Keluarga dan
Pendidikan Moral
Joko Wahyono ; Pemerhati
Sosial dan Masyarakat
di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA
KARYA, 08 Agustus 2012
Sampai hari ini, pendidikan masih dipercaya sebagai medium
strategis untuk mengenalkan diri dan menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan
kepada anak. Namun, tak dapat disangkal, beragam masalah yang saling
berkaitkelindan satu sama lain masih mendera di lembaga-lembaga pendidikan
kita. Pada kenyataannya, lembaga pendidikan kurang memfasilitasi anak dalam
melatih diri untuk berbuat sesuatu sesuai nilai-nilai moral.
Implikasinya, proses pendewasaan diri bagi anak tidak berlangsung
secara baik, semultan dan berkesinambungan. Tak jarang, proses tersebut justru
membelenggu dan memangkas perkembangan kepribadian anak. Sinyal ini telah
didengungkan oleh Azyumardi Azra (2002) bahwa lembaga pendidikan telah gagal
dalam membentuk anak bangsa hingga memiliki akhlak, moral dan budi pekerti.
Faktanya jelas banyak anak bangsa mengalami demoralisasi perilaku.
Nilai-nilai moral kemanusiaan dialpakan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari.
Tidak mengherankan, jika kenakalan anak/remaja, pergaulan bebas,
ketidakjujuran, rendahnya belas kasih dan solidaritas, hilangnya budaya sopan
santun dan rasa hormat, makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak anak usia
sekolah terlibat kasus kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar,
kriminalitas dan aksi-aksi anarkis lainnya.
Tak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmad H
(2010) bahwa 67,9 persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja
usia sekolah, 8 di antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang.
Sedangkan 32 persen remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia
sudah terlibat hubungan seks di luar nikah.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa lembaga pendidikan belum
berhasil mewujudkan cita-cita idealnya. Beberapa hal yang menjadi pemicu
kegagalan lembaga pendidikan adalah beban kurikulum terlalu berat dan lebih
banyak diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif (kepekaan intelektual).
Padahal, untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai tujuan pendidikan adalah
terintegrasinya nilai-nilai moral yang termanifestasi ke dalam kepekaan
intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas kepribadian anak. Selain itu,
model pembelajaran yang berjalan sampai hari ini lebih mengutamakan alih
pengetahuan moral (transfer of moral
knowledge).
Dengan paradigma ini, pendidik lebih menekankan pada penguasaan
materi dalam kurikulum dan lebih mementingkan daya serap atau hafalan (memorisasi)
dari anak. Praktik ini tergambar jelas dalam model soal ujian atau test-test
tertentu. Akibat jangka panjang yang tidak dirasakan secara langsung adalah
bahwa pendidikan moral dan akhlak terlalu banyak berorientasi pada
intelektualisme etis. Padahal, paradigma pembelajaran moral (humanities) semestinya tidaklah seperti
pembelajaran sains (natural sciences)
yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual. Paradigma pembelajaran
moral menghendaki adanya pola-pola internalisasi nilai melalui pembiasaan dan
keteladanan.
Pada saat yang sama, anak kerap dihadapkan pada nilai-nilai yang
sering bertentangan antara sikap dan perilaku guru dengan apa yang
dipikirkannya. Sehingga, anak akan mengalami kesulitan dalam mencari sosok
keteladanan. Di sinilah akar kegagalan sistem pendidikan tersebut, sehingga output yang dihasilkan miskin moralitas.
Nilai-nilai kemanusiaan terkubur dalam hafalan dan tak terejawantahkan menjadi
perilaku anak di lingkungan sosialnya. Menjadi problem serius ketika sekolah
sudah tidak lagi mampu melahirkan tunas-tunas muda yang bermoral dan
berperilaku sesuai nilai-nilai luhur kamanusiaan.
Peran Keluarga
Kini kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga
pendidikan tidak lagi kondusif bagi penanaman nilai-nilai moral bagi anak, maka
keluarga harus cepat-cepat mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat
gerak dinamika sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa ekses
yang luar biasa bagi anak. Oleh karena itu, keluarga adalah agen untuk
mencipakan kondisi yang ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, kebiasaan dan
perilaku anak dalam kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat. Anak harus
diposisikan sebagai subjek utama pendidikan dalam keluarga.
Kegiatan pembelajaran dalam keluarga harus dimulai dari apa yang
telah diketahui oleh anak. Di sini, orangtua berperan sebagai fasilitator dalam
proses penanaman nilai-nilai moral kemanusiaan melalui interaksi dengan anak
dalam kehidupan sehari-hari. Peran orangtua hanya sebagai perancang dan
pengelola, sehingga tidak boleh melakukan indoktrinasi terhadap anak. Sebagai
fasilitator, orangtua dalam keluarga harus memiliki pribadi yang berkarakter
dan mampu memberikan keteladanan. Di sinilah orangtua berperan sebagai teladan
dalam memberikan contoh yang baik bagi anak. Keteladanan harus dipelihara
dengan menjaga komitmennya untuk selalu bersikap dan berperilaku serta
mewujudkan nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga.
Orangtua juga harus mencegah berlakunya nilai-nilai buruk. Tak
kalah penting adalah pemberian perhatian dan penghargaan ketika anak melakukan
kebaikan. Semua ini harus menjadi pola dan kebiasaan berperilaku dalam keluarga
yang dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Upaya ini diharapkan
membentuk kepribadian anak yang bermoral, sehingga mampu menjalankan perbuatan
utama.
Pribadi yang bermoral adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk
mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai moral kemanusiaan. Nilai-nilai
tersebut menjadi standar kualitas kebaikan, kebajikan dan moral yang mendasari
perilaku, pengambilan keputusan dan kepedulian anak. Akhirnya, nilai-nilai
moral kemanusiaan menjadi living values dalam kehidupan dan perilaku anak
sehari-hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar