Revitalisasi
Bulog
Sapuan Gafar ; Mantan
Sekretaris Menteri Pangan dan Wakil Kepala Bulog
|
KOMPAS,
23 Agustus 2012
Kemelut pangan akhir-akhir
ini menggugah nostalgia: banyak yang mengharapkan pemerintah melakukan
intervensi yang lebih nyata dalam urusan pangan, terutama pangan pokok dan
strategis. Mereka berharap fungsi Bulog dapat dikembalikan seperti dahulu.
Pemerintah akhirnya menjawab
dengan rencana akan melakukan revitalisasi peran Bulog. Apakah nasibnya juga
akan sama dengan revitalisasi pertanian yang dicanangkan tahun 2005?
Untuk mengkaji revitalisasi
peran Bulog, referensinya tentu apa yang dikerjakan Bulog pada era pemerintahan
Soeharto. Mengapa Bulog sedemikian ”perkasa” pada masa itu? Apakah
faktor-faktornya sekarang masih mendukung? Setelah banyak faktor berubah,
apakah kita dapat membalik arah jarum jam?
Sewaktu berdiri tahun 1967,
Badan Urusan Logistik (Bulog) sudah dihadapkan pada kontroversi. Pemerintah tak
memiliki anggaran (APBN) untuk membiayai operasi Bulog. Akhirnya diputuskan
Bulog menggunakan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Dengan demikian, lembaga
Bulog jadi aneh: lembaga pemerintah, tetapi anggarannya memakai kredit bank.
Selain itu, Bulog juga tidak diperbolehkan menambah pegawai negeri baru, tetapi
dapat mengangkat pegawai atas beban Bulog sendiri. Hal ini menambah keanehan
lagi, lembaga pemerintah yang pegawainya bukan pegawai negeri.
Dengan bentuk lembaga yang dianggap
nyleneh (tidak lazim) tersebut justru membuat Bulog lebih leluasa mengembangkan
tugas-tugasnya. Dari Bulog lahir konsep stabilisasi harga beras berdasarkan
teori ”waduk”; pada saat panen padi Bulog menampung surplus musiman, pada waktu
paceklik Bulog menyalurkan beras melalui operasi pasar.
Keberhasilan Bulog
mengimplementasikan konsep stabilisasi harga menjadikan Bulog mendapat tugas
menangani berbagai komoditas pangan pokok dan strategis.
Kunci Sukses Bulog
Apabila kita mempelajari
sukses Bulog masa lalu, setidaknya terdapat tiga faktor kunci, yaitu Bulog
memiliki modal dasar, modal pendukung, dan modal pelengkap. Modal dasar
merupakan faktor utama kunci sukses Bulog. Modal dasar pertama dan utama,
lembaganya ”dipercaya”. Waktu itu lembaga Bulog dipercaya oleh pemerintah dan
masyarakat karena dapat menyelesaikan masalah pangan dengan cepat sesuai
tuntutan pada masa itu. Seperti halnya lembaga KPK saat ini, dia menjadi
lembaga yang kuat karena dipercaya oleh masyarakat.
Modal dasar kedua, lembaga
Bulog ”dibutuhkan”. Lembaga itu dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai masalah
pangan yang pasarnya belum tumbuh baik atau dikuasai kekuatan pasar tertentu,
perdagangan antartempat belum lancar, dan perbedaan harga antarmusim masih
terlalu lebar. Seperti halnya Perum Pegadaian, yang tumbuh di mana-mana karena
dibutuhkan masyarakat.
Selanjutnya, modal dasar
ketiga, cara kerjanya mrantasi, yaitu menyelesaikan masalah dengan baik dan
tuntas. Cara kerja Bulog itu mrantasi karena dia dapat menyelesaikan masalah mendesak
secara cepat sesuai kondisi pada waktu itu. Bulog mendukung penuh kebijakan
pemerintah dan pemerintah pun konsekuen mengganti biaya yang diperlukan sesuai
ketentuan dan prosedur yang berlaku. Dengan demikian, apabila Bulog dapat
tugas, akan diselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Adapun faktor pendukung
terdiri dari pembiayaan yang cukup, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni
(kompeten), dan dukungan ”politik” yang penuh dari pemerintah. Sistem
pembiayaan Bulog melalui kredit bank dikaitkan dengan penyaluran beras untuk
PNS/ TNI-Polri sehingga membuat kredit tersebut sangat aman. Sistem ini juga
membuat pekerjaan Bulog tidak harus menunggu keluarnya APBN sebagai pelunasan
penyaluran beras. Penarikan kredit dari bank dengan sistem letter of credit (L/C)
per jenis kegiatan. L/C untuk pembelian hanya dapat dipakai untuk pembelian,
L/C tersebut tidak dapat dipakai untuk membayar biaya angkutan dan lain-lain.
Sebagai faktor pendukung
kedua, Bulog didukung oleh SDM mumpuni yang dipilih dari perguruan tinggi di
seluruh Indonesia. Mereka mendapat pelatihan cukup di dalam dan luar negeri dan
diberi kepercayaan penuh untuk menyelesaikan masalah dengan dukungan anggaran
yang jelas. Karena reputasinya, Bulog menjadi tempat belajar lembaga lain dan
juga dari luar negeri. Malah ada staf Bulog yang dikirim ke beberapa negara
oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) untuk memberikan asistensi.
Faktor pendukung ketiga
berupa dukungan penuh dari presiden serta dukungan departemen lain dan
pemerintah daerah. Dukungan pemerintah daerah, antara lain, diwujudkan dalam
bentuk dukungan terhadap pengadaan pangan yang jadi salah satu kunci sukses
daerah. Dukungan politik saat ini menjadi rumit karena antara pemerintah dan
parlemen terkesan saling ”menyandera”. Pemerintah pusat dan daerah terkesan
jalan sendiri-sendiri. Apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat belum tentu
diterima pemerintah daerah.
Sementara kunci sukses Bulog
berupa faktor penunjang adalah adanya perangkat lunak dan perangkat keras yang
memadai. Perangkat lunaknya, antara lain, berupa struktur organisasi yang
fleksibel sesuai tuntutan tugas. Perangkat lunak lainnya yang sangat dirasakan
oleh karyawan adalah gaya kepemimpinan yang ngayomi dan ngayemi. Ngayomi
berarti pimpinan memberikan perlindungan kepada bawahan yang menjalankan tugas
sesuai aturan, sedangkan ngayemi maksudnya pimpinan menjadikan bawahan ayem
karena kesejahteraannya diperhatikan.
Adapun perangkat kerasnya,
Bulog memiliki jaringan kantor dan gudang yang tersebar di seluruh Indonesia
dengan kapasitas 3,5 juta ton. Akibat krisis pangan 1972, pemerintah
membulatkan tekad untuk mempunyai cadangan pangan yang cukup untuk menghadapi
guncangan harga pangan dunia dengan membangun gudang baru.
Revitalisasi Bulog
Melihat kenyataan di atas,
saat ini tidak banyak faktor yang mendukung lembaga Bulog dapat berperan
seperti dahulu. Soal kepercayaan publik terhadap Bulog memang masih ada, tetapi
apabila derajat kepercayaan dibuat skala 0-1, mungkin tidak berada pada angka
tertinggi, yaitu 1 (sangat dipercaya).
Apakah lembaga ini masih
dibutuhkan? Jawabannya akan bergantung pada kepentingannya. Petani dan rakyat
kecil akan mendukung Bulog, tetapi yang pahamnya pro-pasar jelas akan berusaha
menghalanginya. Selanjutnya, apakah cara kerjanya mrantasi? Hal ini merupakan
sesuatu yang dapat diusahakan, tetapi dengan syarat prinsip kerja Bulog harus
fokus, komitmen pada sasaran, profesional dan memiliki etos kerja tinggi, serta
tidak cepat merasa puas. Dengan demikian, modal dasarnya masih ada, tetapi akan
sangat bergantung pada kinerjanya nanti.
Saat ini faktor yang tidak
mendukung adalah sistem pembiayaan. Apabila bentuknya lembaga pemerintah
non-kementerian (LPNK), sistem pembiayaannya harus melalui APBN dan lembaganya
hanya ada di pusat. Kemudian, ada beberapa undang-undang yang harus
disesuaikan. Beranikah pemerintah melakukannya demi revitalisasi Bulog? Apabila
bentuknya perusahaan umum (perum) juga serba salah, seperti sekarang ini sering
dikritik bahwa yang dipikirkan Bulog hanya mencari keuntungan. Namun, itulah yang
kita hadapi: memilih bentuk LPNK sulit dipenuhi, memilih bentuk perum dalam
rapat koordinasi dianggap tidak dapat mewakili pemerintah.
Secara teknis, apabila
anggaran Bulog menggunakan APBN, akan mengalami kesulitan karena operasi Bulog
dimulai pada bulan Januari, sedangkan anggaran pemerintah biasanya baru cair
pada bulan Juni. Selain itu juga terkendala aturan bahwa LPNK hanya lembaga
pusat, tidak boleh memiliki cabang di daerah. Untuk menyesuaikan dengan aturan
tersebut, bentuk Bulog diubah menjadi perum pada 2003.
Belum lagi soal dukungan
politik. Dengan konstelasi politik saat ini, tampaknya sulit bagi Bulog atau
bagi lembaga mana pun untuk mendapat dukungan penuh dari pemerintah, DPR, dan
masyarakat. Selain itu, masalah birokrasi juga merupakan masalah yang dihadapi
Perum Bulog karena tidak jelas instansi induknya. Saat ini sedikitnya ada enam
instansi yang harus dilalui untuk menjalankan tugas yang dibebankan kepada
Bulog.
Sebenarnya, yang terasa
hilang setelah dibubarkannya menteri negara urusan pangan, yaitu lembaga yang
merumuskan kebijakan pangan dan mengoordinasikan kegiatan urusan pangan.
Mengikuti cara berpikir saat ini, regulator tak boleh merangkap operator, maka
regulator sendiri juga tidak ada. Apabila cara berpikir ini dianggap benar, sebaiknya
diangkat menteri pangan baru dengan tugas sebagai regulator kebijakan pangan,
mengoordinasikan urusan pangan yang dilaksanakan oleh kementerian dan daerah.
Tugas mengurus cadangan pangan pemerintah dan membina cadangan pangan
masyarakat dapat dilimpahkan kepada menteri pangan.
Kemudian, apa tugas Perum
Bulog? Lembaga ini bertugas sebagai operator dari tugas menteri pangan sebagai
pengelola cadangan pangan. Menteri pangan tinggal membayar biaya-biaya yang
dikeluarkan Perum Bulog dalam mengelola cadangan pangan pemerintah. Dengan
demikian, Perum Bulog lebih fokus sebagai badan usaha yang mengurus logistiknya
menteri pangan di samping bisnis lainnya. Dengan demikian, tidak perlu lagi
Bulog ditarik-tarik lagi menjadi LPNK. Kita sulit memutar balik arah jarum jam.
Namun, saran ini memerlukan keberanian untuk dapat dilaksanakan karena kita
terjerat dengan peraturan yang telah kita buat sendiri.
Semoga
nasib revitalisasi Bulog tidak sama dengan revitalisasi pertanian yang tidak
jelas kabarnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar