Dilema Solusi
Suriah
Zuhairi Misrawi ; Analis
Pemikiran dan Politik Timur Tengah
|
KOMPAS,
23 Agustus 2012
Organisasi Kerja Sama Islam
memutuskan membekukan keanggotaan Suriah menyusul krisis politik dan
kemanusiaan yang makin memburuk di negara itu. Dikabarkan, lebih dari 20.000
orang tewas dalam perang sipil antara kubu rezim Bashar al-Assad dan kubu
oposisi.
Sikap Organisasi Kerja Sama
Islam (dulu, Organisasi Konferensi Islam/OKI) tersebut sebetulnya memperkuat
dukungan dunia internasional terhadap pihak oposisi. Sebaliknya, Bashar
al-Assad semakin mengalami defisit dukungan politik dari dunia Islam dan dunia
Barat.
Beberapa minggu lalu, Arab
Saudi melontarkan inisiatif di Majelis Umum PBB agar al-Assad meletakkan
kekuasaannya kepada pihak oposisi dan mendorong demokratisasi. Inisiatif
tersebut didukung sebagian besar anggota PBB sebagai solusi mengakhiri krisis
kemanusiaan di Suriah. Ada 133 negara yang mendukung prakarsa Arab Saudi.
Namun, sebagaimana
dimaklumi, proposal tersebut tak punya dampak di lapangan. Rezim Bashar
al-Assad hingga saat ini masih menunjukkan taringnya dan berusaha mengendalikan
sejumlah wilayah yang bergejolak, khususnya Hama, Deraa, Aleppo, dan Damaskus.
Alih-alih mematuhi hasil voting Majelis Umum PBB, rezim al-Assad justru
mengecam balik inisiatif yang disodorkan Arab Saudi.
Rezim al-Assad berpandangan,
yang dapat menentukan transisi demokrasi di Suriah adalah rakyat Suriah
sendiri, bukan negara-negara lain. Apalagi Arab Saudi sebagai inisiator dinilai
tak punya hak mengatasnamakan demokrasi karena mereka sendiri termasuk negara
yang antidemokrasi. Sebuah negara yang tidak demokratis tak pantas memaksa
negara lain agar melakukan transisi demokrasi. Di dalam pepatah Arab dikenal,
tong kosong tak bisa dijadikan panutan (faqid
al-syai' la yu'thihi).
Pemandangan tersebut
menunjukkan betapa kusutnya masa depan Suriah. Berbagai solusi yang
disodorkan—baik oleh pihak oposisi, dunia Arab, maupun dunia internasional—kandas
di tengah jalan. Dalam realitasnya, al-Assad masih bersikukuh pada pendiriannya
untuk tak menyerah pada tuntutan yang menghendaki pelengseran dirinya.
Menurut analis Michael
Broning (Foreign Affairs, 7 Maret 2011),
sikap defensif atas berbagai tuntutan dunia internasional yang diekspresikan
al-Assad punya landasan politik yang kuat. Meskipun sejumlah tentara telah
melakukan pembelotan, tetapi secara umum hingga saat ini militer Suriah masih
menunjukkan loyalitasnya terhadap rezim.
Hal ini karena militer dikendalikan
sepenuhnya oleh keluarga dan kroni rezim al-Assad. Sekte Alawite juga menjadi
salah satu pihak yang masih memberikan dukungan terhadap rezim sehingga dapat
memperkuat kepercayaan diri untuk mempertahankan kekuasaannya. Di samping itu,
usia Bashar al-Assad yang relatif muda (45 tahun) juga menjadi pembeda dengan
rezim-rezim negara Arab lainnya yang sudah tumbang terlebih dahulu karena usia
mereka saat memimpin negara masing-masing relatif sudah lanjut usia.
Rusia dan China
Faktor lain yang menjadi
penyebab mandulnya solusi internasional terhadap revolusi di Suriah karena
Rusia dan China masih bertahan pada posisinya menggunakan hak veto menolak
intervensi negara-negara Barat dalam masalah Suriah. Rakyat Suriah mempunyai
kedaulatan politik untuk menentukan jatuh bangunnya kekuasaan al-Assad.
Intinya, Rusia dan China
tidak ingin nasib al-Assad seperti Moammar Khadafy di Libya. Sebaliknya, kedua
negara itu menghendaki skenario revolusi Mesir dapat jadi alternatif bagi
solusi kebuntuan politik di Suriah.
Menurut Hassan Hanafi di
harian Almasry al-Youm, sikap yang diambil Rusia dan China punya latar historis
yang panjang soal kedekatan kedua negara tersebut dengan mendiang Hafedz
al-Assad. Partai Baats merupakan mitra strategis bagi Uni Soviet, yang ditengarai
masih memiliki hubungan kuat dengan Rusia. Ada dimensi ideologis di balik
dukungan Rusia dan China terhadap rezim al-Assad. Rusia dan China tidak ingin
kecolongan memberikan keleluasaan bagi Barat dalam mendikte negara-negara Arab,
khususnya yang sedang disapu angin revolusi.
Akan tetapi, lanjut Hanafi,
di samping alasan ideologis, terdapat dimensi kepentingan pragmatis di balik
dukungan kedua negara tersebut terhadap rezim yang berkuasa saat ini. Hal
tersebut terkait dengan kepentingan politik dan ekonomi sebagai konsesi dari
aliansi ideologis.
Rusia dan China tidak ingin
kehilangan mitra strategis di Timur Tengah. Apalagi selama ini suplai
perdagangan persenjataan ke Suriah didatangkan dari Rusia. Sementara China
dalam beberapa tahun terakhir semakin menancapkan gurita bisnisnya di Timur
Tengah dan Afrika Utara.
Dengan demikian, revolusi
yang bergelora di Suriah menemukan kebuntuan dan minus solusi mujarab.
Tarik-menarik kepentingan pada ranah global akan sulit menemukan titik temu
karena dilandasi kepentingan politik dan ekonomi yang berbeda antara satu
negara dan negara yang lain.
Krisis Kemanusiaan
Terlepas dari itu semua,
masalah pelik di depan mata yang mesti mendapatkan perhatian dunia
internasional, yaitu pentingnya mengakhiri perang sipil yang makin brutal di
antara pihak rezim al-Assad dengan kalangan oposisi. Saban hari, puluhan,
bahkan ratusan, orang tewas dalam jual-beli serangan di antara kedua belah
pihak.
Hal tersebut telah
menyebabkan derasnya arus eksodus warga Suriah ke sejumlah negara tetangga, di
antaranya Lebanon, Turki, dan Jordania. Sementara itu, dunia Arab dan dunia
internasional tidak mampu menghentikan aksi perang sipil.
Mestinya, kedua belah pihak
yang bertikai dapat mengambil jalan diplomasi dan media dialog untuk mengambil
solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Solusi Tunisia dan Yaman dapat
dijadikan sebagai salah satu pijakan politik untuk mengakhiri perang sipil,
yang juga harus melibatkan negara-negara yang mempunyai hak veto di PBB.
Amerika Serikat dan negara-negara
sekutunya harus melakukan perundingan serius dengan Rusia dan China untuk
mengambil solusi yang dapat dijadikan jalan tengah dalam menyelesaikan kemelut
politik di Suriah. Langkah ini penting dalam rangka menyelamatkan warga Suriah
yang sedang mengalami krisis kemanusiaan cukup serius.
Di samping itu, ancaman
menguatnya anasir-anasir kekuatan teroris di Suriah sama sekali tidak
menguntungkan negara-negara yang selama ini memainkan kartu politik dan
ekonomi. Selama revolusi menyeruak di dunia Arab, kelompok teroris merupakan
salah satu kelompok yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Amerika
Serikat, Rusia, dan China mesti serius dalam mengantisipasi ancaman terorisme
di Suriah dan dunia Arab pada umumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar