Kembali ke Jalan
Lurus (1)
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 22 Agustus 2012
Mulai ramai dibicarakan di
mana-mana agar kita segera kembali ke jalan lurus, jalan Pancasila. Orang-orang
pengemban nasionalisme mulai muak dengan liberalisme dan liberalisasi ekonomi
yang dipelihara di negeri ini.
Dalam berbagai pembicaraan
publik, mereka bisa tunjuk hidung siapa saja oknum-oknum liberalis,
kampus-kampus mana saja yang menjadi benteng liberalisme, bahkan
menteri-menteri yang mana saja yang tergolong kawanan kapitalisme global, siapa
saja komprador-komprador Konsensus Washington yang tidak memiliki semangat
nasionalisme.
Apabila 5 Juli 1959 kita catat
sebagai puncak tekad bangsa ini kembali ke cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
berupa Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945, maka pada 5 Juli 2012 adalah
deklarasi “kembali ke Pancasila”, yang diprakarsai antara lain oleh Forum
Komunikasi (Foko) TNI dan Polri, Jalan Lurus, Barisan Nasional (Barnas), Nusantara
Institut, Jatidiri Bangsa, Legiun
Veteran Republik Indonesia (LVRI), Dewan
Harian Nasional (DHN) 1945, dan
lain-lainnya.
Selain tokoh-tokoh nasional,
purnawirawan TNI/Polri, tak ketinggalan tokoh-tokoh kampus, dan pemuda
nasionalis, numplek hari itu di Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), mendeklarasikan Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP). Pembina GPP adalah Try Sutrisno
dan Sekretaris Saiful Sulun.
Kita berontak terhadap penjajahan
Belanda tidak terlepas dari penolakan terhadap sistem ekonomi liberal yang
membentuk kapitalisme dan penindasan kolonial. Mohammad Hatta ketika diangkat
menjadi pemimpin Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1926) pidato
inagurasinya berjudul “Economische
Wereldbouw en Machtstegenstellingen” (Bangunan Ekonomi Dunia dan
Pertentangan Kekuasaan) mengutuk tajam liberalisme, kapitalisme dan
imperialisme.
Digambarkannya dalam pidato itu bakal pecahnya perang di
Pasifik antara Timur dan Barat, yang ternyata benar-benar terjadi 16 tahun
kemudian pada 1942.
Kemudian dalam pembelaan (pleidooi)-nya di Pengadilan Den Haag
9 Maret 1928 Hatta yang saat itu
berusia 25 tahun telah menolak
liberalisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan mengatakan di depan Hakim
“lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel
bangsa lain”.
Antara tahun 1931-1934 penolakan
itu dalam artikel-artikelnya, “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”,
dalam Daulat Ra’jat, 20 November
1931 dan artikel-artikel berikutnya “Pendirian Kita” (Daulat Ra’jat, 10
September 1932).
“Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat
Indonesia” (Daulat Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat,
20 November 1933), dan yang paling monumental artikelnya yang berjudul “Ekonomi
Ra’jat dalam Bahaja” (Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Kesemuanya menggambarkan
keganasan kapitalisme yang menghancurkan ekonomi rakyat di Hindia Belanda.
Sepulangnya dari Negeri Belanda
akhir 1932 tidak lama Hatta bebas bergerak, ia ditangkap dan masuk Penjara
Glodok pada 1933 selama hampir satu tahun. Kemudian Hatta langsung dibuang ke
Boven Digoel, Tanah Merah, tempat pembuangan yang paling kejam dan mengerikan.
Di dalam Penjara Glodok itu ia
menulis buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (dicetak 1934), di situ ditegaskan
oleh Hatta penolakannya terhadap sistem pasar-bebas sebagai lahan hidupnya
liberalisme ekonomi.
Ia menegaskan “…teori Adam Smith
berdasar kepada perumpamaan homo economicus, yakni orang ekonomi, yang
mengetahui keperluannya yang setinggi-tingginya, yang mengetahui kedudukan
pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional… sebab itu dalam
praktik laisser-faire stelsel – persaingan merdeka – tidak bersua maksimum
kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith… Ia memperbesar mana yang kuat,
menghancurkan mana yang lemah…”. Apa yang dikemukakan Hatta tahun 1934 ini
kiranya merupakan embrio Pasal 33 UUD 1945 yang menolak pasar bebas.
Liberalisme berubah lebih ganas
dan predatorik menjadi neoliberalisme bersamaan dengan intensnya globalisasi
rakus. Memang ada pendapat lain yang menganggap neoliberalisme adalah
neo-Post-Keynesian yang tidak strukturalistik.
Neoliberalisme ibarat istilah
baru sebagaimana globalisasi juga istilah baru dalam kamus bahasa Inggris.
Pandangan Hatta adalah strukturalisme, pemikiran ekonomi yang mengungkap,
mengusut dan berupaya mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Saat ini, kaum neoliberalis dan
pembela-pembelanya makin terang-terangan mengabaikan Pancasila dan UUD 1945,
khususnya Pasal 33-nya. Saya ikut
membela Serikat Pekerja PLN sebagai Saksi di Mahkamah Konstitusi berkaitan
dengan permohonan judicial review menolak UU No 30/2009 agar terhadap PLN tidak
dilakukan unbundling lalu bisa dipakai “bancaan” (ramai-ramai dijarah) melalui
privatisasi.
Saksi pihak pemerintah Prof
Radjagukguk membela UU No 30/2009 mengutipkan bahwa Bung Hatta tidak
berkeberatan adanya kerja sama dengan investor asing, tidak pula antipinjaman
luar negeri. Demikian pula di harian nasional terkemuka ada iklan anonim yang
membela liberalisme, mengungkapkan: “Bung Hatta antikapitalisme, tetapi tidak
antikapital…jadi Bung Hatta tidak anti-investasi asing.”
Lalu apa hebatnya kutipan
pandangan Bung Hatta oleh Radjagukguk ini untuk membela privatisasi yang
kemudian nanti pasti menjadi awal asingisasi. Semua orang terpelajar toh sudah tahu bahwa Bung Hatta, juga Bung Karno bukanlah xenophobic, tidak antiasing.
Pandangan Prof Radjagukguk yang
mencuat dari kacamata liberalnya diulang lagi dalam sebuah harian nasional
tanggal 27 Juli, katanya “…Bung Hatta tidak antiasing, jadi Pasal 33 tidak
antiasing…jadi UU Migas No 22/2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945.” Bukan
main, doktrin Demokrasi Ekonomi yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945
direduksi dan dipelintir habis-habisan dari konteks Demokrasi Ekonomi.
Bung Hatta mengartikan Demokrasi
Ekonomi sebagai: “… Tidak seorang atau
satu golongan kecil yang menguasai penghidupan orang banyak, melainkan
keperluan dan kemauan orang banyak harus menjadi pedoman …” Inilah titik tolak doktrin ekonomi
nasional Indonesia – anti-individualisme, liberalisme dan kapitalisme.
Ditegaskan pula dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 bahwa
arti Demokrasi Ekonomi lebih lanjut adalah “kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama (mutualism, pen.) berdasar atas asas kekeluargaan (brotherhood, pen.)…”. (Penjelasan UUD
1945 asli tetap berlaku pada pasal-pasal atau ayat-ayat yang tidak diamendemen
pada UUD 2002 – Maria Farida, Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi.) ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar