Dasar Dasar
Kegagalan Kita di Olimpiade
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
SINDO,
14 Agustus 2012
Olimpiade
London 2012 akhirnya usai sudah. Peristiwa olahraga terbesar di dunia yang
berlangsung empat tahun sekali itu menghasilkan banyak kejutan dan perkembangan
luar biasa, sebagaimana biasa olimpiade-olimpiade sebelumnya.
Usain
Bolt, pelari cepat dari negeri kecil Jamaika, menjadi legenda baru dengan
memenangkan secara beruntun tiga medali emas di nomor-nomor yang menjadi
spesialisasinya. Tak ada tokoh besar mana pun dalam sejarah atletik yang pernah
melakukannya. Yang sangat luar biasa adalah perenang Amerika Serikat, Michael
Phelps, di usia baru 27 tahun, sudah menjadi legenda hidup terbesar, menjadi
olimpian dengan medali terbanyak sepanjang sejarah ajang olahraga itu
diselenggarakan, 18 medali emas dari total 22 medali yang berkalung di
lehernya.
Negeri Islam pun mencatat sejarah baru: Arab Saudi, Qatar, dan Brunei untuk pertama kalinya mengirim atlet wanitanya ke ajang itu. Dalam kompetisi penuh rekor, keringat–bahkan darah—, tawa, dan air mata itu, akhirnya Amerika Serikat (AS) berhasil merebut kembali kejayaannya, menjadi juara umum yang empat tahun lalu direnggut oleh raksasa baru China. China pun menunjukkan keperkasaannya sebagai negara besar, menjadi pesaing satu-satunya bagi AS.
Meninggalkan 200 lebih negara lain di belakang seakan tak berdaya bahkan untuk mendekati kedua negara adidaya itu. Inggris, tuan rumah, betapa pun ia berhasil meraih medali emas terbanyak dalam sejarah keikutsertaannya di olimpiade, bahkan jauh ada di belakang lintasan persaingan dua negara di atas.
Lalu di mana Indonesia? Negeri keempat terbesar di dunia dalam jumlah penduduk, memiliki kekayaan alam dan budaya yang membuat dunia berdecak kagum sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan pertama di dunia, yang mengilhami dan mendirikan gerakan Nonblok, yang pernah mengusir Amerika Serikat dengan sebuah umpatan “Go to hell with your aid!”, yang…tak perlu diperpanjang lagi.
Seberapa pun panjang daftar itu, kita hanya akan menjawabnya, ia tidak ada di “lima besar”, tidak ada di “sepuluh besar”, bahkan tidak di dua puluh,tiga puluh besar…lima puluh? Di mana? Saya tidak tahu. Bukan karena malu untuk menjawab yang sebenarnya. Bukan juga malas mengurut 204 nama negara. Kita semua tahu. Kita tahu, puluhan negara yang jauh lebih kecil, dalam semua ukuran, dibanding negeri tercinta ini,berada di atas bahkan jauh di atas negeri ini.
Kita pun tahu, kita telah kehilangan prestasi beberapa cabang yang dahulu pernah membuat kita bangga. Kita pun tidak mengerti, apa yang selama ini telah dikerjakan oleh KONI, federasi atau persatuan olahraga, pelatih maupun atletnya. Lebih kita tidak mengerti, apa yang telah dikerjakan menteri pemuda dan olahraga, di dua masa kekuasaan pemerintahan sby ini. Tampaknya mereka tidak berbuat apa-apa.
Setidaknya, kita tahu, mereka lebih canggih beretorika, atau bahkan menggelapkan uang negara. Bukan prestasi olahraga, bukan kebanggaan dan pujian yang mereka hasilkan.Apa pun kata menteri dan aparatusnya, rakyat hanya peduli: prestasi, hasil akhir kerja mereka.Apa pun kiat dan siasat mereka untuk itu.
Bangsa ini hanya membutuhkan prestasi, kebanggaan, pulihnya rasa percaya diri yang pupus cepat belakangan ini. Sayang, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah uang publik, yang sudah diabdikan untuk kerja mereka, seperti habis menguap tak membekaskan apa-apa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ke Mana Pemerintah?
Sejak diselenggarakan di masa kuno, sebagai sebuah pesta untuk menghargai Zeus, olimpiade di selenggarakan di Kota Olympia,Yunani, sejak abad 8 SM, untuk mencari siapa manusia yang paling cepat,paling tinggi,dan paling kuat (citius, altius, fortius). Biarpun ada sindiran di balik ajang ini—yang justru tertuju pada Zeus—di mana manusia seperti hendak mencapai kapasitas dewa, semua itu dilakukan dengan semangat sportif yang tinggi.
Sportivitas untuk membuktikan kapasitas manusia yang sesungguhnya karena kepura- puraan, tipu, atau dusta sama sekali tak berguna dalam usaha manusia menjadi dewa. Apa pun sindiran dan ironi yang ada dalam olimpiade, inilah ajang yang jauh lebih berbudaya, ketimbang misalnya ajang keperkasaan manusia lainnya, Gladiator, yang dilaksanakan kolonialis Romawi di masa berikutnya.
Tak mengherankan dunia segera menyambut, mendukung, dan mengikutinya, ketika olimpiade modern diselenggarakan kembali pada 1896 atas usaha Pierre de Coubertin, seorang Baron dari Prancis. Betapapun tiga kali ia batal diselenggarakan karena Perang Dunia (1914, 1940, 1944) dan mengalami boikot besar-besaran pada 1980 dan 1984.
Olimpiade,dalam usia rentanya 116 tahun, tetap menjadi ukuran bagi siapa pun bangsa dunia, bukan saja tentang eksistensi atau keberadaannya, melainkan juga tentang kebesaran bangsa dan budaya yang dimilikinya, tentang prestise dan dignity, tentang kebecusan pemerintah yang mengurus negaranya.Tak ada negara atau bangsa mana pun yang menganggap remeh atau enteng tentang hal itu.
Semua elemen bangsa akan bergerak untuk ikut menyukseskan prestasi atlet-atletnya di ajang dahsyat itu. Begitu jugakah di negeri ini? Begitu jugakah para elite yang mengemban tanggung jawab utama untuk itu? Kita cemas. Cemas jawaban untuk itu adalah negatif. Ketika kita menjadi saksi, federasi olahraga kita— seperti PSSI—konflik tiada habisnya, hampir tidak peduli dengan atletnya. Atlet bahkan dijadikan pion atau arsenal dalam konflik itu. KONI tidak bisa berbuat apa-apa.
Menpora seperti kehilangan akal dan upaya.Tak ada program cerdas atau terobosan untuk mengatasi kericuhan, mempertahankan, apalagi meningkatkan prestasi atlet kita. Bisa jadi lantaran jabatan menpora tidak diberikan kepada mereka yang memang ahli dan hidup mati untuk olahraga, tapi sekadar untuk balas-budi politik, atau keranjang tempat “membuang” siapa pun yang sebenarnya belum pantas menjadi menteri.
Bisa jadi juga karena organisasi-organisasi cabang olahraga kita menjadi epigon dari tradisi lama sejak Orde Baru, dimana umumnya pejabat, petinggi militer, atau orang kaya yang selalu menjadi pimpinan organisasi olahraga. Kenyataan ini menafikan bahkan seperti menghina mereka yang seumur hidupnya ia abdikan untuk olahraga, entah sebagai atlet, manajer, pelatih, pengamat, atau akademisi.
Tubuh, Jiwa, dan Kecerdasan
Tidak sesuai dengan nama genre-nya, olahraga, kegiatan kodrati manusia ini, sebenarnya tidak hanya bersangkutan dengan tubuh atau raga. Terlebih di masa modern, tujuan dasar dan tantangan dari olimpiade klasik sudah sangat berubah. Ketinggian, kecepatan, dan keperkasaan memang ditunjukkan secara nyata oleh tubuh,namun tubuh itu tidak akan bisa berbuat banyak, apalagi dalam kompetisi yang kian ketat dan panas sekarang ini, tanpa dilengkapi dengan mental dan akal.
Cabang olahraga mana pun mesti menyadari, bakat fisik akan menjadi prestasi atau setidaknya pesaing tangguh bila ia dilengkapi dengan kecerdasan dan jiwa yang kuat. Inilah tiga faktor penentu. Mungkin banyak tubuh berbakat dari 237 manusia di negeri ini. Tapi, apakah mereka cukup cerdas? Ini sangat berkaitan dengan kebecusan negara dalam menjalankan program pendidikan dan pengajaran mereka.
Tubuh berbakat akan sia-sia jika sejak kecil mereka tidak dicerdaskan oleh program pemerintah. Kalaupun ada sebagian kecil dari atlet kita yang bertubuh penuh bakat dan kecerdasan mencukupi, tapi jika jiwa sebagai faktor ketiga lemah, semua juga akan sia-sia. Sekali lagi, bukan hanya atlet yang bisa disalahkan dalam hal ini.
Bagaimana mereka bisa disalahkan bila mereka berkali-kali kecewa akibat ketidakbecusan para pemimpin organisasi mereka? Mereka berkali-kali kecewa dengan para pemimpinnya yang terlalu sering menipu,memanipulasi, dan mengorupsi hak mereka? Bagaimana mereka bisa berbangga pada negara yang diurus seperti itu? Faktor penting lain soal jiwa atlet: pamrih material yang kian kuat dalam olahraga yang esensinya amatir ini.
Faktor pamrih ini harus diakui menjadi salah satu motif terkuat bagi seorang atlet. Dalam soal materi dan fasilitas, seorang atlet seperti tidak mau kalah dengan selebritas atau petinggi negara. Imbalan uang kadang-kadang begitu mengejutkan bagi seorang amatir. Membuat beberapa profesi lain yang juga bekerja untuk kemuliaan bangsa (seperti peneliti, peserta olimpiade ilmu, seniman, pekerja budaya, aktivis sosial) seakan ternafikan bahkan terhina.
Sudah saatnya atlet olahraga menggeser orientasi material yang dihela oleh sikap hidup yang materialistis dan hedonis itu, yang sangat menjebak dan memanipulasi itu. Atlet Indonesia selaiknya melihat kehormatan bangsa sebagai motif pertama, berkeringat, berdarah, bahkan bila perlu membuang jiwa untuk itu. Ajang seperti olimpiade adalah semacam medan perang, di mana dahulu para pahlawan dan bapak bangsa kita berjuang mempertahankan kedaulatan dan dignity kita.
Para seniman, pekerja budaya, periset, atau ilmuwan sangat ikhlas tidak mendapat perhatian pemerintah atau pengakuan publik asal para atlet kita berjuang habishabisan membela lambanglambang negara ini. Semua— bersama seluruh rakyat—akan berdiri, memberi salute dan standing ovation untuk prestasi olahraga.
Percayalah, penghargaan itu jauh lebih berharga, jauh lebih bermakna, dibanding semua bentuk materi. Materi akan segera habis.Tapi tidak kehormatan, ia abadi. Juga percayalah, wahai atletku, prestasi dunia akan memberimu ganjaran materi tanpa kau minta. Jayalah atlet Indonesia. ●
Negeri Islam pun mencatat sejarah baru: Arab Saudi, Qatar, dan Brunei untuk pertama kalinya mengirim atlet wanitanya ke ajang itu. Dalam kompetisi penuh rekor, keringat–bahkan darah—, tawa, dan air mata itu, akhirnya Amerika Serikat (AS) berhasil merebut kembali kejayaannya, menjadi juara umum yang empat tahun lalu direnggut oleh raksasa baru China. China pun menunjukkan keperkasaannya sebagai negara besar, menjadi pesaing satu-satunya bagi AS.
Meninggalkan 200 lebih negara lain di belakang seakan tak berdaya bahkan untuk mendekati kedua negara adidaya itu. Inggris, tuan rumah, betapa pun ia berhasil meraih medali emas terbanyak dalam sejarah keikutsertaannya di olimpiade, bahkan jauh ada di belakang lintasan persaingan dua negara di atas.
Lalu di mana Indonesia? Negeri keempat terbesar di dunia dalam jumlah penduduk, memiliki kekayaan alam dan budaya yang membuat dunia berdecak kagum sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan pertama di dunia, yang mengilhami dan mendirikan gerakan Nonblok, yang pernah mengusir Amerika Serikat dengan sebuah umpatan “Go to hell with your aid!”, yang…tak perlu diperpanjang lagi.
Seberapa pun panjang daftar itu, kita hanya akan menjawabnya, ia tidak ada di “lima besar”, tidak ada di “sepuluh besar”, bahkan tidak di dua puluh,tiga puluh besar…lima puluh? Di mana? Saya tidak tahu. Bukan karena malu untuk menjawab yang sebenarnya. Bukan juga malas mengurut 204 nama negara. Kita semua tahu. Kita tahu, puluhan negara yang jauh lebih kecil, dalam semua ukuran, dibanding negeri tercinta ini,berada di atas bahkan jauh di atas negeri ini.
Kita pun tahu, kita telah kehilangan prestasi beberapa cabang yang dahulu pernah membuat kita bangga. Kita pun tidak mengerti, apa yang selama ini telah dikerjakan oleh KONI, federasi atau persatuan olahraga, pelatih maupun atletnya. Lebih kita tidak mengerti, apa yang telah dikerjakan menteri pemuda dan olahraga, di dua masa kekuasaan pemerintahan sby ini. Tampaknya mereka tidak berbuat apa-apa.
Setidaknya, kita tahu, mereka lebih canggih beretorika, atau bahkan menggelapkan uang negara. Bukan prestasi olahraga, bukan kebanggaan dan pujian yang mereka hasilkan.Apa pun kata menteri dan aparatusnya, rakyat hanya peduli: prestasi, hasil akhir kerja mereka.Apa pun kiat dan siasat mereka untuk itu.
Bangsa ini hanya membutuhkan prestasi, kebanggaan, pulihnya rasa percaya diri yang pupus cepat belakangan ini. Sayang, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah uang publik, yang sudah diabdikan untuk kerja mereka, seperti habis menguap tak membekaskan apa-apa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ke Mana Pemerintah?
Sejak diselenggarakan di masa kuno, sebagai sebuah pesta untuk menghargai Zeus, olimpiade di selenggarakan di Kota Olympia,Yunani, sejak abad 8 SM, untuk mencari siapa manusia yang paling cepat,paling tinggi,dan paling kuat (citius, altius, fortius). Biarpun ada sindiran di balik ajang ini—yang justru tertuju pada Zeus—di mana manusia seperti hendak mencapai kapasitas dewa, semua itu dilakukan dengan semangat sportif yang tinggi.
Sportivitas untuk membuktikan kapasitas manusia yang sesungguhnya karena kepura- puraan, tipu, atau dusta sama sekali tak berguna dalam usaha manusia menjadi dewa. Apa pun sindiran dan ironi yang ada dalam olimpiade, inilah ajang yang jauh lebih berbudaya, ketimbang misalnya ajang keperkasaan manusia lainnya, Gladiator, yang dilaksanakan kolonialis Romawi di masa berikutnya.
Tak mengherankan dunia segera menyambut, mendukung, dan mengikutinya, ketika olimpiade modern diselenggarakan kembali pada 1896 atas usaha Pierre de Coubertin, seorang Baron dari Prancis. Betapapun tiga kali ia batal diselenggarakan karena Perang Dunia (1914, 1940, 1944) dan mengalami boikot besar-besaran pada 1980 dan 1984.
Olimpiade,dalam usia rentanya 116 tahun, tetap menjadi ukuran bagi siapa pun bangsa dunia, bukan saja tentang eksistensi atau keberadaannya, melainkan juga tentang kebesaran bangsa dan budaya yang dimilikinya, tentang prestise dan dignity, tentang kebecusan pemerintah yang mengurus negaranya.Tak ada negara atau bangsa mana pun yang menganggap remeh atau enteng tentang hal itu.
Semua elemen bangsa akan bergerak untuk ikut menyukseskan prestasi atlet-atletnya di ajang dahsyat itu. Begitu jugakah di negeri ini? Begitu jugakah para elite yang mengemban tanggung jawab utama untuk itu? Kita cemas. Cemas jawaban untuk itu adalah negatif. Ketika kita menjadi saksi, federasi olahraga kita— seperti PSSI—konflik tiada habisnya, hampir tidak peduli dengan atletnya. Atlet bahkan dijadikan pion atau arsenal dalam konflik itu. KONI tidak bisa berbuat apa-apa.
Menpora seperti kehilangan akal dan upaya.Tak ada program cerdas atau terobosan untuk mengatasi kericuhan, mempertahankan, apalagi meningkatkan prestasi atlet kita. Bisa jadi lantaran jabatan menpora tidak diberikan kepada mereka yang memang ahli dan hidup mati untuk olahraga, tapi sekadar untuk balas-budi politik, atau keranjang tempat “membuang” siapa pun yang sebenarnya belum pantas menjadi menteri.
Bisa jadi juga karena organisasi-organisasi cabang olahraga kita menjadi epigon dari tradisi lama sejak Orde Baru, dimana umumnya pejabat, petinggi militer, atau orang kaya yang selalu menjadi pimpinan organisasi olahraga. Kenyataan ini menafikan bahkan seperti menghina mereka yang seumur hidupnya ia abdikan untuk olahraga, entah sebagai atlet, manajer, pelatih, pengamat, atau akademisi.
Tubuh, Jiwa, dan Kecerdasan
Tidak sesuai dengan nama genre-nya, olahraga, kegiatan kodrati manusia ini, sebenarnya tidak hanya bersangkutan dengan tubuh atau raga. Terlebih di masa modern, tujuan dasar dan tantangan dari olimpiade klasik sudah sangat berubah. Ketinggian, kecepatan, dan keperkasaan memang ditunjukkan secara nyata oleh tubuh,namun tubuh itu tidak akan bisa berbuat banyak, apalagi dalam kompetisi yang kian ketat dan panas sekarang ini, tanpa dilengkapi dengan mental dan akal.
Cabang olahraga mana pun mesti menyadari, bakat fisik akan menjadi prestasi atau setidaknya pesaing tangguh bila ia dilengkapi dengan kecerdasan dan jiwa yang kuat. Inilah tiga faktor penentu. Mungkin banyak tubuh berbakat dari 237 manusia di negeri ini. Tapi, apakah mereka cukup cerdas? Ini sangat berkaitan dengan kebecusan negara dalam menjalankan program pendidikan dan pengajaran mereka.
Tubuh berbakat akan sia-sia jika sejak kecil mereka tidak dicerdaskan oleh program pemerintah. Kalaupun ada sebagian kecil dari atlet kita yang bertubuh penuh bakat dan kecerdasan mencukupi, tapi jika jiwa sebagai faktor ketiga lemah, semua juga akan sia-sia. Sekali lagi, bukan hanya atlet yang bisa disalahkan dalam hal ini.
Bagaimana mereka bisa disalahkan bila mereka berkali-kali kecewa akibat ketidakbecusan para pemimpin organisasi mereka? Mereka berkali-kali kecewa dengan para pemimpinnya yang terlalu sering menipu,memanipulasi, dan mengorupsi hak mereka? Bagaimana mereka bisa berbangga pada negara yang diurus seperti itu? Faktor penting lain soal jiwa atlet: pamrih material yang kian kuat dalam olahraga yang esensinya amatir ini.
Faktor pamrih ini harus diakui menjadi salah satu motif terkuat bagi seorang atlet. Dalam soal materi dan fasilitas, seorang atlet seperti tidak mau kalah dengan selebritas atau petinggi negara. Imbalan uang kadang-kadang begitu mengejutkan bagi seorang amatir. Membuat beberapa profesi lain yang juga bekerja untuk kemuliaan bangsa (seperti peneliti, peserta olimpiade ilmu, seniman, pekerja budaya, aktivis sosial) seakan ternafikan bahkan terhina.
Sudah saatnya atlet olahraga menggeser orientasi material yang dihela oleh sikap hidup yang materialistis dan hedonis itu, yang sangat menjebak dan memanipulasi itu. Atlet Indonesia selaiknya melihat kehormatan bangsa sebagai motif pertama, berkeringat, berdarah, bahkan bila perlu membuang jiwa untuk itu. Ajang seperti olimpiade adalah semacam medan perang, di mana dahulu para pahlawan dan bapak bangsa kita berjuang mempertahankan kedaulatan dan dignity kita.
Para seniman, pekerja budaya, periset, atau ilmuwan sangat ikhlas tidak mendapat perhatian pemerintah atau pengakuan publik asal para atlet kita berjuang habishabisan membela lambanglambang negara ini. Semua— bersama seluruh rakyat—akan berdiri, memberi salute dan standing ovation untuk prestasi olahraga.
Percayalah, penghargaan itu jauh lebih berharga, jauh lebih bermakna, dibanding semua bentuk materi. Materi akan segera habis.Tapi tidak kehormatan, ia abadi. Juga percayalah, wahai atletku, prestasi dunia akan memberimu ganjaran materi tanpa kau minta. Jayalah atlet Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar