Selasa, 14 Agustus 2012

Pungli No, Pecat Yes


Pungli No, Pecat Yes
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO,  14 Agustus 2012


Kemenkumham terus berbenah. Salah satunya berperang melawan pungli, berperang melawan perilaku koruptif. Tidak mengherankan, meskipun ada beberapa capaian membanggakan, ikhtiar antikorupsi dan antipungli terus kami teriakkan dengan lantang.
Di antara capaian yang ada misalnya audit BPK wajar tanpa pengecualian selama dua tahun berturut- turut; hasil penilaian KPK terhadap Penilaian Inisiatif Antikorupsi dan survei integritas sektor publik di beberapa unit kerja Kemenkumham yang meningkat dari 3,01 menjadi 6,09; serta laporan harta kekayaan pejabat di lingkungan Kemenkumham yang saat ini hampir 100%,dari sebelumnya hanya 7% pada akhir 2011.

Namun, capaian-capaian itu bukan berarti korupsi dan pungli sudah sirna dari Kemenkumham. Tidak sulit untuk menemukan fakta bahwa pungli masih menjadi praktik yang harus terus diberantas dengan konsisten. Menkumham dan saya sering turun ke lapangan, langsung mengecek dan menemukan praktik pungli masih menjadi praktik keseharian.

Suatu hari saya menemukan dua oknum calo melakukan praktik di lingkungan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU). Laporan masuk dari rekan bahkan istri saya sendiri tentang pengurusan yayasan yang bertele-tele. Bisa dipercepat dengan membayar pungli. Nomor ponsel sang calo saya dapatkan. Langsung saya telepon, menyamar sebagai pihak yang mengaku membutuhkan jasa percepatan.

Sang calo menjawab lucu, “Bisa Mas, saya bantu. Kita langsung ketemu saja. Tapi, jangan sekarang soalnya di kantor ada Pak Wamen lagi sidak.” Saya tersenyum kecut. Membayangkan wajah sang calo seandainya dia tahu bahwa yang menelepon adalah Wamenkumham sendiri. Hari itu dua calo saya tangkap dan bawa ke kantor.

Kepada keduanya, saya menggali informasi bagaimana modus pungli dilakukannya, siapa saja orang dalam yang terlibat. Target saya adalah menambal dan memperbaiki sistemnya agar pungli tidak bisa lagi dilakukan. Selain SMS, informasi kepada saya datang dari segala arah, telepon, BBM,Twitter, dan lain-lain. Nomor ponsel dan PIN BlackBerry memang selalu saya sebarkan di banyak kesempatan.

Dari Twitter misalnya, saya mendapatkan pengaduan proses pembuatan paspor yang masih membayar lebih, pungli penertiban warga negara asing di salah satu apartemen mewah di Jakarta, hingga pungli USD400 kepada warga negara Pakistan ketika masuk Bandara Soekarno-Hatta. Semua kami investigasi serius. Untuk kasus yang terakhir misalnya, saya langsung mengecek di bandara.

Sistem keimigrasian kita memang sudah jauh lebih baik. Petugas yang melayani sudah dapat dideteksi dengan mudah. Maka itu, saya meminta oknum petugas yang dicurigai diambil fotonya, lalu dikirimkan melalui e-mail ke korban pungli di Pakistan. Tidak sulit bagi warga negara Pakistan itu untuk mengidentifikasi oknum petugas yang meminta uang. Saya pun langsung melakukan interogasi, dan akhirnya pungli USD400 tersebut diakui.

Uang itu sudah kami kembalikan kepada korban, dan oknum pelaku segera mendapatkan sanksi disiplin yang setimpal. Pada kesempatan lain, saya menerima SMS terkait oknum petugas lapas di Yogyakarta yang berusaha menjual kursi calon PNS (pegawai negeri sipil). Kebetulan saya ada agenda ke Yogyakarta, informasi itu saya tidak lanjuti. Sebagaimana pasaran umumnya, sang oknum dilaporkan meminta uang Rp150 juta.

Model investigasi ekspres kami lakukan dalam hitungan 2- 3 jam saja. Pemberi uang berhasil dihubungi dan mengaku telah menyerahkan uang Rp25 juta. Oknum penerima akhirnya tidak berkutik, dan mengakui telah menerima uang tersebut sebagai uang muka dari transaksi total Rp150 juta.

Kepada Kakanwil Yogyakarta segera saya perintahkan untuk memberi sanksi tegas kepada oknum yang bersangkutan. Laporan yang lebih banyak berkait pungli dan korupsi di lembaga pemasyarakatan. Laporan yang tentu harus diverifikasi tersebut hampir tiap hari saya terima karena setiap kali ke lapas atau rutan saya memang selalu membagikan nomor ponsel dan PIN BlackBerry kepada warga binaan.

Bukan berarti mereka dapat memiliki telepon genggam, tapi agar bisa melaporkan setiap penyimpangan langsung kepada saya, melalui telepon saudara-saudaranya, misalnya pada jam besuk. Pungli besuk, sewa ruang sel, fasilitas di lapas, hingga harga remisi, pembebasan bersyarat, dan lain-lain adalah pengaduan yang jamak masuk di telepon genggam saya. Semuanya setelah diverifikasi segera kami ambil tindakan penertiban.

Masih banyak lagi kisah pungli pada unit kerja lain di Kemenkumham, yang pengaduannya saya terima seperti pendaftaran paten, merek, dan hak cipta yang membayar puluhan juta rupiah hingga penempatan notaris di Jakarta yang perlu membayar ratusan juta. Kesemuanya menjadi pekerjaan rumah yang harus kami benahi dengan serius dan terus-menerus.

Meskipun tidak mudah, business process di setiap unit di Kemenkumham memang harus terus diperbaiki agar pelayanan publik kami lebih bersih dari pungli. Dalam waktu dekat, kami akan fokus memfinalisasi standard operating procedure (SOP) di Ditjen Pemasyarakatan. Kami akan membuat semiloka di seluruh region Tanah Air meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Bali, serta Maluku dan Papua.

Seluruh unit pemasyarakatan, lebih dari 500, akan aktif berdiskusi untuk membahas SOP, utamanya di lapas dan rutan. Termasuk yang perlu dilengkapi adalah sistem pengaduan yang menjamin keamanan bagi para pelapornya (whistle blowing system). Untuk itu, saya mengapresiasi dan ingin mengadopsi sistem pengaduan yang dimiliki KPK dan Kementerian Keuangan. Keduanya, menurut saya, sudah memiliki sistem pengaduan yang mulai teruji efektivitasnya.

Sementara ini, sistem pengaduan masih kami tangani secara personal, yang tentu saja tidak tepat dan kurang efektif.Sistem pengaduan personal kepada menteri dan saya harus digeser menjadi sistem yang lebih institusional. Dalam sistem yang lebih terlembaga tersebut, pengadu tidak hanya akan terlindungi identitasnya, tapi juga berkewajiban untuk menyampaikan fakta,bukan fitnah.

Meskipun, di sisi lain,unit pengaduan tentu punya kewajiban untuk memverifikasi kebenaran dari setiap laporan yang diterima. Akhirnya mekanisme penerimaan pengaduan tentu harus digandengkan dengan sistem reward and punishment yang efektif. Jika pengadu adalah pegawai Kemenkumham, jenjang kariernya harus mendapatkan promosi sebagai bentuk apresiasi, bukan justru dihukum.

Sebaliknya, pelaku korupsi ataupun pungli harus mendapatkan sanksi yang tegas.Ke depan tidak boleh ada lagi oknum penerima pungli hanya diberikan sanksi disiplin yang ringan misalnya hanya teguran tertulis. Sudah bukan masanya lagi kita bertoleransi. Pungli pada dasarnya korupsi meskipun nilainya tidak besar. Maka itu, sanksinya seharusnya hukuman disiplin berat. Jika memenuhi unsur delik, sangat mungkin juga dijerat dengan sanksi pidana.

Ke depan kami tidak ragu untuk menjatuhkan sanksi disiplin hingga kepada pemecatan. Sanksi berat hingga pemecatan tersebut sangat penting untuk mengirimkan sinyal bahwa pungli tidak dapat ditoleransi sedikit pun. Singkatnya : pungli no, pecat yes!

Semuanya kita dedikasikan untuk Kemenkumham yang lebih antikorupsi, lebih antipungli. Kemenkumham yang lebih baik. Semuanya kita ikhtiarkan untuk Indonesia yang lebih baik. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar