Menghadapi
Resesi Dunia
Anwar Nasution ; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
KOMPAS,
14 Agustus 2012
Pemerintah perlu segera mengambil empat
bentuk kebijakan untuk menghadapi dampak negatif gabungan krisis ekonomi dunia
dengan bencana alam yang melanda bumi dewasa ini. Kebijakan itu sekaligus
mengantisipasi pemulihan ekonomi global masa depan.
Kebijakan pertama adalah ekspansi fiskal atau
APBN. Kedua, kebijakan moneter, baik kebijakan yang mengoreksi apresiasi kurs
rupiah maupun kebijakan yang mendorong ekspansi kredit dan menurunkan tingkat
suku bunga. Ketiga, perombakan struktural yang dewasa ini menghambat kapasitas
produksi ekonomi nasional. Perombakan meliputi deregulasi di pasar faktor-faktor
produksi, termasuk tanah, infrastruktur, dan pasar tenaga kerja maupun
perbaikan iklim berusaha. Keempat, membangun kembali kelembagaan sosial politik
dan ekonomi untuk meningkatkan efektivitas serta efisiensi pasar. Dalam hal ini
termasuk perbaikan sistem hukum, politik, otonomi daerah, dan peningkatan
kinerja BUMN.
Krisis ekonomi di negara-negara penggerak
ekonomi dunia tidak diketahui kapan berakhirnya. Krisis ekonomi tersebut
semakin sulit ditangani karena ada polarisasi politik dalam negeri di Amerika
Serikat, Uni Eropa (UE), dan Jepang. Karena melemahnya ekonomi mereka, momentum
pertumbuhan juga melambat di negara-negara berkembang, termasuk China, Brasil,
India, dan Korea. World Development Outlook Update IMF tanggal 16 Juli 2012
memperkirakan bahwa tingkat laju pertumbuhan ekonomi dunia masih akan lemah,
3,5 persen tahun 2012 dibandingkan 3,9 persen tahun 2011.
Pengaruh krisis global pada ekonomi nasional
tecermin pada neraca pembayaran luar negeri yang mencatat transaksi barang,
jasa, dan keuangan. Dampak pertama krisis ekonomi global adalah penurunan nilai
ekspor karena merosotnya volume dan tingkat harga komoditas primer di pasar
dunia. Lebih dari 10 tahun terakhir, ekspor Indonesia sangat bergantung pada
ekspor komoditas primer hasil pertambangan dan pertanian.
Tujuan utama ekspor bahan mentah adalah China
dan India yang ekonominya tumbuh pesat 9-10 persen setahun selama lebih dari
tiga dasawarsa terakhir. Proses mekanisasi, motorisasi, dan urbanisasi di kedua
negara tersebut memerlukan segala jenis bahan mentah. Rakyatnya yang semakin
makmur memerlukan bahan makanan yang lebih berkualitas, seperti ikan laut dan
berdarmawisata ke luar negeri. Kedua negara itu memerlukan batubara, minyak,
dan gas bumi untuk menghasilkan listrik yang diperlukan oleh industri
manufaktur dan memompa air tanah untuk keperluan pengairan pertanian.
Bencana alam berupa kekeringan dan banjir di
berbagai pelosok dunia telah mengganggu produksi pertanian dan meningkatkan
harganya. Hal ini sudah terasa pada kenaikan harga kacang kedelai dan gandum
yang meningkatkan nilai impor. Pada gilirannya, gabungan penurunan ekspor
dengan peningkatan impor akan menyebabkan defisit neraca perdagangan kita.
Defisit neraca perdagangan juga terjadi karena besarnya komponen impor
pengeluaran negara, produksi nasional, investasi, dan konsumsi masyarakat.
Peningkatan penganggur di sejumlah negara
akan mengurangi permintaan internasional akan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang
pada umumnya memiliki pendidikan serta keahlian terbatas. Resesi ekonomi global
tersebut bukan saja akan mengurangi kiriman uang dari TKI (remittances) ke
kampung halaman, melainkan pemulangan mereka ke Tanah Air juga menambah jumlah
penganggur.
Murahnya harga impor karena penguatan nilai
tukar rupiah telah menyumbang pada upaya penurunan tingkat laju inflasi. Namun,
di lain pihak, harga barang impor yang terlalu murah karena apresiasi rupiah
telah mematikan produksi dalam negeri pesaing impor yang pada gilirannya
mengurangi lapangan kerja. Harga barang China menjadi lebih murah lagi karena
mata uangnya dibiarkan lemah serta adanya perjanjian perdagangan bebas
China-ASEAN (CAFTA) yang memangkas tarif ataupun nontarif.
Gabungan antara penurunan permintaan, harga
komoditas primer, dan krisis yang melanda industri keuangan di negara-negara
maju akan mengurangi pemasukan investasi modal swasta ataupun modal jangka
pendek. Dalam beberapa tahun terakhir, investasi modal swasta di Indonesia,
terutama di sektor pertambangan dan perkebunan. Investasi di sektor industri
manufaktur terhambat karena gabungan antara kurs rupiah yang dibiarkan menguat,
kelangkaan infrastruktur, seperti listrik dan transportasi ataupun iklim usaha
yang kurang kondusif.
Modal asing berjangka pendek adalah terutama
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan
surat-surat berharga yang dijual oleh dunia usaha. Walaupun bunga SUN lebih
tinggi dibanding di negara maju, investor asing sudah mulai waswas karena
penurunan volume dan tingkat harga komoditas primer langsung mengganggu ekspor
ataupun penerimaan negara dari royalti serta pajak pendapatan perusahaan
tambang dan perkebunan.
Minat investor asing untuk membeli obligasi
dan saham perusahaan nasional juga akan terus menurun. Minat itu semakin kecil
bagi perusahaan nasional yang mengandalkan utang dalam bentuk valuta asing pada
bank-bank internasional dengan agunan saham perusahaan komoditas primer yang
semakin menurun. Selain penurunan volume dan harga komoditas primer, beban
utang luar negeri perusahaan seperti itu menjadi semakin meningkat karena erosi
nilai tukar rupiah.
Apa yang perlu dilakukan?
Untuk mempertahankan momentum pertumbuhan
ekonomi, penurunan permintaan akan ekspor harus diimbangi oleh perluasan
pengeluaran yang berorientasi pada ekonomi dalam negeri. Pengeluaran yang
disebut terakhir ini terdiri dari pengeluaran negara, investasi, ataupun
konsumsi masyarakat. Selain dari jumlah struktur pengeluaran negara, investasi
dan konsumsi tersebut juga sangat penting untuk menguatkan ekonomi nasional dan
meminimalkan kebocoran impor.
Ekspansi pengeluaran dalam negeri hendaknya
dalam jangka pendek sehingga menimbulkan dampak berlipat untuk meningkatkan
kegiatan ekonomi masyarakat dan memperluas lapangan kerja. Dalam jangka
menengah dan panjang, pengeluaran tersebut dapat meningkatkan efisiensi serta
kapasitas produksi masa depan.
Ruang untuk meningkatkan pengeluaran negara
masih terbuka saat ini karena realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN, 1-2 persen terhadap produk domestik bruto/PDB tahunan) masih
berada di bawah batas maksimum 3 persen. Jika ekspansi anggaran tidak dapat
dibelanjai kenaikan penerimaan pajak, tidak ada salahnya menambah pinjaman
dengan mengeluarkan SUN yang dijual di bursa dalam negeri ataupun luar negeri
dengan memanfaatkan suku bunga internasional yang rendah dewasa ini. Utang itu
kelak dibayar dengan peningkatan produksi. Rasio utang terhadap PDB saat ini
(27 persen) juga masih di bawah batas maksimum 60 persen.
Ekspansi pengeluaran negara hendaknya
diutamakan untuk dua hal, yakni mengatasi kelangkaan infrastruktur dan
peningkatan kualitas pendidikan termasuk politeknik, yang menghambat kemampuan
berproduksi perekonomian nasional. Selain akan meningkatkan kapasitas produksi,
pembangunan di kedua sektor ini sekaligus memperluas lapangan kerja. Kelangkaan
infrastruktur terjadi di semua sektor, seperti perhubungan darat, laut, dan
udara; telekomunikasi; serta listrik. Prioritas kedua dari ekspansi pengeluaran
negara adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional, terutama bidang
teknologi, kimia, biologi, dan kedokteran. Tanpa tenaga kerja terdidik yang
terampil, kita tidak mungkin mengolah sendiri sumber daya alam kita ataupun
membatasi orang sakit berobat ke luar negeri, bersaing di pasar dunia, dan
membangun infrastruktur yang berkualitas baik.
Malaysia, misalnya, mengimpor minyak sawit,
cokelat, dan jambu mete dari Indonesia serta mengolahnya untuk menghasilkan
produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Sebagian yang bekerja di industri pengolahan
sumber daya alam di Malaysia itu adalah para TKI. Investor swasta dan BUMN
dapat diikutsertakan untuk membangun infrastruktur.
Agar pengeluaran APBN semakin banyak
digunakan bagi keperluan pembangunan, pengeluaran untuk konsumsi perlu
dikurangi, termasuk subsidi BBM, listrik, dan pembayaran utang. Sementara itu,
program untuk mengentaskan warga dari kemiskinan juga perlu diubah dari sekadar
menyediakan beras untuk orang miskin serta bantuan langsung tunai menjadi
perluasan lapangan kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat miskin. Pada
zaman Orde Baru, kedua hal ini dilakukan melalui program peningkatan usaha
tani, perkebunan inti rakyat, dan industrialisasi yang bersifat padat karya.
Selain dari ketersediaan infrastruktur dan
sumber daya manusia ataupun kurs devisa yang realistis, ekspansi fiskal dan
moneter akan bermanfaat bagi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi jika ada
iklim usaha yang baik dan kepastian hukum.
Selain itu juga diperlukan perubahan aturan
perburuhan agar dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dengan upah layak,
perbaikan perizinan usaha, dan kemudahan pemanfaatan lahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar