Tak Perlu “Cicak
vs Buaya”
W Riawan Tjandra ; Direktur Program Pascasarjana
Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Associate Researcher IRE Yogyakarta
|
SINDO, 14 Agustus 2012
Sengketa
kewenangan antara KPK dan Polri, atau lebih tepat lagi kewenangan KPK yang
dipersoalkan Polri, masih menjadi wacana publik yang terus menguat. Bukan tidak
mungkin permasalahan pokok yang sebenarnya menjadi esensi di balik
“perseteruan”KPK-Polri tersebut yaitu melanjutkan proses hukum terhadap
pengungkapan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas
Polri justru kian kabur ditelan hirukpikuk wacana.
Sebenarnya
Pasal 50 ayat (3) UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi secara eksplisit telah menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),kepolisian
atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jikalau masih
dipersoalkan bahwa proses penyidikan suatu tipikor itu tidak bisa ditentukan
secara pasti yang mana memulai duluan, apakah KPK atau Polri?
Ayat (4) dari Pasal 50 UU KPK tersebut dengan tegas menyatakan bahwa dalam penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Namun, dalam perkembangannya, KPK dan Polri sempat membuat memorandum of understanding (MoU) terkait pembagian kewenangan dalam melakukan penyidikan atas kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri.
MoU tersebut justru merupakan bagian dari masalah yang kini menyebabkan ketidakjelasan dalam penanganan kasus tersebut. Ditinjau dari sisi hukum MoU itu justru bertentangan dengan amanat UU KPK sehingga sebenarnya batal demi hukum (nietige van rechtswege). Mencermati kedua ayat dari Pasal 50 UU KPK tersebut secara gramatikal dan eksplisit menegaskan bahwa seharusnya tak perlu lagi otoritas penyidikan dari KPK dalam kasus tersebut dipersoalkan, apalagi jika akan dibawa ke ranah sengketa kewenangan antarlembaga negara ke Mahkamah Konstitusi.
Kasus tersebut memang menimbulkan tanda tanya bagi publik, ada apa sebenarnya di balik kasus tersebut? Mungkinkah ada perkara/pertalian dengan jaringan yang lebih besar lagi pascapengungkapan kasus korupsi yang menyeret nama tersangka Irjen (Pol) Djoko Susilo? Jika kasus itu “hanya” merupakan kasus korupsi seperti yang lazim ditangani KPK yang melibatkan para penyelenggara negara, mengapa Kapolri sampai merasa perlu mengadakan pertemuan tertutup dengan para petinggi Polri terkait kasus itu?
Dari sudut pandang lain juga dapat dimunculkan pertanyaan yang secara substansial perlu dijawab terkait dengan proses penyidikan kasus Hambalang yang harus diungkap KPK dan janji Abraham Samad pasca terpilih sebagai ketua KPK untuk mundur jika tak berhasil menuntaskan kasus Century. Bagaimana kelanjutan kasus Hambalang yang sementara ini telah menunjukkan ada tali-temali jaringan korup di sebuah partai besar yang saat ini sedang berkuasa?
Mungkinkah KPK saat ini juga sedang “bermain politik kasus” untuk mengaburkan kasus Hambalang yang sebenarnya nyaris menuju klimaks dan kini kian terkubur dan bisa menjadi antiklimaks di balik wacana perseteruan “cicak-buaya” jilid II? Masih pula menjadi tanda tanya besar bagi publik bagaimana tindak lanjut kasus Century yang sementara ini sudah pernah mendapat rekomendasi DPR untuk diselesaikan secara hukum?
Seperti diketahui KPK saat ini juga sedang memulihkan citranya yang sebelumnya sempat merosot pascaterungkapnya dugaan konspirasi politik yang dilakukan beberapa petinggi KPK sebelumnya dengan beberapa oknum partai yang kini sedang berkuasa. Bisa juga dengan sengketa kewenangan antara KPK dan Polri dalam kasus tersebut, Polri yang saat ini juga sedang mengalami ketidakpercayaan publik (public distrust) yang cukup luas akan kian mengalami erosi kepercayaan publik.
Jika pengungkapan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri ternyata akan menyeret sederet nama-nama penting petinggi Polri yang lain seperti dugaan publik selama ini,tentu hal itu bisa menyebabkan Polri secara institusional mengalami demoralisasi yang akan kontraproduktif terhadap proses penegakan hukum di dalam negeri.
Korupsi di negeri ini telah menjadi kejahatan struktural yaitu suatu bentuk kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola yang menghambat banyak orang memenuhi kebutuhan dasar.Polri saat ini justru harus ikhlas untuk mematuhi UU No 30/2002. Justru melalui pengungkapan secara tuntas dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri,lembaga penegak keamanan dalam negeri tersebut dapat direformasi dan dibersihkan dari oknumoknum yang korup agar di masa depan kembali memiliki kewibawaannya sebagai penegak hukum di negeri ini.
MoU yang sempat dibuat antara KPK dan Polri dalam kasus pada awal penanganan kasus tersebut harus dianggap tidak ada/batal demi hukum karena memang demikian. Dengan begitu, segala penuntasan atas kasus tersebut dikembalikan kepada KPK. Filosof Hegel pernah mengatakan bahwa negara merupakan aktualisasi dari gagasan etis. Maka itu, praktik-praktik tak terpuji melalui tindakan koruptif sebenarnya merupakan langkah untuk mengubur negeri ini secara sistematis dan massif.
KPK tak boleh hanya berhenti pada pengungkapan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri itu.Kasus Hambalang dan kasus Century masih membutuhkan energi besar dari KPK untuk diungkap. Benarkah pernyataan seorang petinggi negara yang menyatakan bahwa pengungkapan kasus Century membutuhkan biaya dan risiko politik yang besar?
Justru di situlah sebenarnya ujian terberat dari KPK yang sekaligus menjadi titik persimpangan jalan untuk menentukan apakah negara ini akan terus menjadi negara demokrasi yang ditopang oleh pilar-pilar good governance yang semakin membaik atau akan membenarkan tesis negara gagal (failure state) yang sudah di ambang mata? ●
Ayat (4) dari Pasal 50 UU KPK tersebut dengan tegas menyatakan bahwa dalam penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Namun, dalam perkembangannya, KPK dan Polri sempat membuat memorandum of understanding (MoU) terkait pembagian kewenangan dalam melakukan penyidikan atas kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri.
MoU tersebut justru merupakan bagian dari masalah yang kini menyebabkan ketidakjelasan dalam penanganan kasus tersebut. Ditinjau dari sisi hukum MoU itu justru bertentangan dengan amanat UU KPK sehingga sebenarnya batal demi hukum (nietige van rechtswege). Mencermati kedua ayat dari Pasal 50 UU KPK tersebut secara gramatikal dan eksplisit menegaskan bahwa seharusnya tak perlu lagi otoritas penyidikan dari KPK dalam kasus tersebut dipersoalkan, apalagi jika akan dibawa ke ranah sengketa kewenangan antarlembaga negara ke Mahkamah Konstitusi.
Kasus tersebut memang menimbulkan tanda tanya bagi publik, ada apa sebenarnya di balik kasus tersebut? Mungkinkah ada perkara/pertalian dengan jaringan yang lebih besar lagi pascapengungkapan kasus korupsi yang menyeret nama tersangka Irjen (Pol) Djoko Susilo? Jika kasus itu “hanya” merupakan kasus korupsi seperti yang lazim ditangani KPK yang melibatkan para penyelenggara negara, mengapa Kapolri sampai merasa perlu mengadakan pertemuan tertutup dengan para petinggi Polri terkait kasus itu?
Dari sudut pandang lain juga dapat dimunculkan pertanyaan yang secara substansial perlu dijawab terkait dengan proses penyidikan kasus Hambalang yang harus diungkap KPK dan janji Abraham Samad pasca terpilih sebagai ketua KPK untuk mundur jika tak berhasil menuntaskan kasus Century. Bagaimana kelanjutan kasus Hambalang yang sementara ini telah menunjukkan ada tali-temali jaringan korup di sebuah partai besar yang saat ini sedang berkuasa?
Mungkinkah KPK saat ini juga sedang “bermain politik kasus” untuk mengaburkan kasus Hambalang yang sebenarnya nyaris menuju klimaks dan kini kian terkubur dan bisa menjadi antiklimaks di balik wacana perseteruan “cicak-buaya” jilid II? Masih pula menjadi tanda tanya besar bagi publik bagaimana tindak lanjut kasus Century yang sementara ini sudah pernah mendapat rekomendasi DPR untuk diselesaikan secara hukum?
Seperti diketahui KPK saat ini juga sedang memulihkan citranya yang sebelumnya sempat merosot pascaterungkapnya dugaan konspirasi politik yang dilakukan beberapa petinggi KPK sebelumnya dengan beberapa oknum partai yang kini sedang berkuasa. Bisa juga dengan sengketa kewenangan antara KPK dan Polri dalam kasus tersebut, Polri yang saat ini juga sedang mengalami ketidakpercayaan publik (public distrust) yang cukup luas akan kian mengalami erosi kepercayaan publik.
Jika pengungkapan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri ternyata akan menyeret sederet nama-nama penting petinggi Polri yang lain seperti dugaan publik selama ini,tentu hal itu bisa menyebabkan Polri secara institusional mengalami demoralisasi yang akan kontraproduktif terhadap proses penegakan hukum di dalam negeri.
Korupsi di negeri ini telah menjadi kejahatan struktural yaitu suatu bentuk kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola yang menghambat banyak orang memenuhi kebutuhan dasar.Polri saat ini justru harus ikhlas untuk mematuhi UU No 30/2002. Justru melalui pengungkapan secara tuntas dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri,lembaga penegak keamanan dalam negeri tersebut dapat direformasi dan dibersihkan dari oknumoknum yang korup agar di masa depan kembali memiliki kewibawaannya sebagai penegak hukum di negeri ini.
MoU yang sempat dibuat antara KPK dan Polri dalam kasus pada awal penanganan kasus tersebut harus dianggap tidak ada/batal demi hukum karena memang demikian. Dengan begitu, segala penuntasan atas kasus tersebut dikembalikan kepada KPK. Filosof Hegel pernah mengatakan bahwa negara merupakan aktualisasi dari gagasan etis. Maka itu, praktik-praktik tak terpuji melalui tindakan koruptif sebenarnya merupakan langkah untuk mengubur negeri ini secara sistematis dan massif.
KPK tak boleh hanya berhenti pada pengungkapan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri itu.Kasus Hambalang dan kasus Century masih membutuhkan energi besar dari KPK untuk diungkap. Benarkah pernyataan seorang petinggi negara yang menyatakan bahwa pengungkapan kasus Century membutuhkan biaya dan risiko politik yang besar?
Justru di situlah sebenarnya ujian terberat dari KPK yang sekaligus menjadi titik persimpangan jalan untuk menentukan apakah negara ini akan terus menjadi negara demokrasi yang ditopang oleh pilar-pilar good governance yang semakin membaik atau akan membenarkan tesis negara gagal (failure state) yang sudah di ambang mata? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar