Bergesernya
Perilaku Ramadhan
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid Istiqlal
KOMPAS,
13 Agustus 2012
Salah satu perilaku Nabi Muhammad SAW yang
sangat menonjol selama bulan Ramadhan adalah sikap kedermaannya yang sangat
tinggi. Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas, menuturkan, ”Apabila datang bulan
Ramadhan, Nabi sangat dermawan ibarat angin yang kencang.”
Nabi Muhammad dermawan pada bulan-bulan
selain Ramadhan dan sangat dermawan pada bulan Ramadhan. Sikap sangat dermawan
ini, kendati sudah menjadi perilaku masyarakat Muslim masa lalu, tampaknya
telah terjadi pergeseran bagi Muslim masa kini. Dahsyatnya promosi konsumerisme
dan konsumtivisme yang gencar dilakukan jauh sebelum Ramadhan datang, saat dan
sesudah Ramadhan, telah mengubah perilaku Muslim selama Ramadhan jadi
konsumtif. Fenomena ini telah menarik seorang sosiolog dari Universitas Oxford,
Walter Armburst, yang pada 2004 melakukan penelitian tentang hal itu.
Ia berkesimpulan, Ramadhan telah menjadi
peristiwa yang dapat dipergunakan untuk tujuan multiguna. Ramadhan menjadi
sesuatu yang, lebih jauh, bisa dipakai untuk agenda yang berbeda-beda: mulai
dari menjual produk, merangsang produksi, hingga mempromosikan sikap politik.
Para pemasar kelas dunia sejak lama menandai kedatangan Ramadhan sebagai the most important business period.
Pada bulan ini umat Islam tak makan dan minum
seharian, tetapi ajaibnya konsumsi makanan meningkat signifikan (Indonesia Consumers, 2004; Zainal A
Hidayat, Kompas, 3/10/2006). Tempat-tempat belanja seperti mal dan supermarket
sangat ramai dipadati pengunjung selama Ramadhan. Perilaku konsumtif umat Islam
juga dipicu promosi produk dan jasa yang dikemas dengan kemasan ibadah. Sebut,
misalnya, paket umrah Ramadhan sehingga umat Islam jorjoran berumrah Ramadhan.
Konsumtif-Egoistis
Pada tahun 2009 diberitakan umat Islam yang
melakukan umrah Ramadhan mencapai 3,6 juta orang. Apabila berita ini benar,
jumlah umat Islam yang melakukan umrah Ramadhan tahun itu lebih banyak daripada
jumlah mereka yang melakukan ibadah haji. Apabila setiap orang mengeluarkan
uang rata-rata 2.000 dollar AS (sekitar Rp 18 juta), akan terkumpul 7,2 miliar
dollar AS yang dikeluarkan oleh umat Islam untuk perbuatan tidak wajib dan
tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Apabila jumlah itu ditambahkan
dengan hasil penelitian sebuah lembaga di Damaskus, Suriah, yang menyatakan
setiap tahun umat Islam mengeluarkan dana 5 miliar dollar AS untuk berhaji
ulang, maka jumlah itu menjadi 12,2 miliar dollar AS. Padahal, di saat yang
sama keadaan umat Islam secara umum masih terpuruk.
Perhatikan, misalnya, umat Islam di
Palestina, Somalia, Burma/Myanmar, bahkan di Indonesia sendiri. Apabila
mengikuti indikator Bank Dunia yang menyatakan orang miskin adalah orang yang
penghasilannya sehari kurang dari 2 dollar AS, jumlah orang miskin di Indonesia
yang mayoritas Muslim itu mencapai 117 juta orang.
Perilaku Ramadhan umat Islam Indonesia
tampaknya sudah bergeser dari perilaku dermawan dan berinfak, seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW, menjadi perilaku konsumtif dan egoistis yang
justru dilarang oleh Islam dan bertentangan dengan ajaran Ramadhan itu sendiri.
Pada tahun lalu, malam pertama bulan Ramadhan, Masjid Istiqlal memperoleh dana
infak dari tromol (kotak amal) shalat Tarawih Rp 23 juta, sementara tahun ini
malam pertama Ramadhan Masjid Istiqlal memperoleh dana infak shalat Tarawih Rp
16 juta. Sementara di Masjid Agung Sunda Kelapa, jika tahun lalu malam pertama
Ramadhan dari tromol shalat Tarawih terkumpul Rp 19 juta, tahun ini Rp 16 juta.
Kendati dua masjid di Ibu Kota ini belum
dapat dijadikan barometer menurunnya perilaku infak umat Islam Indonesia,
gejala tersebut patut menjadi renungan. Sebab, perilaku kita ternyata makin
jauh dari tuntunan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Umat Islam Indonesia
tampaknya memerlukan contoh aktual dari para pemimpin di semua lapisan agar
mampu memutar kembali kaset perilaku infak Nabi Muhammad SAW, bukan pemimpin
yang hanya pandai bersilat lidah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar