Merehabilitasi
Islam Politik
Ahmad Sahidah ; PHD Postdoctoral
Research Fellow
Universitas Sains
Malaysia
REPUBLIKA,
11 Agustus 2012
Boleh dikatakan, isu yang acap kali menyita perha tian terhadap
Muktamar ke-32 NU adalah peneguhan pada khitah. Tidak saja dilaungkan oleh
banyak warga Nahdliyin, malah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua
Syuriah KH Sahal Mahfudz turut meminta organisasi berlambang bu mi dan bintang
sembilan ini tidak ter seret pada kepentingan politik praktis. Tentu, imbauan
ini patut direnungkan karena diam-diam secara tidak langsung merupakan
pembenaran bahwa politik akan menggerogoti kemandirian organi sasi.
Namun, meskipun umat Islam telah mengharu biru dalam dunia politik
sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan, me reka tak pernah menuai hasil yang
mengagumkan. Malah Pemilu 2009 merupakan episode paling buruk dalam perolehan
suara partai Islam. Sayangnya, alih-alih melakukan evaluasi, para politikus
yang bernaung di dalamnya lebih memilih larut dalam kekuasaan.
Tak hanya di Indonesia, di belahan dunia Islam yang lain, para
politikus Muslim tumbang. Kegagalan ini dicatat oleh Olivier dalam The Failure of Political Islam. Lalu,
apakah ini berarti pada masa yang sama, Islam politik tidak mempunyai peluang
sama sekali untuk berhasil dalam meraih kekuasaan politik? Di tengah kegalauan
ini, ternyata fenomena Partai Keadilan dan Pembaruan (AKP) di Turki membuktikan
bahwa sebuah partai bernapaskan semangat keagamaan bisa memenangkan hati dan
pikiran khalayak.
Ide dan Tindakan
Dasarnya, politik bisa dipahami sebagai persaingan dan
perjuangan atas makna serta simbol dan penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang
mendefinisikan dan menekankan nilai sosial. Kekuasaan politik tidak hanya terletak
pada penguasaan ekonomi, tetapi juga kontrol terhadap lembaga-lembaga kebudayaan
(Dale F Eickelman, 2004). Maka itu, jelaslah bahwa Islam politik adalah bagian
dunia politik pada umumnya yang berikhtiar untuk memperjuangkan simbol dan penguasaan sumber
daya. Namun, pada waktu yang sama, solidaritas sosial dan keadilan me rupakan
tujuan utama yang tak bisa ditawar dalam Islam. Tampaknya, nilainilai ideal itu
juga yang telah disuarakan oleh segenap partai politik Islam.
Coba lihat visi misi Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai
dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan
bangsa. Pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai keterbu kaan partai yang
distigmakan ‘keras’ terhadap kelompok-kelompok lain untuk mewujudkan Indonesia
lebih baik. Kehadirannya justru dilihat sebagai pesaing dalam mewujudkan
cita-cita keislaman, bukan kelompok yang mempunyai tujuan yang sama, seperti
layaknya Muhajirin dan Ansar dahulu. Padahal, mereka hanya ingin mengembalikan
semangat piagam Madinah, konstitusi yang menempatkan manusia secara setara.
Namun, kenyataan di atas kertas itu tidak mewujud dalam praktik.
Para menteri asal PKS di kabinet SBY bungkam terkait pembagian mobil mewah.
Padahal, kebijakan ini tidak hanya menohok akal sehat, tetapi juga kesembronoan
menggunakan harta rakyat. Sementara itu, pada lain waktu, SBY berbicara
kegundahannya tentang biaya pemilihan kepala daerah yang mahal.
Aneh jika banyak orang begitu men cemaskan partai ini. Memang,
kebanyakan pelopor di pelbagai kampus adalah para mahasiswa yang mengambil
jurusan umum. Sebuah kecenderungan yang jamak terjadi di belahan negara Islam,
tempat para intelektual dan mahasiswa bukan jurusan Islam dan filsafat terlibat
dalam gerakan Islam politik. Di negeri tetangga, ketuanya adalah seorang doktor
alumnus Jepang yang bekerja sebagai dosen di universitas terkenal di ibu kota
dalam bidang bukan kajian Islam. Dalam sebuah kesempatan, ia hadir untuk
memberikan sosialisasi pemilu di kalangan pekerja dan mahasiswa dengan merogoh
kocek sendiri.
Sepatutnya, kaum santri tak perlu terlalu meributkan kenyataan di
atas. Toh, di tingkat elite partai
ini juga mempunyai dewan syariah yang berlatar belakang pendidikan tinggi
agama. Kalaupun pandangannya berbeda, tidak semestinya kehadirannya tidak absah
untuk merebut kuasa moral. Sekarang, perbedaan ini tidak seharusnya menghambat
sebuah konfi gurasi komunitas dalam memperjuangkan simbol Islam. Justru,
bagaimana nilai-nilai politik kenabian itu merembes pada segenap pegiat politik
dari atas hingga bawah. Saya mengandaikan, jika kesederhanaan santri dan kaum
terpelajar bahu-membahu menyuburkan Islam politik, tak mustahil partai Islam
akan menuai hasil.
Berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa yang banyak dihuni kaum
santri. Tetapi, apakah ini juga merupakan jaminan para penggeraknya untuk
menampilkan nilai-nilai Islam politik yang menyejukkan? Jika melihat perjalanan
partai berlambang bumi ini maka jawabannya mengecewakan. Inilah partai yang
sejak pendiriannya sering terbelah. Bahkan, hingga kini perseteruan acap kali
menyeruak, tanpa ada mekanisme yang bisa disepakati bersama. Alih-alih merawat
gerakan politik hijau yang pernah dikumandangkan, elite hingga kader tak
terlihat bersama masyarakat setelah pemilihan umum.
Realitas politik Muslim yang menye sakkan ini sejatinya tidak
membuat langkah Muslim mundur. Selagi para po litikus itu mengusung nilai-nilai
ke agamaan maka tanggung jawab yang berada di pundaknya jauh lebih berat.
Amanah itu tidak hanya dipanggul di dunia, tetapi juga secara kosmologis di
akhirat.
Pada masa yang sama, sebagai khalifah bumi, dengan sendirinya
mereka terdorong memelihara penghuni semesta tanpa dihambat perbedaan ideologi.
Bagai manapun, motivasi ideologis untuk mobilisasi kelompok itu tak perlu
dirisaukan, asal masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sama
juga anehnya jika kita merisaukan segelintir kelompok yang bercita-cita
meruntuhkan bangunan RI ini menjadi bentuk lain karena kekuatan besar di negeri
ini menginginkan hidup bersama di bawah Bhinneka Tunggal Ika, sebuah
kesepakatan yang tak jauh berbeda dengan Piagam Madinah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar