada
triwulan I. Malaysia tumbuh 4,7 persen (triwulan I), Singapura hanya tumbuh 1,9
persen (triwulan II). Di kalangan perekonomian-perekonomian yang sedang
bertumbuh (emerging markets) di Asia, Indonesia kini menempati posisi kedua
dalam hal pertumbuhan ekonomi di bawah China, tetapi menyalip India.
Pencapaian ini tentunya terkait dengan upaya
pengendalian inflasi yang cukup baik (year
on year 4,56 persen, sedangkan inflasi Januari-Juli sebesar 2,5 persen).
Industri perbankan juga melanjutkan tren positif, yang ditunjukkan dengan
ekspansi kredit yang mencapai 29 persen. Kontributor terbesar adalah permintaan
barang dan jasa di pasar domestik yang masih dominan dalam menyumbang produk
domestik bruto (PDB). Sektor ini mencapai Rp 2.000 triliun pada triwulan II
sehingga pada akhir 2012 PDB Indonesia diperkirakan mencapai Rp 8.000 triliun
(ekuivalen 850 miliar dollar AS) atau peringkat ke-16 dunia, satu strip di atas
Belanda.
Namun, tunggu dulu. Kinerja tersebut
sebenarnya tidak aman. Ke depan, pada semester kedua ini, dampak krisis zona
euro akan lebih terasa. Krisis ekonomi global kali ini memang tidak bisa
dipandang enteng. Untuk pertama kalinya sejak 1998, dana masuk ke China lebih
rendah daripada dana keluar. Akibatnya, cadangan devisanya menurun hingga 11,8
miliar dollar AS (The Economist, 4-10
Agustus 2012). Sebagai perbandingan, cadangan devisa Indonesia pernah
mencapai 124 miliar dollar AS (Juli 2011), tetapi kini meluncur turun ke 106
miliar dollar AS.
Bagi Indonesia, tekanan yang paling besar
memang terjadi pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Defisit
perdagangan bulan Juli 2012, bukannya menurun dibandingkan dua bulan
sebelumnya, malah melesat cepat sekali. Inilah rekor defisit perdagangan
terburuk dalam sejarah perekonomian kita: 1,32 miliar dollar AS. Sebelumnya
sudah terjadi defisit 641 juta dollar AS (April) dan 486 juta dollar AS (Mei).
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir biasanya kita selalu menikmati surplus
mulai dari 1,5 miliar dollar AS hingga 2 miliar dollar AS per bulan.
Kita biasanya mengomentari tertekannya neraca
perdagangan dengan usul agar pemerintah dan swasta lebih giat melakukan
penetrasi pasar, tidak cuma pasar tradisional, tetapi juga ke wilayah baru yang
belum terjamah, seperti Amerika Latin dan Afrika. Namun, masalahnya, pihak yang
terkena krisis, seperti zona euro, kemudian eksportir raksasa China pun sudah
mencanangkan tekad yang sama, yakni menerobos pasar di wilayah tersebut. Apakah
kita cukup kompetitif?
Upaya mencari pasar baru oleh para eksportir
silakan terus dilanjutkan. Namun, kita perlu mencermati kembali, apa penyebab
pembengkakan defisit perdagangan kita, terutama Juli 2012? Ternyata, sumber
terbesarnya berasal dari perdagangan minyak dan gas. Pada sisi komoditas gas,
neraca perdagangan kita memang mencatat surplus cukup besar 1,47 miliar dollar
AS. Namun, pada sisi komoditas minyak, perdagangan kita menderita defisit cukup
parah 2,11 miliar dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan migas mengalami
defisit 564 juta dollar AS.
Mengapa impor minyak kita besar? Selain
karena harga minyak dunia akhir-akhir ini cenderung tetap tinggi (harga minyak
jenis West Texas Intermediate di atas
90 dollar AS, sedangkan harga minyak jenis Brent atau North Sea di atas 100
dollar AS per barrel), volume impor kita juga naik.
Sekadar mengingatkan, Indonesia adalah
produsen minyak dengan kapasitas 930.000 barrel sehari, sementara konsumsinya
1,3 juta barrel sehari. Karena minyak mentah Indonesia termasuk berkualitas
baik, sebagian produksi kita diekspor ke luar negeri. Harga jual minyak mentah
Indonesia (Indonesian crude price/ICP)
kira-kira setara harga minyak Brent, jenis termahal di dunia.
Indonesia memanfaatkan momentum kenaikan
harga minyak ini untuk terus mengekspor sebagian produksinya. Namun,
konsekuensinya, Indonesia harus mengimpor jenis minyak yang kualitasnya lebih
rendah, yang kemudian diolah menjadi BBM bersubsidi yang berharga Rp 4.500 per
liter. Karena kuota penjualan BBM bersubsidi terus dilampaui dan pemerintah tak
bisa mengendalikannya, impor minyak mentah pun melejit luar biasa sehingga
defisit perdagangan melonjak.
Karena persoalan ini sifatnya struktural,
saya menduga defisit perdagangan akan terus terjadi hingga akhir 2012. Jujur
saja, kita cukup khawatir dengan neraca perdagangan Januari-Juni 2012 yang
hanya menyisakan surplus tipis sekali 476 juta dollar AS. Sangat boleh jadi
pada akhir 2012 kita tetap membukukan defisit perdagangan. Padahal, dalam
beberapa tahun terakhir, kita selalu mencatat surplus perdagangan minimal 20
miliar dollar AS.
Melonjaknya konsumsi BBM tidak saja melukai
neraca perdagangan, tetapi juga mencederai APBN. Dari volume APBN 2012 sekitar
Rp 1.400 triliun bakal terjadi ”pendarahan” untuk subsidi energi sebesar Rp 300
triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 200 triliun dan subsidi listrik Rp
100 triliun. Pemerintah sebenarnya hanya mengizinkan subsidi listrik Rp 65
triliun 2012, tetapi realisasinya akan tembus Rp 100 triliun. Jika ke depan tak
ada langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi listrik, skenario terburuk
yang dibuat Kementerian Keuangan dan PLN adalah subsidi bakal mencapai Rp 120
triliun-Rp 130 triliun setahun. Sungguh beban fiskal yang luar biasa berat.
Karena itu, pemerintah dan DPR harus segera
memiliki sikap, bagaimana cara efektif untuk mengendalikan konsumsi energi
sehingga subsidi BBM dan listrik tetap terkontrol? Sekadar mengandalkan upaya
persuasi di mana Presiden Yudhoyono memberikan imbauan kepada rakyat dan
instansi pemerintah untuk berhemat jelas tidak berhasil. Imbauan saja terlalu
mudah diabaikan rakyat. Harus ada cara lain yang lebih bersifat ”memaksa”.
Caranya adalah menaikkan harga BBM dan tarif
listrik sampai batas tertentu yang terjangkau (affordable). Karena opsi ini sudah ditutup tahun ini, yang paling
masuk akal adalah memasukkannya pada RAPBN 2013. Bahwa pemerintah peduli dengan
daya beli masyarakat sehingga tidak menaikkan harga BBM pada 2012, itu adalah
sebuah keniscayaan. Namun, kuota konsumsi BBM bersubsidi dan subsidi listrik
sudah dilanggar adalah hal yang harus diwaspadai. Selain menyebabkan defisit
perdagangan, subsidi energi yang sampai Rp 300 triliun sudah terlalu besar.
Sebagai perbandingan, belanja infrastruktur 2012 diperkirakan hanya Rp 150
triliun, maksimal Rp 170 triliun.
Tahun 2013, pemerintah menargetkan belanja
infrastruktur Rp 200 triliun. Namun, angka ini hanya akan menjadi fatamorgana
jika subsidi energi tidak berhasil ditekan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi
6,3 persen pada semester I- 2012 akan sulit dipertahankan pada
semester-semester berikutnya karena ”tersandera” membengkaknya subsidi energi
yang mengganggu neraca perdagangan dan stimulus fiskal. Karena itu, kemampuan
mengendalikan subsidi energi akan menjadi isu krusial untuk mempertahankan
momentum pertumbuhan ekonomi kita. Nanti akan kita lihat, bagaimana pemerintah
menyikapi masalah ini melalui pidato presiden mengenai RAPBN 2013 menjelang
hari kemerdekaan akhir pekan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar