Optimisme
di Balik Kelangkaan Kedelai
Herry Suhardiyanto ; Rektor IPB dan Wakil Ketua Komite
Inovasi Nasional RI
MEDIA
INDONESIA, 01 Agustus 2012
KRISIS pangan akan selalu menjadi ancaman bagi setiap negara
apabila produksi pangan negara tersebut jauh di bawah kebutuhan nasionalnya.
Kelangkaan kedelai yang pada saat ini kita alami tentu tidak berarti telah
terjadi krisis pangan karena kedelai hanya salah satu dari sekian banyak
komoditas pangan yang menjadi menu makanan kita sehari-hari.
Namun, keluarga yang mengandalkan tahu dan tempe sebagai sumber
protein sekarang harus repot mencari alternatif sumber protein yang lain. Ketergantungan
terhadap pangan impor sering mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga di
pasar dalam negeri.
Kelangkaan kedelai pada saat ini menyadarkan kita bahwa kita perlu
mengantisipasi kemungkinan yang dapat terjadi kapan saja. Hari-hari ini kita
disadarkan kembali akan perlunya bangsa ini mempunyai sistem produksi pangan
yang tangguh. Beberapa tahun yang lalu, ketika harga kedelai naik, kita pernah
menyadari perlunya kita lebih sungguh-sungguh lagi membangun kemampuan
memproduksi kedelai. Lalu, kita pun terlena dengan prioritas lain dan kejadian
itu tidak mampu menghadirkan solusi mendasar atas persoalan ketergantungan
kepada kedelai impor, sampai kejadian serupa kita alami kembali pada saat ini.
Kebijakan pemerintah menurunkan bea masuk impor dan mendorong
koperasi atau kelompok pengusaha tahu dan tempe untuk dapat mengimpor langsung
kedelai dengan harapan dapat memotong rantai tata niaga memang sudah tepat dan
harus diambil pada saat ini.
Namun, berkurangnya pasokan kedelai impor karena turunnya produksi
di Amerika Serikat sebagai dampak kekeringan tentu tidak serta-merta dapat
dipulihkan. Selain itu, belum kuatnya sistem produksi kedelai di dalam negeri
turut memberikan andil terhadap kelangkaan kedelai.
Untuk mengatasi kelangkaan kedelai, kita tidak bisa hanya
mengandalkan instrumen kebijakan perdagangan. Itu juga harus mencakup penguatan
sistem produksi di dalam negeri, terutama untuk mencegah kejadian seperti ini
terulang lagi pada masa yang akan datang.
Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia harus
memiliki grand strategy dalam
membangun sistem produksi pangan yang tangguh sehingga terbebas dari
ketergantungan kepada pangan impor. Tanah air kita yang berada di daerah
beriklim tropika memungkinkan pertanian sepanjang tahun. Kita dapat membangun
sistem produksi pangan yang tangguh dengan mengerahkan seluruh sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan kebutuhan pangan sendiri, baik dalam
ragam maupun volume dan waktu ketersediaannya. Itulah sesungguhnya target
swasembada pangan secara berkelanjutan yang mestinya terus-menerus kita
perjuangkan untuk dapat ditegakkan.
Kalau Indonesia bisa membangun sistem produksi pangan yang kuat,
kita juga akan dapat membantu negara-negara lain di dunia yang kesulitan
memproduksi pangan. Dengan demikian, grand
strategy kita dalam bidang produksi pangan tidak akan terjebak pada
penanganan persoalan jangka pendek dan terbatas pada komoditas tertentu, tetapi
menjangkau rentang waktu yang lebih panjang dengan cakupan yang lebih luas
sehingga lebih tangguh.
Optimalisasi Sumber Daya
Untuk membangun sistem produksi pangan yang kuat, kita perlu
mengelola secara optimal sumber daya yang kita miliki. Salah satu versi
perhitungan areal tanam untuk swasembada kedelai menyatakan dibutuhkan tidak
kurang dari 1,7 juta hektare lahan. Namun keinginan tersebut berbanding
terbalik dengan fakta di lapangan ketika terjadi konversi lahan yang sangat
cepat ke penggunaan untuk permukiman, industri, jalan raya, dan sebagainya.
Badan Pusat Statistik menyebutkan setiap tahun terjadi konversi
lahan pertanian ke penggunaan lain tidak kurang dari 110 ribu hektare. Termasuk
dalam lingkaran persoalan tersebut ialah lahan tidur yang tidak ditanami karena
sudah dibeli dari petani dan pembelinya berspekulasi untuk dapat menjualnya
lagi dengan harga jauh lebih tinggi.
Infrastruktur bendungan dan jaringan irigasi yang kita miliki
tidak berfungsi maksimal karena daerah tangkapan air di hulu terdegradasi dan
jaringan irigasi rusak. Volume air yang dapat ditampung waduk berkurang karena
sedimen tasi dari erosi lahan di bagian hulu dari sungai yang dibendung. Dari
273 waduk dan embung besar untuk layanan irigasi, 19 waduk dalam kondisi rusak
berat dan ringan.
Layanan irigasi yang mendapat air dari waduk kurang dari 10%
seluruh areal layanan irigasi yang ada dan dari total sawah beririgasi 6,7 juta
hektare, sekitar 1,5 juta hektare dalam keadaan tidak berfungsi (Pawitan et al, 2010).
Lahan sawah irigasi di daerah hulu menerima air berlebih,
sedangkan di daerah hilir sering kekurangan air. Selain itu, di daerah irigasi
tertentu terjadi hambatan besar dalam pengelolaan. Seperti di hamparan sawah
yang diairi dari Waduk Juanda, krisis air di sawah irigasi bukan karena
kekurangan pembagian air dari waduk, melainkan karena hambatan pengelolaan.
Hal itu sering mengakibatkan rencana tanam serentak di hamparan
sawah tersebut sulit direalisasikan. Swasembada beras yang pernah kita capai
pada 1984 antara lain merupakan buah konsistensi implementasi gagasan revolusi
hijau dalam j j k panjang jangka yang dimulai dengan kegiatan action research pilot project Pancausaha Lengkap di Karawang pada
Agustus 1963. Program itu kemudian diperluas menjadi Bimas (Bimbingan Massal)
dan beberapa nama program lain sebagai bentuk penyempurnaan.
Ketika beberapa hari yang lalu penulis mengikuti kegiatan Fakultas
Pertanian IPB untuk tapak tilas lokasi konsep Bimas pertama kali
diimplementasikan, ternyata tanaman padi para petani sedang terserang hama
penggerek batang akibat berbagai persoalan, mulai rendahnya efektivitas
pestisida hingga sangat berkurangnya musuh alami hama tersebut.
Petani menghadapi masalah karena tanah sawah di lokasi tersebut
telah diberi pupuk anorganik berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Pada
aspek benih, kita juga masih lemah. Jumlah petani yang sangat memahami perbeni
sangat memahami perbe han mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia
rata-rata petani. Untuk itu, semua persoalan ketidakoptimalan pengelolaan
sumber daya itu harus segera dipecahkan agar kita bisa membangun sistem
produksi pangan yang tangguh.
Peran Inovasi
Pada awal 1990-an, laju pertumbuhan produksi padi mengalami
penurunan. Salah satu faktor penyebab pelandaian laju pertumbuhan produksi padi
dan tanaman pangan lainnya ialah minimnya peran inovasi.
Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita melihat
hasil-hasil penelitian para peneliti kita dari berbagai perguruan tinggi serta
institusi penelitian dan pengembangan pertanian selama beberapa tahun terakhir.
Penelitian-penelitian itu telah menghasilkan inovasi penting dalam
peningkatan
produktivitas tanaman, penggunaan sarana produksi secara lebih
efisien, dan budi daya tanaman yang ramah lingkungan.
Untuk merangsang tumbuhnya inovasi di Indonesia, Kementerian Riset
dan Teknologi RI bersama Business
Innovation Center (BIC) menerbitkan daftar 100 plus karya inovatif paling
prospektif. Melalui penerbitan daftar karya inovatif tersebut, sejak 2008 para
peneliti baik dari perguruan tinggi, institusi penelitian dan pengembangan di
berbagai kementerian, maupun swasta di Indonesia didorong untuk menghasilkan
inovasi-inovasi terbaik mereka.
Tidak sedikit inovasi dalam bidang ketahanan pangan diakui sebagai
inovasi yang memiliki prospek besar untuk dikembangkan. Di antara berbagai
perguruan tinggi serta institusi penelitian dan pengembangan, IPB memberikan
kontribusi terbanyak selama empat tahun berturut-turut, yaitu 21 dari 100
inovasi (2008), 24 dari 101 inovasi (2009), 51 dari 102 inovasi (2010), dan 35
dari 103 inovasi (2011). Dengan demikian, dari 2008 sampai 2011, IPB telah
memberikan kontribusi kumulatif sebesar 131 dari 406 inovasi.
Untuk mengkaji kemungkinan penambahan luas areal tanam kedelai,
IPB telah melakukan penelitian untuk menjadikan lahan pasang surut sebagai tambahan
areal untuk tanaman kedelai. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
penurunan areal tanam jagung dan palawija lain karena perluasan areal tanam
kedelai.
Kadar pirit yang tinggi di lahan pasang surut menyebabkan
rendahnya pH tanah pada kondisi teroksidasi sehingga produktivitas kedelai
hanya 800 kg/ha. Teknologi Budi Daya Jenuh Air (BJA) yang meliputi pengaturan
tinggi muka air, penerapan olah tanah ringan, dan pemberian kapur ternyata
dapat menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009). Penerapan teknologi BJA pada
2009-2010 di lahan pasang surut mencatat produktivitas kedelai dapat mencapai
angka cukup tinggi, yaitu 4 ton/ha.
Untuk pengembangan skala besar, tentu ada penurunan produktivitas
rata-rata. Bila diasumsikan terjadi penurunan 40%, produktivitas kedelai masih
dapat mencapai rata-rata 2,4 ton/ha di lahan pasang surut, suatu angka yang
sangat menjanjikan bagi peningkatan produksi kedelai nasional.
Mengingat potensi lahan kering, terutama tanah asam, di Tanah Air
masih belum dimanfaatkan secara optimal, sebagai kelanjutan dari
penelitian-penelitian sebelumnya, IPB telah mengembangkan formula inokulan
bakteri bintil akar untuk peningkatan produksi kedelai pada lahan kering asam
(pH 4,0). Dengan memanfaatkan inokulan tersebut, lahan kering asam dapat
ditanami kedelai dengan produktivitas yang tinggi dan penggunaan pupuk nitrogen
dapat dikurangi 50% (Rachmania et al, 2011).
IPB juga sedang mengembangkan varietas unggul kedelai mirip kedelai
impor yang disukai pengusaha tempe. Saat ini telah ada lima galur kedelai yang
produktivitasnya di atas varietas anjasmoro yang digunakan sebagai pembanding
karena produktivitasnya tinggi (2,59 ton/ha) dan berbiji besar.
Dari lima galur kedelai tersebut, dua galur kedelai tercatat
mencapai produktivitas 2,94 ton/ha (Suharsono, 2012). Saat ini IPB sedang mempersiapkan
perbanyakan benih galur-galur tersebut untuk selanjutnya berharap dapat
melakukan uji multilokasi sebelum varietas baru dapat dilepas.
Puluhan varietas unggul kedelai juga telah dihasilkan perguruan
tinggi lain seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Jenderal Soedirman,
Universitas Padjadjaran, Universitas Jember, dan Universitas Jambi, juga Balai
Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Kementerian Pertanian) dan Badan
Tenaga Nuklir Nasional.
Untuk memperkuat sistem pengendalian hama yang ramah lingkungan
pada tanaman kedelai, di IPB telah dikembangkan pengendalian kepik, yaitu hama
pengisap polong kedelai Riptortus
linearis dengan agen hayati cendawan Entomopatogen
Verticillium lecanii. Cendawan itu mudah dibiakkan dan efektif dalam
membunuh nimfa dan kepik dewasa serta mengendalikan jumlah
telur hama (Santoso, 2010).
Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) juga sudah mengembangkan teknologi kedelai plus yang dirancang untuk
memasukkan bakteri penambat nitrogen ke benih kedelai. Teknologi tersebut dapat
meningkatkan eļ¬siensi aplikasi pupuk hayati (Sukiman, 2009).
Pengembangan varietas unggul tanaman padi telah dilakukan para
dosen IPB dengan menghasilkan galur-galur tanaman padi baru. Aswidinnoor, sejak
2008, telah menghasilkan tujuh varietas padi unggul untuk ekosistem sawah dan
rawa. Selain itu, inovasi kultur antera dan program silang balik telah
dikembangkan untuk memastikan benih unggul yang dihasilkan akan selalu seragam
(Purwoko et al, 2010).
Mengingat selama puluhan tahun sawah selalu dipupuk dengan pupuk
anorganik saja dan tidak mendapat pasokan bahan organik yang cukup,
dilakukanlah penelitian budi daya tanaman padi dengan aplikasi bahan organik,
yaitu jerami dengan dekomposer dan pupuk hayati tanpa aplikasi pestisida. Hasil
penelitian IPB di Karawang selama lima musim tanam yang baru lalu menyatakan
bahwa metode itu telah meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah, meningkatkan
daya pegang air tanah sehingga tanaman lebih tahan kekeringan, mengembalikan
kesuburan biologi tanah yang dapat menjadi sumber pupuk di dalam tanah, agen
pengendali hayati, ataupun probiotik bagi tanaman, serta menyuburkan
pertumbuhan musuh alami dari hama tanaman padi (Sugiyanta, 2012).
Tentu masih banyak hasil penelitian dari para dosen berbagai
perguruan tinggi negeri dan swasta serta para peneliti di berbagai institusi
penelitian dan pengembangan milik pemerintah maupun swasta yang tidak dapat
diuraikan di sini. Yang jelas, kita sesungguhnya mampu mengembangkan teknologi
yang sesuai untuk kondisi petani kita, pemilikan lahan rata-rata tiap keluarga
petani, dan keadaan lingkungan pertumbuhan bagi tanaman yang produknya kita
perlukan. Sayangnya, masih sedikit pelaku bisnis dan institusi publik yang
memanfaatkan hasil inovasi bangsa sendiri.
Selain merumuskan rekomendasi kebijakan, Komite Inovasi Nasional
(KIN) yang dibentuk Presiden RI diharapkan menjadi pendorong sinergi di antara
berbagai pelaku, terutama antara pihak yang menghasilkan inovasi dan pihak yang
menggunakan inovasi. KIN tidak dibentuk untuk menjadi kolom baru dari berbagai
kolom yang sudah ada, tetapi menjadi balok ikat antarkolom untuk membentuk dan
memperkuat bangunan Sistem Inovasi Nasional.
Tanpa banyak perdebatan, KIN telah menetapkan bahwa pupuk hayati
merupakan salah satu quick win yang
perlu segera diwujudkan dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Kita perlu
terus-menerus menghasilkan inovasi yang berguna bagi peningkatan daya saing dan
penguatan perekonomian nasional. Harapan masih ada asalkan kita konsisten dalam
menemukan solusi dan berusaha keras merajut sinergi antar peran dalam penguatan
sistem produksi pangan nasional itu. Kita pun optimistis dapat melakukannya.
SDM Pertanian
Bersama berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
studi rumpun pertanian, IPB mempunyai tugas utama mendidik generasi muda
menjadi ahli madya, sarjana, magister, dan doktor yang kompeten untuk
mengembangkan dan mengelola sistem produksi pangan itu. Dengan menyelenggarakan
pendidikan tinggi pertanian yang bermutu, IPB menggugah kesadaran akan
pentingnya pertanian dan pangan sehingga masalah kelangkaan pangan tidak
terulang lagi pada masa depan. Dengan pendidikan tinggi pertanian yang bermutu
itu, akan dihasilkan inovasi dan teknologi budi daya yang baik serta berbagai
pemikiran sebagai dasar kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Optimisme kita pun bertambah ketika kita menyimak data keketatan
persaingan di antara peminat masuk IPB melalui seleksi nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNMPTN) jalur ujian tertulis kelompok IPA tahun 2012 yang
ternyata mencapai angka tertinggi (4,48%) bila dibandingkan dengan semua
perguruan tinggi negeri. Itu merupakan pertama kali sejak beberapa tahun
terakhir IPB menerima mahasiswa melalui SNMPTN maupun SPMB. Di antara 10 PTN
dengan keketatan tertinggi, angka keketatan persaingan sembilan perguruan
tinggi lain berkisar di antara angka 7,76% sampai 11,83%.
Walaupun tingginya keketatan itu belum diikuti tingginya nilai
terendah yang diterima, data tersebut menunjukkan minat generasi muda kita
untuk belajar ilmu-ilmu pertanian sangat tinggi. Dengan demikian, kita tidak
akan kehilangan generasi yang peduli terhadap pertanian. Akhirnya, kalau sumber
daya yang kita miliki dapat kita kelola dengan optimal, bila inovasi terus
didorong dan dimanfaatkan secara efektif untuk memperkuat sistem produksi
pangan nasional, dan jika penyiapan SDM pertanian yang unggul dapat kita
lakukan melalui pendidikan tinggi yang bermutu, kita optimistis krisis pangan
akan mampu kita cegah. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar