Kehilangan Baju
Kultural
Garin Nugroho ; Sutradara
Film
JAWA
POS, 11 Agustus 2012
Bulan Ramadan yang paling berkesan
buat saya masa anak-anak. Saat masa anak-anak itu, tradisinya masih kuat.
Banyak kegiatan yang terjadi sebelum dan saat Rmadan. Sebut saja padusan. Itu
adalah tradisi mandi bareng sebelum Ramadan. Itu kan masuk di wilayah
tradisi. Kalau sekarang, kan banyak gaya Timur Tengah-nya. Kalau bagi
saya, yang berkesan itu adalah muncul sukunya, muncul agamanya, muncul
tradisinya, itu sangat berkesan.
Saya waktu itu di Jogja tinggal di daerah Pakualaman. Kenapa padusan berkesan karena kita ramai-ramai.
Dan kemudian, kalau di Jogja, ada hubungannya dengan berbagai tontonan atau upacara. Sebut saja sekatenan, grebegan seperti grebeg mauludan. Itu dikelola dengan tradisi lokal. Menurut saya, itu cara menumbuhkan kehidupan beragama yang sangat luar biasa.
Sejak kecil hingga bangku SMP saya masih mengalami tradisi itu. Kalau di Jogja ada tradisi ndog abang, di Semarang dukdheran. Itu semua adalah baju kultural.
Saya menemukan bahwa agama dan kehidupan sehari-hari tumbuh bersama. Tumbuh bersama itu kan tidak hanya manusia dengan manusia, tapi manusia dengan potensinya. Ndog abang atau telur merah itu kan banyak yang jualan. Itu lokal betul. Itu religiusitas menghidupi alam lokal menggunakan bahan lokal untuk produktivitas warganya.
Bagi saya, agama itu kan lintas budaya. Ia tumbuh karena berada di kebudayaan masing-masing. Seperti cara berpakaian, itu kan disesuaikan dengan kondisi geografis. Kalau di Timur Tengah, ya pakaian budaya sana. Kalau di daerah tropis, ya pakaian daerah tropis. Beda.
Jadi, menurut saya, suku-suku itu merefleksikan berbagai cara suku itu tumbuh dan berkembang. Mulai cara hidup, cara pandang, cara reaksi, hingga cara bekerja. Semua disesuaikan dengan geografi maupun lingkungan demografi mereka. Maka, menurut saya, kebutuhan suku-suku menjadi sangat penting terhadap tata cara.
Menengok sejarah persebaran Islam di Jawa, saya teringat kepada sosok Sunan Kalijaga. Betapa sosok Sunan Kalijaga melakukan pendekatan kultural dalam menyebarkan Islam. Jika Anda ingat Sunan Kalijaga, dia menggunakan lima belimbing untuk menyimbolkan rukun Islam, lalu menggunakan gamelan dalam menyebarkan Islam. Pendekatan yang sedemikian rupa tidak menimbulkan benturan di masyarakat sekitar.
Pertanyaan saya, kenapa sekarang kita tidak menggunakan gamelan di masjid-masjid Jawa? Menurut saya, kita perlu bangun kembali. Mungkin sekarang orang melihat gamelan akan terasa aneh. Padahal, menurut saya, itu selayaknya bagian dari cara-cara menghidupi sebuah agama.
Di masa lalu, saya tumbuh secara sosial maupun individu melalui pendekatan. Saat seseorang tumbuh secara kultural, maka lebih bagus karena dia tidak memiliki banyak konflik. Islam kultural, menurut saya, perlu dibangun karena Islam seperti itu yang cocok dengan baju masing-masing. Kopiah, sarung, itu kan cocok, sesuai dengan baju kultural kita. Justru ketika budaya luar dipaksakan, timbul kontradiksi-kontradiksi.
Kalau mengingat masa itu, tentu saya merasa kehilangan. Saya merasa kehilangan karena zaman sudah berubah. Keindahan kostum kultural itu yang hilang. Pakai baju kebaya dengan selendang Sumatera sudah hilang berganti jilbab. Padahal, itu bagus, sangat cocok.
Agama saat ini tidak sepenuhnya menjadi medium kultural. Agama saat ini lebih menjadi medium pasar dan medium politik. Pasar itu kan seperti jilbab dengan macam-macam bentuknya, lalu banyak simbol lain yang ikut menjadi pasar. Agama juga sebagai simbol politik. Sebenarnya masyarakat memiliki sikap terbuka. Namun, di saat muncul masalah di tengah masyarakat, itu selalu dibawa ke konflik politik.
Karena menjadi konflik politik, agama menjadi sebuah kekuatan, kekuatan penekan, kekuatan suara, kekuatan untuk politik. Itulah yang menjadi masalah. Karena kemudian agama digunakan oleh politikus untuk berbagai kepentingan di masyarakat. Karena itu, timbul berbagai masalah. Muncul masalah sedikit, kemudian muncul problem karena dibawa ke politik dan ideologi. Itu merupakan persoalan yang besar, menurut saya.
Yang harus menjadi catatan di sini adalah ketidaktegasan aparat keamanan. Padahal, jika tegas, saya yakin, semua bisa diselesaikan. Misalnya sepak bola, pemain memukul. Dengan alasan apa pun, pemain itu dikeluarkan. Siapa pun bawa senjata, mau itu bambu, begitu terekam televisi, tangkap saja. Besok pasti tidak ada yang mau seperti itu. Karena ketegasan aparat tidak terjadi, terjadi pula konflik agama. ●
Saya waktu itu di Jogja tinggal di daerah Pakualaman. Kenapa padusan berkesan karena kita ramai-ramai.
Dan kemudian, kalau di Jogja, ada hubungannya dengan berbagai tontonan atau upacara. Sebut saja sekatenan, grebegan seperti grebeg mauludan. Itu dikelola dengan tradisi lokal. Menurut saya, itu cara menumbuhkan kehidupan beragama yang sangat luar biasa.
Sejak kecil hingga bangku SMP saya masih mengalami tradisi itu. Kalau di Jogja ada tradisi ndog abang, di Semarang dukdheran. Itu semua adalah baju kultural.
Saya menemukan bahwa agama dan kehidupan sehari-hari tumbuh bersama. Tumbuh bersama itu kan tidak hanya manusia dengan manusia, tapi manusia dengan potensinya. Ndog abang atau telur merah itu kan banyak yang jualan. Itu lokal betul. Itu religiusitas menghidupi alam lokal menggunakan bahan lokal untuk produktivitas warganya.
Bagi saya, agama itu kan lintas budaya. Ia tumbuh karena berada di kebudayaan masing-masing. Seperti cara berpakaian, itu kan disesuaikan dengan kondisi geografis. Kalau di Timur Tengah, ya pakaian budaya sana. Kalau di daerah tropis, ya pakaian daerah tropis. Beda.
Jadi, menurut saya, suku-suku itu merefleksikan berbagai cara suku itu tumbuh dan berkembang. Mulai cara hidup, cara pandang, cara reaksi, hingga cara bekerja. Semua disesuaikan dengan geografi maupun lingkungan demografi mereka. Maka, menurut saya, kebutuhan suku-suku menjadi sangat penting terhadap tata cara.
Menengok sejarah persebaran Islam di Jawa, saya teringat kepada sosok Sunan Kalijaga. Betapa sosok Sunan Kalijaga melakukan pendekatan kultural dalam menyebarkan Islam. Jika Anda ingat Sunan Kalijaga, dia menggunakan lima belimbing untuk menyimbolkan rukun Islam, lalu menggunakan gamelan dalam menyebarkan Islam. Pendekatan yang sedemikian rupa tidak menimbulkan benturan di masyarakat sekitar.
Pertanyaan saya, kenapa sekarang kita tidak menggunakan gamelan di masjid-masjid Jawa? Menurut saya, kita perlu bangun kembali. Mungkin sekarang orang melihat gamelan akan terasa aneh. Padahal, menurut saya, itu selayaknya bagian dari cara-cara menghidupi sebuah agama.
Di masa lalu, saya tumbuh secara sosial maupun individu melalui pendekatan. Saat seseorang tumbuh secara kultural, maka lebih bagus karena dia tidak memiliki banyak konflik. Islam kultural, menurut saya, perlu dibangun karena Islam seperti itu yang cocok dengan baju masing-masing. Kopiah, sarung, itu kan cocok, sesuai dengan baju kultural kita. Justru ketika budaya luar dipaksakan, timbul kontradiksi-kontradiksi.
Kalau mengingat masa itu, tentu saya merasa kehilangan. Saya merasa kehilangan karena zaman sudah berubah. Keindahan kostum kultural itu yang hilang. Pakai baju kebaya dengan selendang Sumatera sudah hilang berganti jilbab. Padahal, itu bagus, sangat cocok.
Agama saat ini tidak sepenuhnya menjadi medium kultural. Agama saat ini lebih menjadi medium pasar dan medium politik. Pasar itu kan seperti jilbab dengan macam-macam bentuknya, lalu banyak simbol lain yang ikut menjadi pasar. Agama juga sebagai simbol politik. Sebenarnya masyarakat memiliki sikap terbuka. Namun, di saat muncul masalah di tengah masyarakat, itu selalu dibawa ke konflik politik.
Karena menjadi konflik politik, agama menjadi sebuah kekuatan, kekuatan penekan, kekuatan suara, kekuatan untuk politik. Itulah yang menjadi masalah. Karena kemudian agama digunakan oleh politikus untuk berbagai kepentingan di masyarakat. Karena itu, timbul berbagai masalah. Muncul masalah sedikit, kemudian muncul problem karena dibawa ke politik dan ideologi. Itu merupakan persoalan yang besar, menurut saya.
Yang harus menjadi catatan di sini adalah ketidaktegasan aparat keamanan. Padahal, jika tegas, saya yakin, semua bisa diselesaikan. Misalnya sepak bola, pemain memukul. Dengan alasan apa pun, pemain itu dikeluarkan. Siapa pun bawa senjata, mau itu bambu, begitu terekam televisi, tangkap saja. Besok pasti tidak ada yang mau seperti itu. Karena ketegasan aparat tidak terjadi, terjadi pula konflik agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar